Ahli: RUU PKS Sejalan dengan Ajaran Islam, Beri Perlindungan Besar bagi Korban
RUU PKS sejalan dengan ajaran Islam dan kemanusiaan karena mengatur perlindungan kepada korban.
Salah satu penolakan paling keras bagi pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) datang dari kelompok Islam konservatif, yang menilai aturan ini berpotensi melegalkan zina dan aborsi, yang jelas-jelas dilarang agama. Sementara itu, kasus kekerasan seksual di Indonesia begitu tinggi dan selalu meningkat setiap tahun, sementara perangkat hukum yang ada tidak memadai.
Akademisi Islam Yulianti Muthmainnah dari Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta, menekankan bahwa RUU PKS tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena Islam tidak membenarkan segala bentuk kekerasan seksual. Islam bahkan mengatur hukuman yang jelas terhadap para pelaku kekerasan seksual dan sangat melindungi para korban, ujar Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan itu.
“Urgensi RUU PKS untuk disahkan itu tinggi, terlebih bila melihat kondisi kekerasan seksual di Indonesia yang sudah banyak memakan korban, tapi belum terdapat peraturan jelas yang bisa menjerat pelaku,” ujar Yulianti, dalam webinar bertajuk ‘Ambil Bagian! Bersama Lawan Kekerasan Seksual’ yang diselenggarakan oleh The Body Shop Indonesia, Rabu (27/1).
Ia menambahkan, ada kekosongan hukum yang besar di Indonesia terkait kekerasan seksual. Definisi kekerasan seksual dalam UU yang ada terlalu sempit sehingga banyak pelaku kekerasan seksual bisa bebas, ujarnya.
“Di dalam dunia Islam sendiri, sebuah konferensi internasional menyatakan bahwa perempuan korban (pemerkosaan) itu boleh melakukan aborsi. Ini adalah panggilan bahwa sesungguhnya Islam selalu melindungi korban,” kata Yulianti.
Baca juga: RUU PKS Masuk Lagi ke Prolegnas, Kawal Terus Pembahasannya
Nabi Muhammad Mendengarkan dan Mempercayai Korban
Ia memaparkan sebuah riwayat tentang Nabi Muhammad, bagaimana beliau melindungi korban kekerasan seksual dan tidak membiarkan pelaku bebas tanpa sanksi.
“Pada zaman Nabi, ada seorang perempuan yang mengadu ke Nabi kalau dia diperkosa (di tengah jalan menuju masjid). Nabi langsung mengumpulkan sahabat untuk mencari pelaku. Ini menunjukkan bagaimana Nabi sangat mendengarkan dan mempercayai kesaksian korban,” ujar Yulianti.
“Ulil amri (pemimpin dan negara) memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan. Menurut Islam, bila ada yang melenceng di negaramu, ubahlah dengan kuasamu,” ia menambahkan.
Menurut Yulianti, pesan Islam yang paling nyata mengenai kekerasan seksual ada dalam Surat An-Nur ayat 30, bahwa perintah Allah yang paling nyata adalah menyuruh laki-laki untuk menundukkan pandangan dari apa yang bukan hak mereka, termasuk perempuan yang bukan menjadi istri atau keluarganya.
“Selama ini kan perempuan yang disalahkan, padahal jelas Allah menyuruh laki-laki menundukkan pandangan,” ujarnya.
Korban Kekerasan Seksual Memilih Diam
Kegagalan masyarakat dan negara dalam memberi rasa aman dan perlindungan hukum bagi penyintas kekerasan seksual, serta adanya budaya menyalahkan korban telah membuat banyak penyintas kekerasan seksual memilih diam. Hal itu dialami musisi dan aktivis Kartika Jahja, yang mengalami pemerkosaan saat ia berusia enam tahun, dan mengalami trauma, depresi, dan gangguan kecemasan, sampai melakukan percobaan bunuh diri.
“Sampai saya berani bercerita itu prosesnya tidak mudah. Dua puluh lima tahun lebih (hal itu) saya simpan sendiri, karena saya tahu di masyarakat kita ini banyak stigma, yang disalahkan korbannya. Dan saya merasa tidak akan mendapat keadilan, karena tidak ada perangkat hukum yang bisa melindungi saya,” ujar Kartika.
Baca juga: Bagaimana Akhiri ‘Victim Blaming’? Jadikan Kekerasan Seksual Masalah Sosial
Wawan Suwandi dari Yayasan Pulih, lembaga bantuan psikososial bagi penyintas kekerasan, mengatakan bahwa ultur masyarakat yang kerap melakukan victim blaming terhadap korban serta tidak menganggap kekerasan seksual sebagai masalah serius bisa membuat kondisi korban semakin buruk.
Ia menjelaskan beberapa kekhasan yang umum dirasakan korban kekerasan seksual, seperti shock, dikuasai rasa malu, sampai menyalahkan diri sendiri. Karenanya, dukungan dari orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman, sangat penting dalam proses pemulihan penyintas, ujar Wawan.
“Kalau orang terdekat malah menyalahkan, belum lagi di media sosial, bilang bahwa dia itu aib, akan semakin parah kondisinya. Memaksa korban bercerita ketika dia belum siap juga sama dengan mengorek luka lama yang dia rasakan,” ujarnya.
“Sehingga, kalau korban tidak melapor atau tidak langsung melapor itu bukan berarti kekerasan seksual itu tidak terjadi. Tapi karena kondisi tiap korban itu berbeda. Ada yang bisa langsung bercerita dan ada yang tidak,” ia menambahkan.
Pendidikan Seks Sejak Dini untuk Menghalau Ketabuan
Ratu Ommaya, Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, menekankan pentingnya edukasi bagi semua. The Body Shop Indonesia sendiri telah meluncurkan kampanye “Semua Kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood”, bekerja sama dengan Yayasan Pulih dan Magdalene.
“Beberapa teman (pegawai) di store The Body Shop telah mengalami kekerasan seksual. Sebagian besar karyawan kami juga perempuan. Hal yang sering dilupakan dalam hal ini adalah pentingnya edukasi. Banyak yang tidak tahu kekerasan seksual itu apa. Apalagi banyak hoaks yang membuat ini menjadi bias,” ujarnya.
Baca juga: Argumen dalam Ajaran Islam Mengapa Pemerkosaan dalam Perkawinan Dilarang
Penulis dan aktivis gender, Kalis Mardiasih mengatakan, percakapan dan edukasi mengenai seksualitas selalu dianggap tabu dalam masyarakat sehingga banyak orang salah memahami atau menolak untuk memahami isu kekerasan seksual.
Akibatnya, anak-anak dan remaja tidak memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai seksualitas, termasuk mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap diri sendiri dan orang lain, ujar Kalis. Bahkan, sebuah riset mengungkap bagaimana banyak remaja yang merasa takut dimarahi orang tuanya apabila mereka menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas, lanjutnya.
“Anak-anak muda itu menyebut alat kelamin aja pakai sebutan lain. Padahal masa remaja adalah masa yang paling tepat untuk membicarakan seksualitas. Kenapa sih ketika kita bicara seksualitas selalu dikorelasikan dengan pornoaksi? Padahal ini kan tentang tubuhmu yang setiap hari kamu bawa-bawa,” kata Kalis.
Ia mendorong pentingnya pendidikan seksual sejak dini agar masyarakat memiliki pemahaman yang menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan seksualitas, termasuk kekerasan seksual.
“Keunggulan RUU PKS ini adalah mengatur soal pemberian pendidikan seks di sekolah dan kampus,” tambahnya.
Dukung kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood” untuk mendesak pengesahan RUU PKS, dengan menandatangani petisi di sini.