Issues

Alam Semesta yang Ternyata Serba ‘Queer’

Manusia menggunakan alam sebagai alat justifikasi terhadap perilaku homofobia, dan transfobia mereka. Namun, jauh dari narasi heteroseksual, alam nyatanya queer.

Avatar
  • January 27, 2022
  • 7 min read
  • 726 Views
Alam Semesta yang Ternyata Serba ‘Queer’

Selama ini kita cenderung terbiasa menganggap dunia serba hitam putih, lelaki dan perempuan. Atas dasar pandangan biner tentang heteroseksualitas, kita kerap membabi buta mengkritik bahkan memersekusi apa yang kita anggap “abnormal”, “menyimpang”, atau “tidak wajar” dari dua kategori tersebut.

Dalam hal inilah homoseksualitas atau apa pun yang tidak heteroseksual yang menjadi sasaran utamanya. Dengan pandangan bahwa apa pun yang tidak heteroseksual tidak ada di alam yang didesain begitu sempurna, masyarakat telah menutup mata dan telinga tentang keberagaman.

 

 

Alex Johanson, penulis Amerika Serikat dalam tulisannya di Orion Magazine bercerita tentang bagaimana pandangan manusia soal alam yang biner. Hal ini membuatnya teralienasi sebagai seorang queer. Ini ia rasakan setelah membaca tulisan David Quammen, penulis sains dan penjelajah, “The Miracle of the Geese”. Dalam esainya, Quammen mengatakan angsa liar adalah gambaran dari diri manusia yang paling tinggi. Mereka perwujudan dari kemurnian, kebebasan, dan keagungan tanpa batas.  

Quammen kemudian mulai berbicara tentang seks. Bagaimana angsa adalah makhluk monogami. Bagaimana seekor angsa jantan sebenarnya akan melakukan evolusi yang lebih baik jika dia setia kepada pasangannya, angsa betina. Ia pun menekankan bagaimana angsa membuatnya sadar akan mandat ekologi yang menekankan pada pentingnya makhluk hidup hidup berpasangan dengan lawan jenisnya.

Baca Juga: Kita Semua Queer!

Rangkaian kalimat Quammen tentang pengagungannya terhadap angsa liar, membuat Johanson kehabisan kata-kata. Ia menangkap dengan jelas apa yang disampaikan Quammen, bahwa tidak seperti manusia yang telah “tercemar” oleh berbagai hal selama peradabannya, angsa liar mempertahankan kemurniannya.

Ini berlaku pula dalam hal seorang laki-laki harus berpasangan dengan perempuan. Dengan berpasangan dengan perempuan, laki-laki dapat membuahi sel telur perempuan dan melahirkan keturunan. Inilah panduan yang harus manusia lakukan, sehingga kehendak manusia untuk tidak hidup berpasangan dengan lawan jenisnya adalah salah.

Teori Seleksi Seksual Darwin dan Heteroseksualitas

Dr. Joan Roughgarden, ahli ekologi dan biologi evolusi Amerika dalam bukunya “Evolution’s Rainbow Diversity, Gender, and Sexuality in Nature and People” (2004) mengungkapkan gagasan normatif tentang heteroseksualitas dalam masyarakat kita terbentuk dari teori seleksi seksual yang dicetuskan oleh Charles Darwin dalam “The Descent of Man Selection in Relation to Sex” (1871). Dalam teori seleksi seksual, Darwin mengamati ciri-ciri tertentu pada hewan yang telah berevolusi sebagai hasil dari kompetisi perkawinan. Hal yang kemudian menamakan gagasan pada umat manusia tentang apa yang “alamiah” dan apa yang tidak.

Melalui teorinya ini Darwin menggagas bagaimana secara alamiah makhluk hidup hanya tercipta dalam binernya, yaitu laki-laki dan perempuan. Makhluk hidup berjenis kelamin perempuan menurutnya hidup untuk menemukan pasangan laki-lakinya agar mereka bisa bereproduksi. Sementara, laki-laki hidup untuk “membuahi” perempuan dan seharusnya saling bersaing di antara mereka sendiri untuk mendapatkan kesempatan bereproduksi.

Dalam hal ini Darwin lebih lanjut mengklaim tentang dominasi laki-laki atas perempuan. Bahwasanya secara alamiah persaingan untuk mengamankan kendali atas perempuan adalah dinamika sosial universal di antara laki-laki yang harus mereka penuhi untuk bertahan hidup.

Lebih lanjut, heteroseksualitas sebagai format relasi matang yang bersifat alamiah menjadi gagasan lanjutan yang dibangun dari teori ini. Heteroseksualitas menjadi ukuran dalam mendikte manusia untuk hidup berpasang-pasangan bersama lawan jenisnya dan memiliki keturunan. Gagasan tentang monogami sebagai jenis hubungan paling suci kemudian ditegakkan dengan perkawinan semata-mata ditujukan untuk bereproduksi dengan perempuan tunduk pada dominasi laki-laki.

Dengan penekanan pada proses reproduksi dan bagaimana laki-laki dan perempuan harus mematuhi pola universal ini, maka menurut Darwin homoseksualitas tidaklah mungkin. Hal ini karena tujuan bereproduksi adalah untuk mentransfer sperma dengan tujuan menghasilkan keturunan, dan perkawinan homoseksual tidak dapat menghasilkan keturunan.

Baca Juga:  Queer Love: Kapan Seseorang Disebut Queer?

Pada akhirnya, ini menciptakan diskusi bahwa alam sebagai kategori yang tidak dapat dipertanyakan lagi oleh manusia karena sifatnya yang positivistik dan dicirikan sebagai able-bodied dan heteroseksual. Gairah seksual dalam hal ini hadir semata-mata untuk memenuhi fungsi reproduksi (padahal gairah seksual juga hadir untuk kepuasan seksual) dan menjaga keberlangsungan hidup suatu spesies dengan heteroseksual prokreasi sebagai satu-satunya bentuk seks “alami” yang sebenarnya.

Alam Nyatanya Bersifat Queer

Melihat bagaimana Darwin telah menanamkan gagasan mendalam tentang alam dan heteroseksualitas. Kita pun bertanya-tanya, apakah benar alam memang heteroseksual biner? Jawabannya tidak, karena pada kenyataannya alam bersifat queer. Dilansir dari Denver Botanic Garden, tumbuhan berbagai bentuk dan status seksual dengan sebagian besar bentuk tubuh tumbuhan adalah interseks (terdiri dari organ reproduksi jantan dan betina). Pada 2019 misalnya ditemukan, Solanum plastisexum, spesies tomat semak, menunjukkan “fluiditas sistem pemuliaan,” atau fluiditas seksual.

Dalam hal ini, tanaman yang sama mungkin hanya menunjukkan karakteristik sistem reproduksi betina tetapi di lain waktu hanya memiliki sistem reproduksi laki-laki.  Hal yang sama juga terjadi pada jahe tropis dari Cina. Dalam jahe tropis ini, beberapa individu adalah jantan di pagi hari (membuat serbuk sari), sementara yang beberapa lain adalah betina (menerima serbuk sari). Dan pada sore hari mereka kemudian berganti jenis kelamin.

Jika solanum plastisexum dan jahe tropis di Cina menunjukkan fluiditas sistem pemuliaan. Maka, tumbuhan berumah satu seperti labu memiliki bunga jantan dan betina terpisah pada tanaman yang sama. Agar labu dapat menghasilkan buah, serbuk sari dari bunga jantan harus mencapai stigma pada bunga betina. Ini hanya bisa terjadi ketika bunga jantan dan betina terbuka pada saat yang bersamaan.

Lalu bagaimana dengan hewan? Dalam wawancaranya bersama BBC News, Paul Vasey dari Universitas Lethbridge memaparkan hasil penelitiannya terhadap perilaku monyet-monyet Jepang yang ia teliti selama kurang lebih 20 tahun. Dalam penelitiannya ini ia menemukan bahwa di beberapa populasi, perilaku homoseksual di kalangan monyet bukan hal yang aneh, bahkan bisa disebut sebagai hal yang biasa.

“Banyak kera betina yang bermesraan dengan betina lain sementara yang jantan sibuk sendiri. Satu betina menunggangi betina lain, menggesekkan alat kelaminnya dan yang lain mengambil posisi seperti tengah menunggang kuda)” tuturnya.

Hal yang sama juga terjadi pada Pukeko atau mandar Australia. Dalam penelitian  “The behaviour of the pukeko, Porphyrio porphyrio melanotus” (1977), akademisi dari Universitas Auckland John L. Craig menemukan, mandar Australia menikmati romansa dan kawin sesama jenis serta antar jenis kelamin. Pengamatannya selama tiga tahun mengungkapkan 555 perkawinan antar jenis kelamin terjadi dengan 29 perkawinan betina-betina, dan 12 perkawinan jantan-jantan. Jadi, sekitar 10 persen perkawinan adalah sesama jenis.

Baca Juga:   Magdalene Primer: Memahami Gender dan Seksualitas

Hal yang kemudian menjadi kontra narasi gagasan heteroseksual prokreasi sebagai seks “alami” adalah bagaimana perilaku homoseksual dalam beberapa kasus memiliki alasan evolusioner. Dilansir dari artikel BBC News yang sama, ada jenis kumbang jantan yang suka menunggangi kumbang jantan lain, bahkan menempatkan sperma di punggung jantan yang mereka tumpangi. Ketika kumbang jantan “bermesraan” dengan betina lain, ada kemungkinan sperma tadi masuk ke kumbang betina ini. Sehingga, proses pembuahan bisa dilakukan tanpa kontak fisik secara langsung. Oleh karena itu, dalam hal ini perilaku homoseksual sebenarnya ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan spesies.

Kontra narasi gagasan heteroseksual prokoreasi juga dapat terlihat dari spesies tokek di Hawaii dan tersebar luas di seluruh Pasifik Selatan, dari Kepulauan Society Polinesia Prancis hingga Kepulauan Marianas dekat Nugini. Dr. Roughgarden dalam bukunya menjelaskan bahwa spesies tokok ini semuanya adalah betina. Kendati mereka semuanya betina, mereka mampu menghasilkan telur dengan semua materi genetik yang dibutuhkan dalam proses pembuahan. Telur dari spesies yang semuanya betina tidak memerlukan pembuahan oleh sperma untuk memicu pembelahan sel yang menghasilkan embrio. Namun, mereka mengkloning diri mereka sendiri ketika mereka bereproduksi.

“Alam” sering digunakan sebagai pembenaran untuk pengucilan dan permusuhan yang dilontarkan kepada orang-orang di komunitas LGBTQIA. Ketika kita membatasi alam pada satu narasi biner yang menekankan pada heteroseksualitas maka kita pada nyatanya telah membatasi diri sendiri dari ragam kemungkinan yang revolusioner dan interseksional. Oleh karena itu, mengevaluasi pemahaman kita tentang ekologi akan sangat membantu kita tidak hanya dalam mematahkan dikotomi tajam antara manusia dan alam, namun juga heteroseksualitas dan queer. Hal ini nantinya akan memberikan kita sebuah perspektif baru yang tidak bias tentang gender dan seksualitas dalam kehidupan kita sehari-hari.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *