Issues Politics & Society

Oklin Fia, Kemaluan Pria, dan Cercaan Penista Agama yang Tak Perlu

Kita harus berhenti menyebut Oklin Fia sebagai penista agama. Berikut alasannya.

Avatar
  • August 9, 2023
  • 7 min read
  • 2003 Views
Oklin Fia, Kemaluan Pria, dan Cercaan Penista Agama yang Tak Perlu

Relatif tak banyak yang tahu siapa Oklin Fia, selebgram dengan pengikut ratusan ribu di Instagram dan TikTok termasuk saya. Namanya samar terdengar pertama kali saat ia diwawancarai Nikita Mirzani dalam Podcastnya, medio April 2023. Kepada Nikita ia bilang, beberapa pria kerap mengirim direct message bernada menggoda kepadanya, termasuk aktor Ammar Zoni yang tersandung kasus narkoba. Nama Oklin kembali jadi buah bibir saat banyak orang melabelinya sebagai penista agama, buntut video terbarunya bulan ini.

Dalam video yang muncul di akun Instagram miliknya–kini sudah deaktif– perempuan yang mengenakan penutup kepala seperti pashmina, bercelana dan baju ketat itu tampak membungkuk di depan teman pria. Sebuah es krim diletakkan di depan area genital pria tersebut, sehingga Oklin bisa dengan leluasa menjilatinya.

 

 

Sontak, publik marah. Deretan aktor Tanah Air dari Refal Hady hingga Abidzar Al Ghifari menyebut Oklin menistakan agama, menodai kain penutup kepala yang ia kenakan, juga menjatuhkan martabat perempuan. Jika Abidzar mengajak pengikutnya ramai-ramai melaporkan akun Oklin ke Instagram, Refal bahkan mendaku siap menyeretnya ke meja hijau.

Oklin adalah penista agama.

Begitulah julukan baru yang disematkan padanya. Tak cuma digaungkan media, beberapa warganet juga tak segan menyuruh dia membuka jilbabnya saja. Seolah mereka lebih permisif jika perempuan tak berhijablah yang membuat konten–meminjam istilah Kalis Mardiasih dalam esainya di Mojok–menormalisasi kekerasan terhadap pria. 

Pertanyaannya, sebenarnya haruskah kita ramai-ramai menghujat Oklin Fia? Bagaimana memotret masalah ini dari sudut pandang hukum dan agama?

Baca juga: Kenapa Perempuan Muslim Pakai Jilbab?

(Simbol) Agama Tak Perlu Dibela

Dari sejumlah tuduhan yang dialamatkan pada Oklin, mayoritas mempermasalahkan kerudung yang ia gunakan. Sebagai perempuan Muslim, tak sepatutnya jika ia membuat konten yang menonjolkan bagian payudara dan pantat karena itu termasuk aurat. Tak cuma itu, perempuan Muslim juga mesti menjaga tingkah laku, bertutur dan bersikap Islami, termasuk tidak membuat konten menjilati es krim yang menyerupai alat genital pria. Dari komentar warganet, sepintas tanggung jawab ini cuma berlaku untuk Muslimah berhijab, sedangkan kita tahu dari 238 juta Muslim di Indonesia, tak semuanya mengenakan penutup kerudung.

Menariknya, kemarahan publik yang disusul dengan ajakan melaporkan orang yang diduga menistakan agama, bukan kali pertama. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, pada 2020, terdapat 67 kasus dugaan penistaan agama di Indonesia. Sebelum Oklin, ada Lina Mukherjee yang dituduh menistakan agama karena makan kerupuk babi dengan mengucap “Bismillah” pada 2023. Lalu yang paling bikin geger adalah laporan penistaan agama terhadap eks Gubernur Jakarta Ahok pada 2017. Setahun selang kasus Ahok, komedian Ge Pamungkas juga dilaporkan dengan tuduhan yang sama. 

Apa yang yang terjadi pada orang-orang itu mengingatkan saya pada pernyataan Gus Dur yang cukup sohor dan kontroversial dalam salah satu kolomnya di Majalah Tempo. Kata pentolan Nahdlatul Ulama tersebut, “Tuhan tidak perlu dibela. Tuhan Maha Besar, Maha Mulia, dan Maha Kuasa.” Ucapan Gus Dur coba direfleksikan oleh Kyai Husein Muhammad dalam artikelnya di Mubadalah bertajuk “Jika Tuhan Tak Perlu Dibela, Lalu Siapa yang Harus Dibela”.

Ia mengutip hadis ke-24 dalam kitab “Arbain Nawawi”, himpunan ahli hadis Imam Nawawi. “Wahai hamba-hamba-Ku. Andaikata kalian baik manusia maupun jin, sejak zaman awal hingga dunia berakhir, sepakat untuk bertaqwa kepada-Ku. Kekuasaan-Ku tak menjadi bertambah sedikit pun.”

Buat saya, pernyataan Kyai Husein menunjukkan, kekuasaan Tuhan memang sebesar itu. Keagungan agama Islam memang tak terbantahkan. Sehingga, menyalahkan orang yang memeluk agama itu hanya karena tindakan atau tuturnya tak sesuai, adalah salah alamat.

Saya mewawancarai Kiai Haji Jamaluddin Mohammad, pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Jawa Barat sekaligus peneliti Rumah KitaB tentang ini, (9/8). Menurutnya, yang dilakukan Oklin Fia ini relatif berlebihan karena menganggap kerudung adalah simbol agama.

“Ini kan persepsi orang saja yang menganggap kerudung Oklin jadi simbol agama Islam,” ujarnya.

Anggapan orang-orang biasanya mengacu pada tafsir tekstual perintah berjilbab dalam  Q.S. al-Ahzāb (33):53, Q.S. al-Ahzāb (33):59 dan Q.S. an-Nūr (24): 31. Padahal jika ditafsirkan secara kontekstual dengan pendekatan mubadalah (kesalingan), Islam sangat mengakui dan menghormati identitas perempuan. Bahkan dalam perkara tubuh, keputusan untuk berjilbab atau tidak, sepatutnya tidak berasal dari tekanan publik atau stereotip tertentu, melainkan menjadi otoritas perempuan.

Lebih lanjut, dalam konteks lebih umum, kerudung tak cuma menjadi simbol orang Islam. Gus Jamal menjelaskan, di negara lain yang bukan Islam, kerudung juga merupakan bagian dari pakaian mereka. Contohnya, biarawati juga pakai kerudung. Perempuan di Timur Tengah, apapun agamanya juga mengenakan penutup kepala untuk melindungi diri dari cuaca ekstrem setempat.

“Kerudung juga bisa dimaknai berbeda-beda, tergantung tujuan pemakainya. Seorang koruptor Muslimah yang biasa tidak pakai kerudung, kemudian ketika dipanggil pengadilan tiba-tiba berkerudung, kira-kira apa maknanya bagi mereka? Apakah ini tidak sedang menista agama?” ungkap Gus Jamal.

Berangkat dari situlah, sebagai Muslim, kita tak bisa terburu-buru menghakimi pilihan Oklin Fia untuk berkerudung dan melakukan tindakan itu. Saya harus bersepakat dengan ucapan Kalis Mardiasih, fokus kita mestinya pada tindakan Oklin yang sedang menistakan dirinya sendiri, alih-alih agama atau kerudung yang ia kenakan.

Gus Jamal memberikan tiga masukan untuk umat Muslim dalam merespons ini.

Pertama, jangan berlebihan dalam merespons segala sesuatu, terlebih mengaitkan segalanya pada urusan agama. “Agama jangan dipersempit hanya mengurusi urusan-urusan kecil. Dalam perspektif keagamaan, orang seperti Oklin, kalau pun harus dinasihati menggunakan pendekatan keagamaan, harus dirangkul, bukan dihujat, dicaci maki, apalagi dilaporkan menggunakan delik penistaan agama. Mereka yang baru belajar atau baru tahu agama malah akan lari dan memusuhi agama,” urainya.

Kedua, sebagai orang beragama, kita patut memberikan pemahaman, pengertian, dan lebih mengedepankan kasih sayang (rahmah). Dalam sebuah hadis Nabi disebutkan, kasih sayang Tuhan itu lebih besar ketimbang murkanya. Jangan dibayangkan, kata Gus Jamal, Tuhan sebagai Maha Pemarah dan Maha Pembenci kepada makhluknya.

Ketiga, kesalahan tidak ditunjukkan dalam bentuk pakaian dan aksesoris. Menurut Gus Jamal, kesalehan terkait dengan ranah batin (privat) yang memancar lewat sikap dan perilaku yang baik. Saleh secara individual (rajin ibadah) akan berdampak pada kesalehan secara sosial. Mestinya Muslim memahami hal paling mendasar ini.

Baca juga: Ada ‘Slut Shaming’ di Balik Komentar Netizen Soal Hubungan Asmara Emily Ratajkowski

Tuduhan Sumir yang Sulit Dibuktikan dengan Hukum Pidana

Menghakimi Oklin Fia yang mencederai imej ketaatan perempuan Muslimah, sama ngawurnya dengan melaporkan dia dengan tuduhan penistaan agama. Gus Jamal sendiri tak setuju jika ada umat Muslim yang melaporkan Oklin dengan tudingan penistaan agama, mengingat definisi ini di dalam hukum masih sangat terbuka dan longgar untuk ditafsirkan.

Saya bertanya pada Asfinawati, advokat hak asasi manusia (HAM) yang juga aktif di YLBHI, (9/8). Dalam pengamatannya, penodaan atau penistaan agama dalam jejak penggunaannya telah digunakan untuk berbagai tindakan.

Umumnya pasal yang digunakan untuk menyeret terduga penista agama adalah Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

Ada lagi Pasal 156(a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Masalahnya, pasal-pasal tersebut tak jelas tafsiran hukumnya, sehingga bisa dikategorikan sebagai pasal karet. “Selain pasal karet juga, ini bertentangan dengan prinsip hukum pidana (legalitas) yang harus ketat untuk mencegah overcriminalization,” imbuh Asfinawati.

Meskipun KUHP versi terbaru sudah mengganti ketentuan tentang penodaan agama, tapi UU itu sudah mulai membatasi ke arah ujaran kebencian saja. Karena itulah konten Oklin Fia jelas tidak masuk dalam ekspresi penodaan agama yang diinginkan politik hukum pidana baru.

Jika laporan ini tetap diteruskan, apa yang sebaiknya dilakukan kepolisian? Asfinawati menyarankan agar polisi harus tetap kuat agar dapat mendidik masyarakat tentang mana yang layak diproses, mana yang tidak.

“Fenomena seperti ini namanya ketersinggungan. Kita enggak bisa mempidana orang dengan alasan ketersinggungan,” jelasnya.

Jangan sampai hanya karena ada tekanan publik termasuk dari kelompok agama, polisi jadi melempem.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *