Perempuan Muda dan Miskin Korban Utama Perdagangan Orang di Indonesia
Kurangnya payung hukum dan kemiskinan membuat angka perdagangan orang di Indonesia masih marak.
Tanggal 30 Juli diperingati sebagai Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia (World Day Against Trafficking in Persons). Sejak digulirkan pada 2013, setiap tanggal tersebut kita diingatkan bahwa Indonesia masih jauh dari cita-cita menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab.
Lewat Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Indonesia punya payung hukum dan lembaga-lembaga pendukung guna memberantas perdagangan orang. Malah lebih dulu daripada Thailand (2008), Malaysia (2007), dan Vietnam (2011). Namun, situasi Indonesia tidak juga lebih baik daripada negara-negara tetangga. Mengapa begitu?
Beberapa laporan telah memberi petunjuk. Setidaknya ada dua sebab utama. Pertama, karena penegakan hukum yang masih belum sepenuhnya berfungsi. Tidak semua kasus perdagangan orang yang ada dan terjadi di Indonesia berakhir di depan meja hijau. Meski kepolisian telah menahan pelaku, ternyata tidak semua kasus bisa diterima oleh kejaksaan untuk dituntut. Kurangnya alat bukti menjadi alasan utama.
Kedua, karena ketimpangan ekonomi yang terus berlanjut sehingga siapa pun tanpa ia sadari mudah terjebak menjadi korban perdagangan orang. Modus yang umum digunakan pelaku adalah menjanjikan pekerjaan (baik di luar kota ataupun di luar negeri), dan pernikahan dengan warga negara asing. Faktor ekonomi menjadi iming-iming yang menelan korban.
Dari kasus-kasus yang diajukan ke meja pengadilan sejak 2008 hingga 2019, kita dapat meneropong beberapa permasalahan yang ada. Juga, pola-pola perdagangan orang di Indonesia.
Perempuan muda rentan
Kasus perdagangan orang bisa menimpa siapa pun, termasuk laki-laki. Meski demikian, yang paling rentan menjadi korban adalah perempuan muda dan anak perempuan di bawah umur. Mereka menjadi rentan karena ada desakan ekonomi dari keluarga.
Ada anggapan umum di Indonesia bahwa perempuan adalah beban rumah tangga. Anak perempuan diharapkan bekerja di usia lebih dini daripada anak laki-laki. Selain itu, perempuan diharapkan untuk “menyumbangkan” penghasilannya bagi keuangan keluarga sementara laki-laki boleh menyimpan penghasilannya bagi dirinya sendiri.
Tuntutan peran ekonomi ini menjadikan mereka cenderung terpaksa (dan dipaksa) bekerja sehingga lebih mudah ditipu dan dimanfaatkan. Yang sering terjadi kemudian adalah eksploitasi seksual. Karena itu pula, kebanyakan kasus perdagangan orang terkait erat dengan dunia prostitusi.
Baca juga: Kejahatan Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan Luput dari Perhatian
Dalam satu kasus di Bandung, Jawa Barat, pada 2016, seorang anak perempuan dipaksa menjajakan dirinya setelah sebelumnya dijanjikan pekerjaan sebagai pemandu karaoke di kota. Namun kenyataannya, foto korban ditawarkan kepada banyak lelaki hidung belang.
Di dalam kasus ini, yang menjadi pelaku adalah seorang perempuan berusia 35 tahun yang menjadi perantara sekaligus juga penjual perempuan-perempuan muda. Berprofesi resmi sebagai penyanyi, ia menjadi “mami” untuk banyak ABG.
Meskipun “mami” ditahan dan dipidana penjara, tidak ada satu pun laki-laki pelanggan yang ditahan dan dibawa ke meja hijau. Di dalam putusan hakim, lelaki hidung belang hanya disebut sebagai “pemesan” dan “gadun”, bukan pelaku.
Boleh jadi, kasus ini mirip dengan kasus Ghislaine Maxwell yang menjadi pemasok sekaligus penjual sejumlah perempuan muda bagi predator seks seperti Jeffrey Epstein dan banyak lelaki lainnya (menurut gosip, juga termasuk Pangeran Andrew, anak Ratu Elizabeth II).
Beroperasi di daerah rawan
Di Indonesia, pelaku perdagangan orang kerap “berbaik hati” menjanjikan pekerjaan ataupun perkawinan dengan warga asing. Mereka beroperasi di daerah-daerah yang tidak memiliki banyak lapangan pekerjaan, mengalami surplus anak muda, dan punya masalah kronis pendidikan, misalnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kalimantan Barat.
Dari banyak kasus di NTT, pelaku mendatangi kegiatan pertemuan keluarga besar di desa/ kampung, atau dengan mendatangi rumah-rumah keluarga dengan menceritakan “kisah sukses” bekerja di luar kota (Surabaya, Jakarta, Medan) ataupun di luar negeri (Malaysia, Singapura). Dalam satu kasus di Sumba Tengah pada 2014, korbannya baik perempuan dewasa maupun anak di bawah umur, dan buta huruf. Meskipun Pemerintah Daerah NTT menerapkan moratorium pengiriman buruh migran ke luar negeri sejak 2018, pengiriman yang tidak sesuai prosedur hukum malah meluas. Kematian buruh migran dari NTT sepanjang 2018 dan 2019 semakin meningkat.
Di sini pelaku kerap menggunakan simbol adat seperti “uang sirih-pinang” untuk “membeli” perempuan muda dari orang tuanya sehingga terlihat “lumrah” dan dapat diterima secara adat. Mereka dapat dengan mudah membawa korban ke luar dari kampung hingga ke luar negeri.
Uang sirih-pinang yang sejatinya adalah bagian dari upacara adat (baik sebagai tanda lamaran ataupun kompensasi hak pakai atas tanah) diselewengkan menjadi tanda kesediaan korban (dan keluarga korban). Dalam kenyataannya, korban dipaksa bekerja sebagai buruh murah dan juga pekerja seks di luar negeri.
Di Kalimantan Barat, iming-iming perkawinan dengan warga negara asing (Taiwan, Cina, dan Malaysia) kerap menjebak perempuan muda, terutama etnis Tionghoa, untuk terbebas dari kemiskinan. Kenyataannya, mereka menjadi buruh murah di dalam rumah tangga suami ataupun lagi-lagi dipaksa menjadi pekerja seks di luar negeri.
Dalam satu kasus di Pontianak pada 2015, seorang korban perempuan muda dijanjikan perkawinan dengan seorang warga negara Taiwan, tetapi dipaksa menandatangani perjanjian yang isinya akan membayar kompensasi pengembalian semua biaya pengurusan perkawinan apabila membatalkan perkawinan tersebut. Parahnya, korban buta huruf.
Baca juga: ‘Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran’
Kurangnya pendampingan psikologis bagi korban
Kasus-kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia dan menimpa warga negara Indonesia sendiri tidak pernah mendapatkan pendampingan psikologis yang intensif. Kasus-kasus dengan mudah dianggap selesai begitu pelaku ditahan polisi dan diajukan ke pengadilan, dan korban (anak perempuan di bawah umur) dikembalikan ke keluarga mereka. Minim sekali pendampingan dari lembaga negara ataupun pemda bagi korban. Peran pendampingan ini kerap dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat yang peduli akan nasib korban, meski dengan segala keterbatasan dana dan sumber daya.
Di dalam keluarga, korban juga mengalami kesulitan untuk terbuka perihal apa yang terjadi dengan dirinya. Kebanyakan korban terpaksa mesti mengatasi sendiri permasalahan kesehatan mental yang ada, termasuk trauma psikologis yang ditimbulkan seperti depresi, mudah panik, dan sindrom Stockholm.
Di tataran dunia internasional, perlindungan dan pendampingan bagi korban ditegaskan dalam Protokol Palermo (2000) tentang pencegahan, pemberantasan dan penghukuman perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak. Protokol ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada 2009. Lebih dulu daripada Vietnam (2012), Thailand (2013), dan Singapura (2015). Jika Indonesia ingin diakui di dunia internasional, tentu ini adalah salah satu pekerjaan rumah yang penting diwujudkan.