Lifestyle

Ada ‘Slut Shaming’ di Balik Komentar Netizen Soal Hubungan Asmara Emily Ratajkowski

Kebersamaan Emily Ratajkowski dan Harry Styles panen komentar miring. Netizen menilai perilaku Ratajkowski enggak pantas dilakukan seorang ibu tunggal.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 6 min read
  • 1962 Views
Ada ‘Slut Shaming’ di Balik Komentar Netizen Soal Hubungan Asmara Emily Ratajkowski

Dalam video yang beredar di internet akhir pekan lalu, model Emily Ratajkowski terlihat berciuman dengan Harry Styles, usai sang penyanyi mengakhiri konsernya di Tokyo, Jepang.

Dengan cepat, spekulasi keduanya berpacaran muncul—baik dari media maupun netizen. Ada yang mendukung Ratajkowski untuk bersenang-senang dengan kembali berkencan, ada juga yang mempertanyakan. Mengingat terakhir kali Ratajkowski tertangkap kamera bersama komedian Eric André, Februari lalu. Waktu yang dianggap publik belum terpaut lama.

 

 

Pembicaraan itu kemudian meluas ke daftar laki-laki, yang pernah terlihat bersama Ratajkowski. Tepatnya sejak perceraiannya dengan produser Sebastian Bear-McClard pada September 2022. Bahkan, sejumlah media di Indonesia, internasional, hingga akun-akun base budaya populer di Twitter, “merangkum” list tersebut: Brad Pitt, Pete Davidson, Eric André, dan Harry Styles.

Selain membicarakan hal serupa, netizen pun menilai perilaku Ratajkowski enggak pantas. Terlebih karena penulis My Body (2021) itu perempuan berusia 30-an, dan ibu dari satu anak—yang seharusnya tidak berkencan sana-sini dan menjaga tingkah lakunya.

Mirisnya, netizen dan media kerap menanggapi rumor figur publik perempuan yang berkencan, seperti mereka melihat Ratajkowski. Perempuan dianggap bersalah hingga dipandang sebelah mata, hanya karena mengakhiri hubungan dan punya relasi baru. Akhirnya penilaian tersebut memengaruhi keberhargaan perempuan, yang tidak seharusnya didefinisikan oleh apa pun.

Lalu, apa yang melatarbelakangi respons netizen dan pemberitaan media?

Slut Shaming Rugikan Perempuan

Respons netizen dan media terhadap Ratajkowski, merupakan contoh slut shaming di ruang daring yang kerap terjadi pada perempuan. Perlakuan ini dilatarbelakangi oleh ekspektasi masyarakat, yang menstigma perempuan berdasarkan penampilannya, sexual availability, dan perilaku seksual.

Baca Juga: Drama Alis Hailey Bieber-Selena dan Obsesi Kita pada Persaingan Perempuan

Dalam hal ini, keperawanan dan moralitas juga berperan dalam membentuk ekspektasi tersebut. Karena itu, Ratajkowski menerima “hukuman sosial” setelah berhubungan dengan sejumlah laki-laki.

Pada dasarnya, slut shaming mengakar pada seksisme dan misogini, di mana perempuan direndahkan lantaran dianggap tidak mampu menjaga “kesuciannya”. Kesucian yang dimaksud adalah harapan untuk menjadi “perempuan baik-baik” sebagaimana hasil konstruksi sosial: Berpakaian tertutup, tidak bertato dan merokok, enggak gonta-ganti pasangan, dan tidak aktif secara seksual sebelum menikah.

Ketika perempuan menginternalisasi nilai-nilai budaya patriarki sebagai nilai diri, akibatnya mereka membatasi ruang geraknya. Bahkan ikut membatasi kebebasan perempuan lain—salah satunya dengan slut shaming. Perbuatan ini kemudian merendahkan harga diri perempuan.

Selain itu, slut shaming juga memberikan bukti lain akan adanya standar ganda antara laki-laki dan perempuan. Sebab, yang terjadi pada laki-laki justru sebaliknya. Mereka menerima pujian, ketika berhubungan dengan banyak perempuan dalam waktu singkat. Bahkan, laki-laki dihormati apabila memiliki banyak pasangan seksual.

Dr Nicola Henry, peneliti kekerasan seksual dan reformasi hukum di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), Australia, dalam wawancara bersama The Sydney Morning Herald mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, kepercayaan, nilai, sikap, dan ekspektasi sosial sangat berdampak pada bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berperilaku.

Tentu Ratajkowski bukan satu-satunya figur publik yang menerima slut shaming. Taylor Swift disebut menciptakan lagu berdasarkan hubungan romantisnya. Miley Cyrus menerima slut shaming di media sosial lantaran berciuman dengan Cody Simpson, beberapa bulan setelah bercerai dari Liam Hemsworth. Bella Thorne mendapat komentar serupa karena gaya berpakaiannya.

