Issues

Mundurnya Jacinda Ardern dan 4 Tantangan Perempuan Pemimpin

Mundurnya Jacinda Ardern dari jabatan Perdana Menteri Selandia Baru menjadi bukti perempuan masih punya hambatan dalam dunia politik.

Avatar
  • January 24, 2023
  • 8 min read
  • 1001 Views
Mundurnya Jacinda Ardern dan 4 Tantangan Perempuan Pemimpin

Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru mengumumkan pengunduran dirinya, (19/1). Ardern mengaku tidak lagi memiliki cukup tenaga untuk melakukan pekerjaannya. Jabatan ini menurutnya merupakan privilese tetapi juga diikuti tanggung jawab yang besar.

“Saya tahu apa yang dibutuhkan dalam pekerjaan ini. Dan saya tahu tidak lagi memiliki cukup tangki untuk melakukannya dengan adil,” katanya dikutip langsung dalam video yang diunggah oleh The Guardian.

 

 

Ardern menambahkan, politisi termasuk dirinya juga manusia. Sebagai manusia, politisi memberikan semua yang mereka bisa beri, tetapi bagi Ardern inilah saatnya berhenti.

Pengumuman Ardern sontak mengejutkan banyak pihak, terutama warga Selandia Baru yang pada 14 Oktober 2023 menjalankan Pemilihan Umum (Pemilu). Apalagi Ardern sendiri tidak memberikan “bocoran” atau petunjuk apa pun tentang pengunduran dirinya. Ia cuma bilang, keputusan itu telah direnungkan sepanjang liburan musim panas.

Sejumlah pihak lantas berspekulasi tentang alasan sebenarnya Ardern mengundurkan diri. Pasalnya, Ardern disebut-sebut sebagai salah satu pemimpin tersukses setelah menghadapi pandemi Covid-19, serangan teroris terhadap dua masjid di Christchurch, dan letusan gunung berapi Pulau Putih.

Bella Cleary dalam Magdalene menuliskan, Wāhine toa (perempuan kuat) lainnya di arena politik Selandia Baru mengutuk kekerasan berbasis gender (KBGO) yang dikabarkan telah memainkan peran besar dalam keputusan Ardern mundur.

Kasus Ardern ini menjadi pengingat bahwa politisi perempuan memang dihadapkan pada tantangan yang tak mudah. Apa saja tantangannya, berikut Magdalene rangkum untukmu:

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

1.      Pemimpin Perempuan Rentan Alami KBGO

KBGO yang meliputi intimidasi online, ancaman pembunuhan, dan ancaman pemerkosaan yang dialami Ardern selama memimpin, terjadi berulang kali. Kasus serupa juga dialami perempuan pemimpin lainnya.

Kate Hannah, pimpinan proyek di The Disinformation Project yang memetakan misinformasi, disinformasi, dan penyebaran komentar berbahaya dan penuh kebencian secara daring dalam The Guardian mengatakan, “Ada pertumbuhan yang berlipat-lipat pada jenis kekerasan yang bisa diidentifikasi sebagai KBGO pada para perempuan pemimpin. Dari Agustus hingga November 2022, tingkat misoginis yang menargetkan perempuan, termasuk anggota parlemen, meningkat hampir setiap harinya.”

Pelecehan ini meluas bahkan sampai pegawai negeri berpangkat rendah yang mungkin tidak memiliki tingkat keamanan sama. Pelecehan itu berupa tindakan mengobjektifikasi, mengendalikan, dan “memaksa” perempuan.

Temuan senada disampaikan akademisi dari University of Exeter. Dilansir dari BBC Worklife, dalam lima tahun terakhir, ada kekhawatiran besar terkait keamanan perempuan di ruang digital.

Ancaman dengan kata-kata “pukul, tusuk, tembak, serang” jumlahnya terus meningkat menjadi total 849 referensi harian. Laporan situs berita Stuff pada April 2022 yang dikutip The Guardian jadi buktinya. Dalam laporan ini, dilaporkan adanya kampanye intimidasi online misoginis terhadap politisi perempuan sayap kiri Megan Woods, Menteri Perumahan, anggota DPR dari Partai Buruh Sarah Pallett, dan anggota dewan Kota Christchurch Sara Templeton.

Kekerasan tersebut berasal dari akun media sosial palsu yang secara teratur mengirim pesan seksis penuh kekerasan. Wakil Pemimpin Partai Nasional Nicola Willis mengatakan, walaupun tidak mengalami tingkat kekerasan yang sama, ia juga sering menghadapi komentar -komentar misoginis dan orang-orang yang berusaha membungkamnya.

Baca Juga: 7 Gaya Kepemimpinan yang Disukai Karyawan

2.      Penampilan yang Selalu Jadi Sorotan

Perempuan selalu mendapatkan komentar sinis terkait penampilannya. Ini bukan asumsi belaka tetapi fakta. Dalam buku Women and Leadership: Real Lives, Real Lessons yang ditulis oleh Perdana Menteri pertama Australia, Julia Gillard, dan mantan Menteri Keuangan Nigeria, Ngozi Okonjo-Iweala, fakta ini berusaha diperlihatkan secara terang benderang.

Melalui pengalaman sendiri dan wawancara dengan delapan perempuan pemimpin termasuk Theresa May, Hillary Clinton, Jacinda Ardern ,dan Christine Lagarde, keduanya mengatakan penampilan secara historis terus menjadi dasar penilaian perempuan pemimpin. Sederhananya, perempuan pemimpin cenderung lebih dinilai bahkan lebih dihargai lewat penampilan mereka. Sebaliknya, laki-laki pemimpin dihargai pada apa yang mereka lakukan.

Hillary Clinton tidak asing dengan perlakuan ini. Saat dia maju sebagai calon presiden, Rush Limbaugh bertanya di acara radionya, “Apakah orang Amerika ingin melihat seorang perempuan bertambah tua di depan mata mereka?” Sebagai Sekretaris Negara, dia dikritik karena tampak “lelah dan kesepian” ketika foto dirinya tanpa riasan menjadi viral di media sosial.

Hal yang sama dialami oleh Julia Gillard dan Angela Merkel. Selama tiga tahun menjabat sebagai Perdana Menteri Australia, penampilan Gillard dari rambut hingga sepatu selalu jadi sorotan media. Sementara, Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan dipermalukan karena penampilannya yang dianggap “norak”. Gaya femininnya dengan kepemimpinannya yang tegas dianggap tidak mencerminkan sosok perempuan yang ladylike.

Penilaian yang selalu terfokus pada penampilan ini sayangnya sering membuat para pemimpin perempuan kehilangan kesempatan untuk menyampaikan pesan substantif atau bahkan dihargai karena kerja-kerja politiknya. Kehilangan besar ini tak lain karena efek masifnya komentar yang tidak proporsional pada penampilan, yang terlontar dari publik dan media massa.

Perempuan akhirnya berada posisi dilematis karena harus meluangkan waktu ekstra hanya untuk mempersiapkan penampilan di berbagai acara publik. Inilah yang dialami oleh Erna Solberg, politisi Norwegia dan Pemimpin Oposisi, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri ke-35 Norwegia dari 2013 hingga 2021. 

“Ketika saya menjadi ketua partai, ada beberapa komentator media yang berkata, ‘Dia berpakaian jelek. Dia harus melakukan sesuatu tentang riasannya.’  Saya memang memotong rambut sesuai gaya yang disarankan oleh penata rambut, dan tiba-tiba saya menjadi orang baru di benak media.”

Ia melanjutkan, “Dalam beberapa berita surat kabar, mereka berkata, ‘Lihat, dia tampil lebih baik dalam jajak pendapat dan lihat seberapa baik penampilannya. Dia pasti diet. Dia memiliki pakaian yang lebih segar dan dia memotong rambutnya.’ Sungguh lucu melihat media sangat terpaku pada pakaian dan gaya rambut dan berpikir penampilan saya yang berubah menjadi alasan keberhasilan Partai Konservatif.”

Baca juga:  Contoh Pemimpin Idola yang Bisa Dijadikan Panutan

3.      Punya Anak atau Tidak jadi Masalah Bersama

Pada Selasa malam, beberapa jam setelah pekerjaan barunya, Ardern muncul di program terkini The Project. Dilansir dari BBC, dalam program itu Ardern ditanyai oleh pembawa acara Jesse Mulligan tentang apakah dia merasa harus memilih antara memajukan kariernya sebagai politikus dan memiliki anak.

Pertanyaan serupa pun kembali muncul pada wawancaranya bersama The AM Show. Mark Richardson bilang, warga Selandia Baru memiliki hak untuk mengetahui saat memilih perdana menteri apakah orang tersebut akan mengambil cuti hamil. Pertanyaan tersebut jelas membuat Ardern marah.

“Benar-benar tidak dapat diterima,  di 2017, perempuan tetap harus menjawab pertanyaan itu di tempat kerja. Itu tidak dapat diterima, tidak dapat diterima. Ini adalah keputusan perempuan tentang kapan mereka memilih untuk memiliki anak dan seharusnya tidak menentukan apakah mereka diberi pekerjaan atau memiliki kesempatan kerja,” katanya sambil menunjuk jarinya ke Richardson, dikutip langsung dari BBC.

Pertanyaan berulang-ulang kepada dari Ardern tentang peran reproduksinya ini menunjukkan standar ganda publik. Ilmuwan politik Jessica Smith dari Birkbeck College di London mengatakan, meskipun peran dalam masyarakat berubah, gagasan utama perempuan adalah ibu masih sangat kental.

Dengan gagasan ini, masyarakat akan terus menekankan keluarga dan anak sebagai aspek terpenting dalam diri perempuan bahkan pada perempuan pemimpin sekalipun. Karena itu, perempuan akan selalu ditanyakan hal-hal terkait peran reproduksinya, sedangkan laki-laki pemimpin jarang bahkan tak sama sekali ditanyai tentang peran dan rencananya menjadi ayah.

Hal ini pula yang mengakibatkan perempuan pemimpin yang dinilai tidak sesuai dengan gagasan perempuan sejati, rentan mengalami kekerasan dan pelecehan. Beberapa politisi menghadapi serangan politik yang serius karena tidak memiliki anak. Ambil contoh mantan Perdana Menteri Julia Gillard.

Dalam editorial, Sydney Morning Herald menulis: “Persona medianya tidak sesuai dengan harapan beberapa pemilih: Perempuan lajang, tidak memiliki anak, yang hidupnya didedikasikan untuk kariernya.”

Menurut Nalina Eggert dalam BBC, selama tiga tahun memimpin, Gillard disebut “sengaja mandul” (oleh seorang senator dari partai lain) dan “mantan komunis atheis tanpa anak” (oleh saingan dari partainya sendiri). Ia mengalami begitu banyak pelecehan dan kekerasan berbasis gender hingga ia dikenal dunia lewat pidatonya saat mengritisi Tony Abbott, lawan politiknya.

 4.      Double Bind atau Ikatan Ganda

Pada Oktober 2012, secara tegas, tanpa terbata-bata, meskipun berusaha dipotong oleh lawan politiknya, Julia Gillard menyampaikan pidato di depan parlemen. “Cukup bagi saya, juga wanita Australia. Ketika saya melihat seksisme dan misogini, saya akan memanggil mereka untuk bertindak yang seharusnya,” katanya.

Tindakan itu menuai reaksi beragam: Ada yang mengapreasiasi, separuhnya mengecam.

Dalam penelitian Leadership and the media: Gendered framings of Julia Gillard’s ‘sexism and misogyny’ speech (2012), pasca-pidato itu, Gillard mendapatkan berbagai serangan dari media massa dan akun-akun media sosial. Ia disebut sebagai seorang pemimpin yang punya emosi tak terkendali. Hal yang seharusnya tidak boleh dimiliki seorang pemimpin perempuan.

Respons yang diterima oleh Gillard ini bukanlah hal langka. Dilansir dari Catalyst, gaya kepemimpinan selalu diasosiasikan dengan maskulinitas, atau memimpin dengan gaya seperti lelaki. Pandangan ini sayangnya hari ini masih mendominasi pemikiran kita.

Kalau bersikap tegas atau marah, perempuan politisi dianggap emosional, bitchy, atau bahkan kejam. Sebaliknya, jika bersikap terlalu “lunak” dan tidak asertif, mereka akan dianggap tidak kompeten dalam mengemban tugasnya. Inilah yang dinamakan double bind.

Perempuan pemimpin kesulitan menavigasikannya dalam level kepemimpinan karena ada tekanan sosial untuk berperilaku sesuai dengan peran dan karakteristik gender mereka. Lemah lembut, empatik. Tetapi di satu sisi juga harus bisa “menjadi laki-laki” agar dianggap kompeten.

Posisi inilah yang seringkali membuat perempuan pemimpin menghabiskan lebih banyak waktu untuk: Membuktikan mereka adalah pemimpin yang kompeten, dan menghadapi stereotip tanpa ujung. Waktu tambahan yang sayangnya tak pernah dialami oleh laki-laki pemimpin.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *