Prabowo Paling Populer di Kalangan Gen Z, Ada Apa Sebenarnya?
Bukan politisi muda macam Anies atau Ganjar, tapi Prabowolah yang paling populer di kalangan Gen Z. Saya wawancara dua Gen Z dan pengamat politik untuk menjawab itu.
Generasi Z (Gen Z) yang lahir dari 1995 hingga 2000-an jadi demografi besar dalam Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang. Melansir daftar pemilih tetap (DPT) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih Gen Z mencapai 46.800.161 orang atau 22,85 persen dari total pemilih.
Ini berbeda dengan Pemilu 2019 di mana penentu pilihan mayoritas ada di tangan Generasi Millenial. Karena angka ini pula, Gen Z berarti punya tanggung jawab untuk memilih kandidat pemimpin. Mereka perlu menelusuri rekam jejak, menyigi program kerja calon, sebelum menentukan pilihan.
Masalahnya, tak banyak Gen Z yang melakukannya.
Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya
Terjebak dengan Citra
Hasil survei Indikator Politik Indonesia Juli 2023 menunjukkan, bakal calon presiden (Capres) Partai Gerindra Prabowo Subianto unggul di kalangan Gen Z (40,5 persen), beda tipis dengan baby boomers (41,3 persen). Tak beda jauh, hasil survei Litbang Kompas Mei 2023 mencatat elektabilitas Prabowo unggul di kalangan gen Z dengan perolehan 32,7 persen. Mengekor di bawahnya ada nama seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Mencoba memahami kepopuleran Prabowo di kalangan Gen Z, Magdalene mewawancarai dua orang Gen Z Pendukung Prabowo. Mutia, 23, mengungkapkan dari pertama muncul kandidat capres, ia sudah memutuskan untuk memilih Prabowo.
Dibandingkan dengan dua bakal capres lainnya, Prabowo tampak lebih jujur dan berwibawa. Menariknya, ketegasan Prabowo dibarengi dengan sikap ramah. Indikatornya, kata Mutia, terlihat dari kecintaan Prabowo pada kucing, termasuk Bobby, si kucing kesayangan.
“He’s just like your friendly grandpa neighbourhood, he loves cat tapi dia juga bisa tegas. Berwibawa gitu sebagai pemimpin. Dari cara ngomongnya keliatan dia pingin Indonesia maju,” katanya kepada Magdalene.
Berbeda dengan Mutia, Yayas, 24 justru melihat Prabowo sebagai sosok yang galak. Namun, sikap galak inilah yang membuat ia layak jadi sosok yang dipilih sebagai pemimpin negara.
Yang Yayas senangi dari mantan menantu Soeharto itu juga kegigihan ia maju di Pemilu berkali-kali kendati selalu keok. Buatnya ini adalah tanda Prabowo memang serius ingin memajukan Indonesia.
“Dibandingkan dengan calon yang lain, dari awal kenceng-kencengnya kampanye, aku ngerasa Prabowo kelihatan transparan. Pendekatan ke rakyat juga biasa aku ngeliatnya, engak dibuat-buat. Galak ya galak aja gitu. Terus aku juga ngeliat beliau sungguh-sungguh sama keinginannya maju sebagai calon presiden apalagi udah berkali-kali gini beliau juga enggak kapok,” jelas Yayas.
Di luar citra yang ditampilkan, saya bertanya, apakah Mutia dan Yayas berusaha mencari rekam jejak politisi idolanya. Ternyata, media sosial terutama X menjadi sumber tunggal mereka untuk mengenal Prabowo. Keduanya tak pernah membaca artikel-artikel mendalam terkait calon presiden yang akan mereka pilih tersebut.
Kurangnya penelusuran rekam jejak politik Prabowo membuat Mutia tak punya gambaran apa-apa soal Prabowo selain citra yang berusaha ia bangun di depan publik. Ketika ditanyai soal kasus penghilangan paksa 1998 yang menyeret nama Prabowo misalnya, Mutia mengaku tidak tahu banyak.
“Aku enggak ngikutin soal itu,” jawabnya.
Sama halnya dengan Yayas. Ia mengungkapkan informasi soal keterlibatan Prabowo dalam penghilangan paksa cuma ia tahu sekali lewat utas yang ia temukan di X. Ia pun berpendapat keterlibatan Prabowo termasuk “rumor” belaka. Ia percaya Prabowo bisa berubah menjadi sosok yang lebih baik kalau pun memang Prabowo terbukti benar terlibat dalam salah satu catatan kelam sejarah Indonesia.
“Cuma itu pengetahuanku soal Prabowo. Setahuku yang dirumorin ke beliau banyak simpang siur, termasuk itu juga (penghilangan paksa) enggak paham itu betul atau enggak. Tapi ya lambat laun mungkin ada sesuatu yang berubah dari beliau” jelas Yayas.
Baca Juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan Tantangan Perempuan Pemimpin
Di Balik Populernya Prabowo di Kalangan Gen Z
Pada 2018, untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia melihat sisi lain dari Prabowo. Saat itu, di sela-sela rapat internal Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo, di Kertanegara, Jakarta terlihat Prabowo memberi makan Bobby, kucing yang diadopsinya. Foto ia dan Bobby viral di dunia maya.
Banyak yang tidak menyangka mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu ternyata punya sisi lembut. Dari sana akun Instagram khusus untuk Bobby dibuat. Melalui akun itu, keseharian Bobby diumbar ke publik dan memikat banyak pengikut (per 6 September sudah ada 64.000 lebih pengikut).
Dikutip dari artikel Kompas.id, dari sini popularitas Bobby coba terus dieksploitasi. Misalnya saja pada 2019 Gerindra membuat acara “Hidup Bahagia bersama Bobby Si Kucing”, di kantor DPP Partai Gerindra, di Jakarta yang dimeriahkan berbagai macam lomba.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam wawancaranya bersama Kompas.id bilang, Bobby memang sengaja diangkat oleh Prabowo dan tim suksesnya untuk menepis pandangan miring publik kepada Prabowo. Kucing disukai banyak orang. Kucing kampung yang diadopsi pasti akan menjadi kisah menarik untuk memikat publik dan bisa mendorong sisi humanis dari politisi satu ini.
Usaha ini sukses besar. Kini Prabowo tak lagi dilihat dari perangainya yang tegas dan berapi-api, tapi juga ramah dan lembut. Sama seperti Mutia, cukup banyak Gen Z yang tertarik dengan personanya ini. Hal ini terlihat dari pantauan Magdalene terhadap reaksi Gen Z pasca debat tiga bakal capres di acara Mata Najwa 19 September lalu. Beberapa Gen Z mengungkapkan bakal memilih Prabowo karena ia adalah pecinta kucing.
Mungkin bagi banyak orang keputusan Gen Z ini terkesan konyol, tapi Abdul Rahman Ma’mun, biasa dipanggil Aman, analis Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina mengatakan sebenarnya hal ini sah-sah saja. Ia mengatakan prinsip dalam sistem pemilu adalah one man one vote maka setiap orang berhak memilih apapun dengan dasar apapun.
Karena itu, pendekatan bakal capres dan cawapres sering kali dilakukan dengan taktik “jualan” yang berbeda sesuai dengan segmen pemilih mereka. Kinerja tak melulu jadi jualan utama mengingat pemilih Indonesia datang dari latar belakang yang beragam secara sosial dan ekonomi. Pendekatan kinerja, menurut Aman bisa dilakukan pada kalangan pemilih menengah ke atas yang memiliki akses pendidikan yang baik. Sayangnya tak semua pemilih di Indonesia masuk segmen ini, sehingga pendekatan kampanye tidak bisa disamaratakan.
“Tidak selalu melulu kinerja karena urusan yang paling penting adalah bisa mendapatkan suara pemilih. Bakal capres lain jualan kinerja, dia bisa jadi jual sisi yang lain, sisi humanis misalnya dengan segmen pemilih tertentu. Ada segmen khusus emak-emak, ya pendekatannya menyasar langsung ke isu-isu yang berkaitan dengan para ibu. Sama halnya dengan Gen Z, pendekatannya disesuaikan sama generasi ini,” jelas Aman kepada Magdalene (4/10).
Kepopuleran Prabowo di kalangan para Gen Z juga bisa diterjemahkan dalam sisi lain. Terkait citra tegas bahkan galak Prabowo misalnya, Aman mengatakan ini bisa terjadi lantaran Gen Z hidup di masyarakat yang relatif demokratis. Gen Z tidak hidup di era militerisme seperti saat Orde Baru. Sehingga, menurutnya tidak ada kewaspadaan di dalam diri Gen Z terhadap pola-pola kepemimpinan atau citra tertentu yang melekat pada bacalon presiden.
Selain itu menurut Aman, ketertarikan Gen Z terhadap citra tegas cenderung galak yang dimiliki Prabowo bisa jadi timbul karena kekecewaan mereka terhadap pemerintah saat ini.
“Mungkin lewat pengalaman dalam kepemimpinan negara di usia 20-an ini mereka melihat pemimpin yang ada sekarang relatif tidak tegas. Maka mereka imajinasikan perlu pemimpin yang tegas apalagi Prabowo juga dari militer,” jelas Aman.
Ketidakwaspadaan dan kekecewaan Gen Z ini diperparah dengan terputusnya Gen Z terhadap sejarah. Gen Z tidak mengalami langsung periode pemerintahan Orde Baru hingga transisi ke era Reformasi. Sudah 25 tahun semenjak rekam jejak HAM Prabowo dipertanyakan menyusul dugaan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam peristiwa penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998 yang kemudian membuatnya diberhentikan dari militer.
Dalam artikel yang pernah Magdalene tulis sebelumnya, terputusnya sejarah ini merupakan permasalahan yang sistemik, yaitu pengaburan dan penguburan sejarah. Buku cetak yang dijadikan acuan proses belajar mengajar di sekolah kebanyakan hanya menuliskan sejarah lewat pembabakannya. Dengan cara ini, banyak tragedi penting yang membentuk iklim sosial politik Indonesia tidak dijelaskan atau dicantumkan sama sekali.
Alhasil banyak peristiwa sejarah yang penting justru tidak dijelaskan secara mendalam dan disimplifikasi. Belum lagi, tenaga pengajar yang tak semuanya punya cara penyampaian materi yang menarik atau engaging.
Aman juga mengungkapkan terputusnya sejarah ini tidak diimbangi dengan cukupnya informasi menarik (diluar pendidikan formal) seputar sejarah pada generasi yang punya kecenderungan melahapnya dalam format-format interaktif dan padat.
“Pelajaran sejarah atau diskusi yang mengungkapkan sejarah masa lalu cenderung tidak menarik bagi gen z, karena arus informasi yang luar biasa dan instan masuk. Kalau sejarah belum menarik bagi mereka fakta-fakta mendalam itu masuk ke persepsi atau preferensi mereka,” kata Aman.
Permasalahan terputusnya sejarah Gen Z juga ditambah dengan persoalan revolusi digital. Gen Z kata Aman lahir ketika revolusi digital sudah marak, sehingga apa yang mereka serap lebih dominan didapatkan dari media digital dan media sosial. Benar atau salah, akurat atau bukan jadi perhatian utama, tetapi volume informasi yang paling banyak tersebar itulah yang akan diserap oleh Gen Z.
Aman pun memberikan dua contoh lewat bukti kemenangan Donald Trump di Pemilu Amerika Serikat 2016 silam dan Bongbong Marcos di pemilu Filipina 2022. Di Amerika popularitas Hillary Clinton sangat besar dalam kontes kenegaraan. Ia adalah mantan ibu negara dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, tetapi ia dikalahkan Donald Trump yang menurut Aman salah satunya karena Trump membanjiri informasi tentang citra-citra positifnya dalam baluran kampanye Make America Great Again.
Bongbong Marcos melakukan hal yang sama. Kendati ayahnya terkenal sebagai pemimpin diktator yang punya banyak catatan pelanggaran HAM berat, tiga dekade setelah ayahnya lengser ia terpilih sebagai presiden Filipina. Dilansir dari laporan BBC dan Rappler, ia bersama timnya selama sepuluh tahun terakhir melakukan kampanye disinformasi besar-besaran melalui media digital.
Hal-hal positif yang dilakukan Ferdinand Marcos di masa lalu terutama yang menyangkut rakyat seperti bantuan sosial, infrastruktur pedesaan itu diekspos luar biasa di media digital sementara pelanggaran HAM seperti pembunuhan wartawan dan lawan politik tidak pernah diekspos.
Ini dilakukan secara sistematis sehingga selama sepuluh tahun, sehingga informasi yang muncul terkait diri dan keluarganya itu hanya yang baik-baik saja. Kini mayoritas masyarakat Filipina percaya pelanggaran HAM yang dituduhkan ke ayah Bonbong Marcos bukan kebenaran absolut melainkan taktik untuk menjatuhkan reputasinya.
“Saya menduga itu yang menggejala di Indonesia, apalagi tahun 98 itu udah 25 tahun berlalu sehingga bisa saja hal ini terjadi. Kalau Bonbong Marcos itu anaknya langsung (dari pemimpin diktator), Prabowo itu menantu Soeharto. Isu terkait pelanggaran HAMnya itu setiap kali Pemilu tim Prabowo bisa menangkis dengan cukup baik. Lihat saja 2014 ia banyak dapat suara. Jadi bukan hal baru Gen Z ada kecenderungan untuk memilih Prabowo,” tutur Aman.
Baca juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu
Yang Bisa Diperbaiki
Menjadi pemilih cerdas sudah jadi barang wajib yang harusnya dilakukan semua orang termasuk Gen Z. Setiap suara menentukan arah demokrasi Indonesia untuk lima tahun mendatang. Kendati memang tiap orang valid memilih dengan alasannya masing-masing, memberikan pemahaman dan pendidikan politik terhadap para pemilih terutama pada Gen Z menjadi sangat urgen.
Aman sendiri menawarkan tiga solusi yang bisa mendorong Gen Z bisa jadi pemilih yang lebih cerdas. Pertama, dalam konteks edukasi politik ada tantangan komunikator politik untuk menyajikan produk-produk informasi yang sesuai dengan generasi saat ini.
Dalam hal kemasan, sebagian Gen Z menurut Aman tidak begitu tertarik membaca informasi mendalam maka bisa saja informasi terkait bakal capres disampaikan dalam bentuk kemasan yang lebih mudah mereka serap seperti infografis atau video yang tidak terlalu panjang yang cukup memantik keingintahuan mereka.
“Tantangannya bagi mereka yang concern pada pendidikan politik, untuk memberikan asupan yang cara komunikasinya sesuai dengan Gen Z, how to say itu sesuai dengan cara mereka menelan informasi,” tegasnya.
Kedua, perlu ada pemberian informasi yang lengkap dan berimbang terkait fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta sejarah ini tidak boleh disampaikan dalam satu versi saja tapi dalam berbagai versi. Selain itu fakta-fakta sejarh ini perlu dituangkan dalam pesan-pesan yang lebih mudah dipahami Gen Z.
Semangatnya adalah supaya generasi hari ini mau secara sukarela menyerap informasi. Kita tidak bisa memaksa Gen Z memahami sejarah ketika mereka sudah lebih dulu dibanjiri informasi dari media digital setiap harinya.
“Apa yang mau dia serap, apa yang mau lihat dan akses itu tergantung mereka yang jadi komunikator politik yang concern pada pendidikan politik yang lebih sehat dan proporsional harus melakukan hal ini. Bagaimana mengemas informasinya lalu lebih menyederhanakan pesan-pesan informasinya jadi hal penting,” jelas Aman.
Ketiga, dari sisi lingkungan keluarga, komunitas, dan pertemanan harus lebih banyak inisiator-inisiator yang paham bagaimana pendidikan politik sebaiknya dilakukan membangun percakapan dengan Gen Z. Hal ini agar percakapan bisa dibawa antar generasi, bisa saling melengkapi secara substansi maupun kemasannya.