Baca Juga: Dari Kasus Sambo Hingga Mario Dandy: Bukti Sindrom ‘Blame the Woman’ Merajalela

Yang tak disadari, slut shaming sebenarnya merugikan perempuan. Pasalnya, perlakuan tersebut berdampak pada self-esteem, menimbulkan perasaan malu dan bersalah, depresi, serta kecemasan. Lebih dari itu, slut shaming dapat memicu kecemasan seksual, perasaan takut disalahkan sebagai korban, hingga menimbulkan keinginan bunuh diri.

Tak Hanya Laki-laki, Perempuan Juga Melakukannya

Slut shaming yang merupakan dampak dari budaya patriarki nyatanya juga dilakukan perempuan. Pada 2016, misalnya, aktor asal India, Alia Bhatt melakukan slut shaming dalam sebuah wawancara. Saat itu, Bhatt enggan mengonfirmasi hubungannya dengan aktor Bollywood. Kemudian, ia mengungkapkan alasannya sambil mencontohkan Taylor Swift.

“Lihat Taylor Swift, dia mengencani semua orang. Tapi kalau di sini (India), dia akan sangat malu. Image dan daya tariknya akan berbeda,” tutur Bhatt. “Aktor enggak membicarakan kehidupan pribadi mereka, karena masyarakat melakukan slut shaming. Pada akhirnya, saya bertanggung jawab melindungi diri sendiri.”

Ada juga aktor Jameela Jamil. Pada 2013-2014, beberapa kali ia mengomentari penampilan rekan selebriti lewat twitnya.

“Miley Cyrus melakukan oral seks ke laki-laki yang mirip Bill Clinton di atas panggung. Kami ngerti, kamu suka seks,” tulis Jamil.

Saat itu, Jamil menanggapi perilaku Cyrus ketika tur ‘Bangerz’. Sementara Cyrus melakukan tindakan tersebut sebagai respons atas pernyataan Mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Bill Clinton, yang menyangkal pernah berhubungan seksual dengannya.

Ketika menghadiri talk show Red Table Talk, Jamil mengaku mengucapkan komentar slut shaming lantaran waktu itu masih misoginis. Dengan kata lain, perempuan pun tak luput dari internalisasi seksisme dan misogini.

Namun, selain kedua faktor tersebut, slut shaming yang dilakukan perempuan turut dipengaruhi oleh persaingan intraseksual. Yakni dorongan untuk mengungguli perempuan lain dalam memperebutkan calon pasangan—membuat mereka begitu memperhatikan dan mengawasi seksualitas perempuan.

Baca Juga: ‘Shaming’ Pelaku Kekerasan Seksual: Bisa Efektif Tapi Berisiko bagi Korban

Dari persaingan intraseksual ini kemudian muncul berbagai tindakan. Dalam riset  Who punishes promiscuous women? Both women and men are prejudiced towards sexually-accessible women, but only women inflict costly punishment (2019), peneliti Naomi Muggleton, Sarah Tarran, dan Corey Fincher menyebutkan beberapa di antaranya. Seperti menghina perempuan yang dianggap pesaing, bergosip bahwa saingannya suka seks bebas, dan menunjukkan agresi.

Lebih dari itu, slut shaming bahkan tak melulu disebabkan persaingan. Perilaku ini bisa disebabkan oleh ketidaksukaan terhadap sesama perempuan, dari kelas sosial yang berbeda—sebagaimana dijelaskan periset Elizabeth A. Armstrong, dkk.

Melalui riset “Good Girls”: Gender, Social Class, and Slut Discourse on Campus (2014), Armstrong mencontohkan perempuan dari kelas atas. Mereka menggunakan istilah “slut” ketika perempuan dari kelas bawah ingin bergabung dalam pertemanannya.

Sementara perempuan dari kelas bawah melakukan hal serupa, dengan mengungkapkan sebutan yang sama. Tepatnya untuk mendeskripsikan kecemburuan terhadap perempuan dari kelas atas atau merasa terganggu dengan perilaku mereka.

Kendati demikian, Armstrong menjelaskan, perempuan dari kelas bawah kerap melakukan slut shaming ketika melihat perempuan berhubungan seksual secara kasual. Mereka menilai, hubungan seksual seharusnya berlandaskan relasi yang melibatkan kepedulian terhadap pasangan.

Dikarenakan tumbuh dari budaya patriarki, slut shaming akan terus ada di lingkungan masyarakat. Namun, sebagai sosok yang menyadari tindakan ini merugikan perempuan, bukan berarti tak ada yang dapat dilakukan agar tidak melakukannya.

Misalnya dengan mengedukasi publik terkait slut shaming—seperti latar belakang tindakannya, contohnya dalam kehidupan sehari-hari, dan risiko yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *