Apa itu ‘Mindful Consumption’: Agar Tentram Lahir Batin Saat Belanja
Belanja juga mencakup soal kebutuhan, keamanan finansial, dampak secara fisik dan mental, hingga perilaku kecancuan terhadap berbelanja itu sendiri.
Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan cuitan konsumen yang melakukan ulasan atas minuman berpemanis yang dibelinya. Pemilik akun Twitter @gandhoyy mengulas – dengan beberapa diksi slang – kandungan gula yang terdapat dalam minuman bermerek Es Teh terlampau manis dan dapat menyebabkan diabetes. Ulasan ini berujung menjadi perdebatan publik ketika pihak Es Teh mengajukan somasi kepada Gandhi, dan diakhiri dengan permohonan maaf dari kedua belah pihak.
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan dari kasus di atas, sebenarnya ini bukan kali pertama media di Indonesia memberitakan keprihatinannya terhadap makanan yang memiliki kandungan gula tinggi.
Sudah beberapa kali media populer melaporkan, konsumsi gula masyarakat Indonesia lebih tinggi dari batas yang seharusnya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan untuk membuat cukai minuman berpemanis masuk ke agenda Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Belum lagi, penelitian memang menyatakan gula merupakan substansi yang adiktif dan mengakibatkan berbagai penyakit, di antaranya obesitas dan diabetes. Ini menunjukkan, konsumen harus waspada dalam berbelanja.
Namun, waspada bukan sekadar persoalan apakah barang yang kita beli aman dikonsumsi atau tidak. Belanja juga mencakup soal kebutuhan, keamanan finansial, dampak dari berbelanja secara fisik dan mental, hingga perilaku konsumtif dan adiksi terhadap berbelanja itu sendiri.
Sudah waktunya konsumen mempraktikkan mindful consumption demi melindungi diri dari potensi atas konsekuensi barang yang dibelinya dan mendapat ketenteraman dari aktivitas belanjanya.
Baca juga: Ada Bias Kelas dalam Maraknya ‘Wellness Industry’
Apa itu Mindful Consumption dan Manfaatnya?
Pada prinsipnya, konsep mindfulness – atau situasi mental dengan kesadaran penuh – merupakan ide pusat yang menjadi landasan utama mindful consumption. Praktik ini merujuk kepada kesadaran atas konsekuensi yang dihasilkan dari sebuah aktivitas konsumsi.
Konsep ini sejatinya relatif mudah untuk dipahami secara definitif. Premis utama dari mindful consumption adalah untuk berpikir secara sadar atas konsekuensi konsumsi yang kita lakukan.
Apa manfaat dari mindful consumption? Riset menunjukkan mindful consumption berkorelasi terhadap rasa cukup dan tenteram dari seorang individu. Hal ini tentunya baik bagi setiap kita yang acap kali sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain melalui kacamata media sosial.
Mari kita ambil contoh kasus berikut: Konsumen di tanggal gajian dihadapkan kepada berbagai diskon dan promosi produk teknologi di e-commerce. Mempraktikkan mindful consumption bisa dimulai dengan menantang diri dengan pertanyaan sederhana: “Apakah saya memerlukan gawai ini? Apabila saya membayar ini dengan opsi cicilan, apakah saya bisa membayar bunganya? Apakah ada alternatif lain, selain dari membeli alat ini?”
Pertanyaan-pertanyaan di atas merujuk kepada kesadaran konsumen dalam mempertimbangkan daya beli, melihat urgensi sebuah produk, melihat apakah itu kebutuhan atau hanya keinginan, dan konsekuensinya di masa depan. Hal ini dapat kita praktikkan tiap melihat iklan promosi produk.
Setiap pribadi dapat memiliki pertanyaan yang berbeda-beda dan tidak ada pertanyaan reflektif yang bodoh, salah, atau benar. Selama konsumen mampu melakukan refleksi atas intensinya dalam mengkonsumsi sesuatu dan mempertimbangkan konsekuensi atas pilihannya, hal ini merupakan praktik yang mendorong konsumen untuk melakukan belanja yang bertanggung jawab.
Baca juga: Sedikit-sedikit ‘Mindfulness’, Apa Kata Ahli Tentang itu?
Mindful dalam Belanja Makanan
Hal yang lebih menantang bagi sebagian besar konsumen adalah ketika dihadapkan dengan konsekuensi berbelanja makanan. Tiap-tiap dari kita membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Namun, tidak semua orang memahami konsekuensi dari setiap asupan yang kita santap.
Ide mindful consumption dalam konteks asupan sebenarnya secara mudah dapat diterjemahkan dengan konsep mindful eating. Studi menunjukkan konsep ini bahkan berkorelasi dengan berat badan yang lebih baik.
Di masa kini, kita semakin sering terekspos dengan berbagai promo makanan dan minuman yang masuk melalui notifikasi gawai kita. Bahayanya, pemahaman masyarakat atas pentingnya asupan gizi sehat masih minim dan tidak semua orang paham mengenai konsekuensi fisik maupun psikologis atas asupan yang masuk ke dalam tubuh. Belum lagi, sulit menjegal intensi bisnis untuk membombardir konsumen lewat promosi demi meraup laba setinggi-tingginya.
Sebagai konsumen, sulit bagi kita untuk mengontrol perilaku bisnis perusahaan. Tetapi, kita memiliki kontrol penuh atas pengetahuan kita mengenai apa yang kita asup. Di sini, penting bagi konsumen untuk memperluas pengetahuan soal makanan yang dikonsumsi untuk melakukan kontrol dalam berbelanja.
Baca juga: Konsep ‘Mindfulness’ dalam Islam Ajarkan Kesetaraan, Kebermanfaatan Manusia
Reflektif dan Proaktif
Saya berpendapat bahwa masyarakat secara umum dapat merujuk kepada dua hal dalam mempraktikkan mindful consumption.
Pertama, reflektif.
Kita dapat bertanya kepada diri sendiri atas konsekuensi dari konsumsi yang kita lakukan, apakah itu membeli barang murah maupun barang mewah. Terlebih, ketika kita dihadapkan terhadap bombardir promosi. Konsumen bisa selalu menantang diri sendiri dan berefleksi mengenai konsekuensi positif maupun negatif dari yang mereka lakukan.
Kedua, proaktif.
Apabila kita tidak tahu jawabannya, misalnya saja dari sisi asupan gizi, terdapat banyak informasi umum di internet yang setidaknya bisa memberikan kita pemahaman umum. Hal ini cukup untuk memberikan kita perspektif selama kita bijak dalam mencari informasi yang kredibel.
Kita juga bisa meluangkan waktu ketika menikmati layanan hiburan di platform streaming video dengan menonton konten edukatif, misalnya mengenai implikasi asupan yang kita santap sehari-hari. Konten edukatif ini tentunya tidak menyajikan informasi yang menyeluruh, namun biasanya bisa dipahami oleh sebagian besar dari kita. Apabila masih kurang yakin dan ingin mengetahui lebih banyak, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi langsung dengan ahli nutrisi maupun dokter gizi.
Di era media teknologi dan media sosial ini, kita kerap dihujani oleh berbagai promosi yang membuat kita konsumtif dan selalu membandingkan diri kita dengan orang lain. Konsep mindful consumption menawarkan kita untuk lebih sadar dan mawas diri agar kita tidak menjadi individu konsumtif yang berujung konsekuensi negatif di jangka panjang.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh Karina Tungari