Issues Lifestyle Travel & Leisure

Polemik ‘Food Vlogger’, Magdalena, dan Komen Pasaran ‘Enak Banget Kayak Mau Meninggal’ (1)

Di era digital, tak butuh kepakaran khusus jika ingin jadi ‘food vlogger’ media sosial. Kasus Magdalena belakangan pun memicu tanya, apa peran mereka sebenarnya di industri kuliner?

Avatar
  • April 17, 2023
  • 6 min read
  • 2676 Views
Polemik ‘Food Vlogger’, Magdalena, dan Komen Pasaran ‘Enak Banget Kayak Mau Meninggal’ (1)

Baru-baru ini, pernyataan Magda—food vlogger dengan handle @mgdalenaf—di cuplikan Podcast menyita perhatian netizen. Ia menceritakan pekerjaannya yang kerap dipandang sebelah mata oleh pelaku usaha kuliner. Salah satunya, ia tak diberi “perlakukan khusus” kendati sudah menunjukkan jumlah pengikut di media sosial. Padahal followers, ujar Magda, adalah sesuatu yang tak ternilai.

“Aku udah nunjukkin followers-ku berapa, bisa bantu sejauh apa. Dia bilang, ‘Ini kan bisnis, saya dikasih apa?’” tutur Magda dalam Podcast bersama Youtuber Samuel Christ.

 

 

Sontak, cerita Magda bikin netizen berpikir ia cuma mau makan gratis, yang “dibayar” dengan jumlah followers dan engagement konten. Tudingan ingin diperlakukan khusus dari pelaku usaha kuliner ini sendiri telah dibantah Magda.

Menurutnya, pernyataan sebelumnya tidak merepresentasikan cara timnya bekerja. Sebab, ada dua sistem kerja sama yang biasanya dilakukan, endorsement dan sukarela. Untuk ulasan sukarela, Magda menekankan tidak memungut biaya sepeser pun dari pelaku usaha kuliner.

Namun, jumlah followers menjadi salah satu aspek yang disampaikan tim Magda pada pelaku usaha kuliner, ketika meminta izin untuk syuting. “Supaya pelaku usaha mengerti manfaat digitalisasi dari media Magdalena, dan tahap ini hanya dilakukan untuk meminta perizinan syuting saja,” jelas Magda dalam klarifikasi yang diunggahnya di Instagram, (5/4).

Sebelum muncul food vlogger seperti Magda, tentu sudah banyak kritikus makanan atau food reviewer. Sebut saja Bondan Winarno dalam program “Wisata Kuliner” yang tayang di medio 2000-an. Ada juga Youtuber Mark Wiens yang menulis blog makanan pada 2009, dan dikenal sebagai ahli makanan Thailand oleh CNN, New York Magazine, serta juru masak Andrew Zimmern. 

Selain itu, ada Michelin star yang memberikan penghargaan terhadap restoran terbaik di sejumlah negara. Mereka justru mempekerjakan inspektur makanan yang identitasnya disembunyikan, agar tidak menerima perlakuan istimewa dari pelaku usaha kuliner.

Anonimitas para inspektur begitu dihargai, untuk menjaga integritas Michelin Guide—rekomendasi restoran dari Michelin. Layaknya pelanggan pada umumnya, mereka memesan menu yang disajikan, makan, dan membayar.

Yang semakin membedakan para inspektur dengan food vlogger adalah kemampuan menilai cita rasa makanan. Mengutip Michelin Guide, inspektur Michelin adalah orang-orang yang memiliki latar belakang minimal sepuluh tahun, di industri restoran dan perhotelan. Mereka harus memiliki selera yang sangat baik dan mampu menilai secara objektif, serta berpengetahuan luas seputar hasil pangan dan budaya kuliner dunia.

Baca Juga: Pengalaman Makan di Karen’s Diner: Unik, tapi Juga Tidak Menyenangkan

Berbeda dengan sejumlah food vlogger, yang membedakan cita rasa menjadi “enak” dan “enak banget”—penilaian yang sering mereka ucapkan. Atau kalimat formulaik lain yang cenderung hiperbolis, seperti enaknya kayak mau meninggal. Di sisi lain, maraknya food vlogger menunjukkan, perkembangan digital turut berpengaruh pada industri kuliner. Khususnya kritikus makanan.

Disrupsi Digital di Kalangan Kritikus Makanan

Sebelum banyaknya food vlogger seperti sekarang, umumnya kritikus makanan memiliki latar belakang dan pengalaman yang kaya, di bidang kuliner atau gastronomi. Namun, media digital mengintervensi, sehingga siapa pun dapat mengulas makanan dan mempublikasikannya di berbagai platform.

Dalam ‘Restaurant reviews aren’t what they used to be’: digital disruption and the transformation of the role of the food critic (2019), kritikus makanan Morag Kobez menjelaskan, disrupsi digital mengaburkan batasan antara kritikus makanan profesional dan amatir–food vlogger–dalam mengulas makanan.

“Kondisi ini menantang pemahaman kita tentang kritik budaya (dalam kuliner), dan mempertanyakan peran kritikus makanan profesional sebagai perantara budaya di bidang gastronomi,” tulis Kobez.

Dari risetnya Kobez juga menemukan, kehadiran food vlogger telah menjadi bagian dari foodie–orang yang senang mencicipi dan ahli dalam menilai makanan. Bahkan turut menciptakan diskursus, mengenai estetika dan etika seputar makanan berdasarkan pengalaman kuliner mereka.

Hal itu kemudian menjelaskan, rekomendasi restoran dan makanan dari food vlogger, sering jadi tolok ukur netizen untuk mencicipi makanan. Semakin banyak food vlogger yang posting, semakin penasaran publik untuk membuktikan cita rasanya.

Kondisi ini berbeda dengan era di mana kritikus makanan tidak mengekspos identitas, maupun aktivitas ketika sedang makan—seperti inspektur Michelin. Sejarawan makanan Fadly Rahman menegaskan, anonimitas itu memosisikan inspektur layaknya pembaca ulasan ketika mereka mencicipi makanan yang direkomendasikan.

“Ketika membaca tulisan food reviewer yang sesungguhnya, orang yang mau makan di tempat itu akan fair aja, (pengalamannya) akan sesuai yang di-review,” ucap Fadly. “Kalau dirasa enggak cocok buat masyarakat, dia (food reviewer) akan memberikan ulasan objektif sesuai wawasan gastronominya.”

Baca Juga: Narasi Influencer dalam Promosi Produk Anti-Pelakor

Kenyataannya, disrupsi digital membuka celah bagi siapa pun untuk menjadi food vlogger. Toh tak perlu modal banyak dan kemampuan khusus—selain gawai, kemampuan mengambil gambar dan mengedit, serta ketertarikan terhadap makanan. Seperti Ainin Dita Zulkarnain, foodie dengan handle @jakartarandomeats di Instagram.

Berawal dari kegemarannya mencicipi makanan, Ainin telah memasuki tahun kedelapan sebagai food vlogger. “Dari dulu suka makan, jalan bareng teman-teman, dan hunting restoran,” aku Ainin dalam wawancara bersama Magdalene.

Sebelum beralih ke Instagram pada 2015, Ainin lebih dulu aktif di Zomato dan Pergi Kuliner—platform untuk mencari rekomendasi dan mengulas makanan. Ia mulai menulis review mendetail di kedua platform tersebut pada 2012.

Meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan gastronomi, Ainin mengaku memahami cita rasa makanan dari keluarganya. Sejak kecil, ia membantu ibu dan nenek yang senang memasak. Kegemaran itu memperkaya pengetahuan Ainin seputar makanan.

“Aku ngerti jenis daging yang enak untuk rawon itu apa. Daging yang tetap ada lemaknya jadi lebih empuk. Keluaknya harus disangrai atau enggak. Jadi bisa jelasin tekstur dan rasa juga (kalau review makanan)” ungkapnya.

Sayangnya, maksimal durasi di Instagram reels yang hanya 90 detik, membatasi Ainin untuk mengulas secara detail. Dalam kontennya, Ainin mempertimbangkan aspek yang mau disorot berdasarkan tren Instagram reels.

Jika restoran punya konsep unik, misalnya, ia akan menyorot menu dan suasana tempat makan. Alasannya, terdapat banyak makanan, sehingga tidak dapat dijelaskan satu per satu. Konten itu berbeda jika Ainin berkunjung ke tempat makan yang fokus menjual satu menu. Ia akan menulis ulasan mendetail di caption—yang menurutnya belum tentu dibaca setiap orang.

Kendati demikian, tak semua food vlogger dapat menjelaskan cita rasa makanan lantaran nihilnya pengetahuan tentang kuliner. Ainin menyebutkan, sebagian food vlogger kini cenderung mengejar engagement konten.

“Enggak semua ngerti cita rasa makanan. Ada yang cuma bilang ini enak, ini enggak enak,” kata Anin. “Makanya food vlogger sekarang menurutku lebih ngejar views dan hits aja.”

Sependapat dengan Ainin, sejarawan makanan Fadly Rahman mengamati hal serupa. Saat diwawancara Magdalene (9/4) ia menuturkan, food vlogger yang punya latar belakang pendidikan atau profesinya berkaitan dengan gastronomi, akan memberikan rekam jejak yang baik pada kontennya. Dengan demikian, mereka tidak hanya mencari sensasi lewat tren makanan—seperti boba atau mukbang.

“Jadi, food vlogger akan bertanggung jawab (dalam mengulas makanan). Mereka mengedepankan kualifikasi diri berdasarkan kemampuan dan wawasannya,” jelas Fadly.

Dalam hal ini, wawasan yang dimaksud meliputi lingkungan, pangan, dan kuliner Indonesia yang harus diperhatikan saksama. Sebab, menurut Fadly, food vlogger dapat mengenalkan masyarakat terhadap kekayaan kuliner Indonesia.

“Pertanyaannya, apakah food vlogger memahami pakem-pakem gastronomi yang mencakup seni menyiapkan, memilih bahan makanan yang baik, dan mengonsumsi (makanan) dengan baik pula?” imbuh Fadly.

Baca artikel kedua di sini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *