Issues

Pelajaran Deradikalisasi dari Jepang: Pentingnya Pendekatan Psikologis

Ada hal-hal yang dapat Indonesia pelajari dari Jepang terkait pengalaman mereka menghadapi teror dari kelompok radikal.

Avatar
  • March 31, 2021
  • 5 min read
  • 702 Views
Pelajaran Deradikalisasi dari Jepang: Pentingnya Pendekatan Psikologis

Pada 20 Maret 1995, pengikut sekte pemujaan Aum Shinrikiyo melakukan serangan gas sarin di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, Jepang. Akibat peristiwa tersebut, 13 orang tewas dan ribuan orang menderita luka-luka.

Enam tahun sebelumnya, pemimpin Aum Shinrikiyo Shoko Asahara memerintahkan pengikutnya untuk membunuh Tsutsumi Sakamoto — seorang pengacara yang memimpin gugatan hukum melawan kelompok pemujaan ini — beserta istri dan anaknya.

 

 

Susumu Shimazono, profesor studi agama di Universitas Tokyo mengatakan bahwa kemunculan agama-agama baru di Jepang tak lepas dari perubahan politik global. Aum Shinrikiyo dan agama baru lainnya bertumbuh pada era pasca perang dingin.

“Secara global, neoliberalisme berkuasa. Pada era tersebut, banyak negara berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Saat itu, Jepang sudah mencapai kesuksesan dari segi ekonomi,” katanya dalam diskusi daring “Pelajaran dari Pengalaman Jepang dengan Aum Shinrikiyo: Pemahaman tentang Latar Belakang Agama dan Pendekatan Psikologis untuk Deradikalisasi” yang diadakan The Habibie Center (8/3).

Susumo menambahkan, ada orang-orang berpendidikan tinggi yang sudah mencapai level kekayaan dan kemakmuran, tetapi mengalami kebingungan dalam hidup dan merasakan kekosongan. Individualisme juga mulai tumbuh dan nilai-nilai kekeluargaan mulai roboh sehingga mereka mencari pegangan, salah satunya melalui agama atau kepercayaan tertentu.

Profesor psikologi sosial di Universitas Rissho sekaligus representative director The Japan Society for Cult Prevention and Recovery (JSCPR) Kimiaki Nishida mengatakan, mayoritas anggota Aum Shinrikiyo adalah laki-laki berusia 20-an tahun. Segera setelah tergabung dengan kelompok ini, mereka meninggalkan segalanya untuk hidup dan berlatih di lingkungan barunya.

“Mereka berhenti bekerja, menyerahkan semua hartanya kepada kelompok, dan fokus pada pertapaannya. Melalui pertapaan itu, mereka percaya bisa mendapatkan sebuah tingkatan tertinggi, yaitu keluar dari semua permasalahan kehidupan dan menemukan makna hidup itu sendiri,” jelas Kimiaki.  

Baca juga: Kelompok Moderat Didesak Lebih Bersuara Lawan Radikalisme, Terorisme

Peran Keluarga dan Eks Napi Terorisme

Kimiaki dari JSCPR menuturkan, salah satu hal penting dalam deradikalisasi adalah proses penyadaran agar mantan pengikut mengetahui kesalahannya. Peran keluarga juga penting dalam program ini.

“Orang tersebut harus memahami bahwa ajarannya tidak benar. Jadi, tidak hanya menghentikan kekerasannya tetapi juga mengetahui bahwa pemahamannya salah. Itulah approach yang kami ambil,” ujarnya.

“Tim kami dan keluarga mereka harus memberikan cinta kasih yang lebih besar daripada kelompoknya dan menyadarkan bahwa ajaran kelompok tersebut tidak dapat dibenarkan,” Kimiaki menambahkan.

Kimiaki juga menekankan perlunya keterlibatan mantan teroris dalam proses deradikalisasi. Dia menyayangkan hukuman mati terhadap pengikut Aum Shinrikiyo.

“Menurut saya, untuk mengembangkan program deradikalisasi, (eksekusi mati) ini adalah hal negatif. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari mereka untuk mengembangkan program deradikalisasi yang efektif dan mencari solusi terorisme dengan cara damai,” ujarnya. 

Kandidat Phd Universitas Ritsumeikan Chaula Rininta Anindiya mengatakan, di Indonesia, eks narapidana terorisme dapat dilibatkan karena memiliki pengetahuan lebih dalam mengenai kelompok yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.

“Kalau melibatkan orang dari luar jaringan, pada akhirnya ada pertanyaan ‘Siapa dia? Dia tak tau apa yang terjadi di dalam’. Melibatkan mantan teroris akan membuat mereka lebih mendengar,” ujarnya.

Dalam upaya deradikalisasi, peran keluarga juga signifikan untuk mencegah eks narapidana terorisme kembali ke jaringannya.

“Keluarga adalah orang yang paling dekat dan bisa “memberikan alternatif jaringan”. Pada akhirnya keluarga bisa memonitor apakah mereka kembali ke jaringan lama atau membuka jaringan baru yang lebih baik,” tutur Chaula.

Baca juga: Jangan Diam, Lawan Teroris!

Prinsip 3N untuk Tangani Radikalisme

Tak seperti di Jepang, di Indonesia, pemerintah terlibat dalam program deradikalisasi, salah satunya melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Ketua Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) sekaligus expert panel BNPT Hamdi Muluk menjelaskan, radikalisasi adalah kombinasi dari “need, narration, network” (3N). Ini adalah teori yang dikemukakan Arie Kruglanski, seorang psikolog sosial di Universitas Maryland.

“Adanya need diperkuat, di-encourage, dimunculkan dan dibesar-besarkan oleh narasi-narasi yang menjadikan pembenaran atau komponen idelogi yang menjadi basis doktrinal,” katanya.

Need dan narration bersifat mematikan karena dibantu oleh jejaring. Di jejaring, orang punya komitmen terhadap kelompok dan hubungan interpersonal. Itulah yang membuat nyaman secara psikologis,” tambahnya

“3N” dapat mengantar seseorang pada radikalisme yang sangat ekstrem karena seseorang ditutup kemungkinannya untuk mencapai goal yang lain sehingga terjadi motivational imbalance. Namun, “3N” juga bisa menjadi pedoman untuk mengubah pemikiran seseorang yang terpapar radikalisme.

“Kalau kita mau melakukan deradikalisasi, (tiga N) ini harus kita balikkan supaya ada motivasi lebih balance dan orang tersebut punya tujuan hidup, yaitu tidak menjadi teroris. Network yang merusak harus kita jauhkan, jejaring moderat kita embrace,” ujar Hamdi. 

Tantangan dari Segi Sumber Daya Manusia

Keterlibatan pemerintah dalam deradikalisasi sangat krusial. Namun, sebagai konsekuensinya, ada kegiatan yang sangat formal sehingga memunculkan  pertanyaan mengenai apakah intervensi tersebut sesuai dengan kebutuhan para peserta.

Chaula dari Universitas Ritsumeikan mengatakan bahwa seharusnya pendekatan pribadi lebih digunakan dalam proses deradikalisasi.

“Pada akhirnya, hal yang menjadi kunci dari deradikalisasi atau disengagement adalah adanya dialog, misalnya dengan pendekatan personal yang lebih intens,” ujarnya.

Tantangannya adalah, untuk melakukan pendekatan pribadi diperlukan lebih banyak orang yang sudah terlatih, siap, dan memahami masalah. Chaula mencontohkan program deradikalisasi kepada orang-orang yang dideportasi sebelum masuk Suriah (deportan), yang pernah menjadi obyek penelitiannya.

“Saat itu tidak ada SOP mengenai apa yang harus dilakukan kepada mereka. Akhirnya,  mereka ditaruh di panti sosial milik Kemensos. Di situ ada pekerja sosial yang sebenarnya tanggung jawabnya adalah membantu anak-anak yang berhadapan dengan hukum,” katanya.

“Mereka punya pengetahuan mengenai anak, tetapi menjadi berbeda ketika menangani anak yang sudah radikal dan kebetulan ibunya ikut bersama di situ,” tambah Chaula.

Beberapa deportan yang ikut dalam program tersebut menjadi lebih terbuka berkat kesabaran para pekerja sosial. Meskipun demikian, ada deportan yang kembali ke jaringannya karena programnya hanya berlangsung singkat. 

“Penilaian juga menjadi problem. Apa yang menjadi dasar penilaian ketika mereka keluar dari fasilitas rehabilitasi? Apakah jangka waktu sebulan cukup untuk menjauhkan seseorang dari pemikiran radikal yang telah tertanam?” ujar Chaula.

Perempuan dan anak membutuhkan pendekatan khusus. Oleh karena itu, perempuan penting untuk dilibatkan dalam membantu program deradikalisasi.

“Misalnya, ketika kita melakukan kunjungan, apakah perempuan mau menerima laki-laki? Tentunya harus ada pendekatan langsung yang dilakukan oleh perempuan juga,” kata Chaula.

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *