Issues

49 Tahun Dharma Wanita, Masih Tersandera Ibuisme

Peran perempuan di masa kini masih saja direduksi di Dharma Wanita. Apakah organisasi bentukan rezim Orde Baru ini masih relevan?

Avatar
  • August 9, 2023
  • 6 min read
  • 948 Views
49 Tahun Dharma Wanita, Masih Tersandera Ibuisme

Tahun ini menginjak 49 tahun organisasi Dharma Wanita terbentuk. Didirikan oleh Amir Machmud dan diprakarsai Tien Soeharto—saat itu menjabat sebagai ibu negara, organisasi ini punya satu tujuan: meningkatkan kualitas sumber daya anggota keluarga pegawai negeri sipil (PNS) untuk mencapai kesejahteraan nasional.

Hal itu dilakukan para istri dengan mendukung tugas suami, yang mengabdikan hidupnya pada negara. Karena itu, di era Orde Baru (Orba), peran Dharma Wanita tak jauh dari peran domestik, sebagaimana tertulis dalam Panca Dharma Wanita: perempuan sebagai istri pendamping suami, ibu rumah tangga, penerus keturunan dan pendidik anak, pencari nafkah tambahan, serta warga negara dan anggota masyarakat.

 

 

Dari kelima pedoman itu, terlihat bahwa perempuan tidak memiliki identitas sebagai individu. Perannya berkaitan dengan pasangan, laki-laki, dan negara—sebuah bukti rezim Orba mendomestifikasi perempuan di balik dalil pembangunan nasional.

Misalnya saat suami berpolitik, istri diharapkan mengurus anak dan rumah tangga. Padahal, “dorongan” untuk mendukung suami ini merupakan indoktrinasi ibuisme oleh negara terhadap masyarakat. Yakni memosisikan perempuan sebagai pekerja domestik tanpa dibayar, demi mendukung kapitalisme negara.

Lalu, apa yang melatarbelakangi indoktrinasi ibuisme melalui Dharma Wanita saat itu?

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Ibuisme dan Dharma Wanita di Era Orba

Pada rezim Orba, pemerintah cenderung mengontrol masyarakat secara opresif dan otoriter. Tak terkecuali perempuan, yang perannya dibatasi dan disederhanakan lewat domestifikasi, sekalipun lewat organisasi. Bahkan, dalam organisasi pun, jabatan suami yang mendefinisikan posisi istri.

Sebab, dalam Dharma Wanita, keterlibatan perempuan mencerminkan hierarki pasangannya. Contohnya jika suaminya seorang menteri, sang istri mengepalai Dharma Wanita di kementerian tersebut. Begitu seterusnya sampai tingkat provinsi dan kabupaten. Tanpa mempertimbangkan latar belakang dan kapabilitas istri sebagai individu.

Dalam Agama, Seks, dan Kekuasaan (2012), penulis Julia Suryakusuma menjelaskan, hierarki tersebut menggambarkan bagaimana Dharma Wanita didirikan, untuk mengatur dan mengontrol kegiatan istri PNS. Sebenarnya, yang diatur bukan hanya para istri, melainkan karier PNS, yang dipengaruhi “kinerja” istri mereka di Dharma Wanita. Ini dikarenakan tugas utama perempuan sebagai pendamping, yang mendukung tugas resmi suami dengan menciptakan suasana harmonis.

Padahal, sebelum Orba, perempuan tidak dibatasi untuk bergabung dalam satu organisasi. Selain Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang memperjuangkan hak perempuan di sektor publik, istri PNS pun dapat bergabung di organisasi, yang dikategorikan berdasarkan departemennya masing-masing. Dalam wawancara bersama Magdalene, Julia bercerita, karena sang ayah bekerja di Departemen Luar Negeri (Deplu), ibunya bergabung dalam Organisasi Wanita Deplu (OWD) di era Orde Lama.

“Waktu saya masih SD (Sekolah Dasar), ibu saya anggota OWD. Lalu ada kursus jadi montir. Itu kan oke banget, berarti perempuan bukan cuma bisa nyetir aja, tapi ngerti mesin,” ceritanya.

Kondisi tersebut menjelaskan, kegiatan organisasi perempuan tidak dimobilisasi untuk melanggengkan kekuasaan. Sementara waktu Orba, aktivitas dilakukan berdasarkan ibuisme negara—ideologi yang digagaskan Julia dalam tulisannya dengan judul yang sama.

Baca Juga: Riset: Hanya 23 Persen PNS Perempuan Duduki Jabatan Eselon

Pada masa itu juga, konstruksi sosial terhadap perempuan terbentuk melalui Dharma Wanita. Peran perempuan tak lebih dari pelengkap suami dan mengurus pekerjaan domestik. Bagi Julia, hal ini turut membentuk tolok ukur baik tidaknya perempuan di mata masyarakat, yang kita kenal sampai saat ini.

Bahkan, beberapa kali dalam pidatonya, Presiden Soeharto menegaskan posisi perempuan di rumah tangga. Mengutip Tirto.id, salah satunya dalam Musyawarah Nasional Dharma Wanita III pada April 1988, di Istana Negara.

Dalam kesempatan itu, Presiden Soeharto mengatakan, “Kaum wanita memberikan sumbangannya terhadap pembangunan nasional. Pembangunan masa yang akan datang akan berhasil, apabila dilaksanakan oleh manusia-manusia yang sehat jasmani dan rohani, cerdas dan kuat kepribadiannya, serta memiliki rasa tanggung jawab yang besar dan budi pekerti yang luhur. Manusia yang demikian hanya bisa diwujudkan, dari anak-anak yang dilahirkan, oleh ibu-ibu yang menjaga perannya sebagai ibu yang baik.”

Pidato tersebut menggarisbawahi betapa signifikannya peran perempuan dalam kemajuan bangsa. Padahal, menyederhanakan perempuan sebagai ibu, tanpa memberikan pilihan lain untuk menjadi pribadi secara bebas dan utuh.

Lebih dari itu, domestifikasi perempuan turut diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Contohnya dalam Pasal 31 Ayat 3, yang menyebutkan “suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Kemudian dalam Pasal 34 Ayat 2 dijelaskan, “istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Lalu konsekuensi jika salah satu pihak lalai dengan kewajibannya, pihak lainnya dapat menyampaikan gugatan ke pengadilan sesuai Pasal 34 Ayat 3.

Terlepas dari UU tersebut, negara lebih lagi mengontrol pernikahan dan perceraian PNS. Saat itu, kehidupan pribadi orang-orang yang duduk di pemerintahan mendapatkan sorotan publik, termasuk urusan rumah tangga. Hal ini membuat perceraian PNS dapat dilakukan atas perizinan atasan, sesuai yang tertulis dalam UU Perkawinan: zina, mabuk, judi, pertikaian terus-menerus, meninggalkan tanpa alasan sah, penganiayaan, disabilitas atau mengalami penyakit yang tidak bisa disembuhkan, atau divonis hukuman lebih dari lima tahun penjara.

Selain mencampuri ranah privasi, aturan tersebut sekaligus menekankan fungsi perempuan pada ibu dan istri. Merefleksikan Dharma Wanita pada era Orba, Julia pun mengungkapkan, saat itu pemerintahan menempatkan perempuan sebagai komoditas, dan kepentingan suatu rezim yang sangat patriarki. Lalu, seperti apa organisasi tersebut di era kini?

Baca Juga: Feminisme Dekolonial dan Upaya Menampilkan Perjuangan Perempuan

Dharma Wanita di Era Reformasi

Begitu rezim Orba berakhir pada 1998, Dharma Wanita baru menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Salah satunya lewat pergantian nama menjadi Dharma Wanita Persatuan (DWP) pada 1999, dengan misi menyejahterakan anggota melalui bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya.

Kendati demikian, ketika diwawancara dalam artikel yang sama oleh Tirto.id, Sekretaris DWP Yogyakarta Ratna Ekawati menyatakan, para anggota DWP masih sebatas mendukung suami yang bekerja. Kata Ratna, sudah seharusnya perempuan menjadi tiang keluarga, dan teladan bagi anak-anak di lingkup keluarga—dengan harapan anak-anaknya bermanfaat untuk bangsa dan negara.

Hal serupa disampaikan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, saat memperingati Hari Dharma Wanita Nasional, (5/8). Melansir Liputan 6, Khofifah mengingatkan Dharma Wanita berperan untuk mendukung pekerjaan Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurutnya, tanpa kekuatan mental spiritual yang kokoh, ASN bisa terdorong melakukan hal yang tidak baik.

“Di sinilah peran keluarga, khususnya anggota Dharma Wanita, untuk saling menguatkan dan mengingatkan,” ungkap Khofifah.

Pernyataan Ratna maupun Khofifah mencerminkan, belum adanya perubahan signifikan dalam Dharma Wanita di era Reformasi. Artinya, masih ada ibuisme yang diinternalisasi dan membatasi ruang gerak perempuan di lingkup domestik dalam organisasi tersebut—ataupun menghadapi beban ganda mengingat sebagian perempuan menjadi pencari nafkah utama.

Karena itu, Dharma Wanita dapat menyesuaikan visi misi organisasinya, dengan kebutuhan anggotanya sebagai individu. Salah satunya dengan mendefinisikan peran mereka kembali.

Sebab, Dharma Wanita memiliki sumber daya yang kuat. Melihat anggota organisasi ini mencakup seluruh istri pejabat negara bidang pemerintahan, istri pegawai ASN, istri perangkat pemerintahan desa, dan istri kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Kemudian istri anggota TNI, Polri, serta purnawirawan TNI dan Polri. Lalu istri dan janda pensiunan pegawai ASN, BUMN, BUMD, serta istri dan janda pegawai dan/atau pensiunan Perguruan Tinggi Negara Badan Hukum.


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *