Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui Soal Hukum Perlindungan Hewan
Kasus kekerasan hewan yang viral di media sosial hanya puncak gunung es dari isu perlindungan hewan, sistem hukum yang belum memadai, dan tak beri efek jera.
Peringatan pemicu: Penggambaran kekerasan eksplisit terhadap hewan peliharaan.
Cuitan peneliti kebijakan publik Ravio Patra, soal penganiayaan dan pemerkosaan kucing calico, menambah daftar panjang kasus kekerasan hewan di Indonesia. Kucing bernama Mimi itu ditemukan dalam kondisi dubur berdarah dan muka penyok akibat dibanting oleh pelaku, pekerja tambal ban di Jakarta.
Ravio dengan segera membawa Mimi ke dokter hewan untuk ditangani. Setelah diperiksa, kucing betina itu disebut berada dalam keadaan dehidrasi, luka pada vagina serta dubur, hingga lemah karena terserang virus. Patrio yang mengungkapkan kegeramannya lewat twit viral itu, (16/5) mencari dan ingin melaporkan pelaku ke polisi.
Namun, menurut kesaksian pedagang kaki lima, pelaku telah bersembunyi akibat ketakutan. Pedagang kaki lima yang ditemui Patrio juga menyatakan, ada empat ekor kucing korban penganiayaan yang telah meninggal dan dikubur. Selain itu, pelaku telah melakukan bentuk kekerasan lain, seperti menggerus kepala kucing ke trotoar, melempar kucing ke kali, dan mencoba memasukkan potongan kayu ke pantat kucing.
Walaupun Patrio–yang juga dikenal sebagai pecinta hewan–telah berbicara dengan beberapa saksi, tetapi tak ada saksi yang berani buka mulut akibat takut dikonfrontasi pelaku. Namun, sebelum investigasi selesai, Patrio menerima kabar kalau Mimi telah meninggal sehari usai dirawat di rumah sakit.
Beberapa hari sebelum kasus kucing Mimi viral di dunia maya, ada kasus anjing Maxi yang ditelantarkan oleh usaha penitipan hewan di Tangerang Selatan. Keluarga anjing Maxi, July Liman, menitipkan anjing bulldog tersebut selama sepuluh hari, April silam. Dari perjanjian dengan pet shop tersebut, Maxi bakal dipindahkan ke kandang yang berukuran besar serta perawatan hewan.
Namun, saat July menemui Maxi, anjing ini ditemukan masih dalam kandang berukuran kecil. Kondisi badannya kaku dengan kotoran yang membuat badannya menempel di kandang. Parahnya lagi, July menyatakan kulit hingga bagian vital Maxi sudah robek dan mengeluarkan darah. July lalu membawa Maxi ke dokter hewan untuk dioperasi. Namun, setelah masa perawatan selama tujuh hari, Maxi dikabarkan meninggal.
Baca juga: Sherina, Keadilan untuk Canon, dan ‘Whataboutism’
Masyarakat Permisif atas Kekerasan pada Hewan
Kasus kucing Mimi dan anjing Maxi hanya dua dari kasus kekerasan hewan yang diketahui publik karena viral. Menurut data dari Asia For Animal Coalition, Augustus lalu, Indonesia berada di urutan pertama pengunggah video penyiksaan hewan terbanyak di dunia. Mengutip dari Katadata, ada 5.480 video penyiksaan hewan yang diunggah ke media sosial dari seluruh dunia, 1.626 diantaranya berasal dari Indonesia.
Doni Herdaru Tona, pendiri organisasi Animal Defenders Indonesia yang bergerak pada penyelamatan hewan mengatakan, maraknya kasus kekerasan hewan karena masyarakat Indonesia permisif atas penyiksaan terhadap hewan. Selain itu, publik juga menganggap wajar aksi kekerasan, seperti menendang kucing.
“Mulai dari satwa yang dilindungi sampai domestik, hewan diperlakukan semaunya. Orang utan diberi rokok lalu diikat di pohon, kucing dicekokin minuman keras, kucing diputar-putar dan disiram air panas, dan banyak lagi. Itu gambaran hak hidup hewan tak dihargai di Indonesia,” ujar Doni kepada Magdalene beberapa waktu lalu.
Selain itu, jika pelaku penyiksaan hewan yang berusia muda tak segera diberi pemahaman dan ditangani, ada kecenderungan orang itu akan menjadi pelaku pembunuhan manusia setelah dewasa, lanjutnya.
Namun, imbuh Doni, isu perlindungan hewan dari kekerasan tak berada di level masyarakat saja. Ia beranggapan hukum terkait perlindungan dan pemidanaan pelaku kekerasan hewan belum ada yang spesifik dan memberikan efek jera. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur penyiksaan hewan juga dibentuk saat masa kolonialisme, sehingga aturannya tidak relevan dengan masa sekarang, ujarnya.
“Kekejaman pada hewan menjadi bom waktu dan sudah harus menjadi kesadaran bersama kalau animal abuse tak boleh dibiarkan. Semua elemen masyarakat harus proaktif dalam isu ini. Kalau melihat seseorang melakukan aksi kekerasan, dia salah. Jangan sampai yang salah kita benarkan,” kata Doni.
Doni bersama Animal Defenders Indonesia juga aktif dalam mengejar pelaku yang sering memutar kucing–umumnya berusia remaja–dan memberitahu konsekuensi dari aksi mereka.
Doni berucap, kasus memutar kucing dengan memegangi sampai hewan itu sempoyongan lalu dilempar, marak dilakukan hampir tujuh tahun lalu. Namun, mulai mengalami penurunan sejak tahun 2018 karena pelaku yang terus dikejar, dicari, dan ‘diancam’.
“Dari pengamatan kami selama menjalankan penegakan hukum dan mengejar pelaku, ada satu hal yang menarik kalau orang Indonesia mengikuti aturan atas paksaan, bukan karena kesadaran,” tuturnya.
Dengan demikian, sebelum ada perubahan hukum, Doni menghimbau semua masyarakat agar tidak mengandalkan organisasi atau aktivis hewan untuk menghentikan aksi kekerasan. Jika melihat ada yang melakukan kekejaman pada hewan menjadi tugas masing-masing untuk melaporkan hal itu ke pihak berwajib.
“Kita berada di masa transisi menuju kesejahteraan bersama, baik hewan maupun manusia. Karena hewan yang sejahtera akan membawa kesejahteraan pada manusia secara langsung dan tak langsung,” kata Doni.
Baca juga: ‘Cats Against Catcalls’ Bukan Cuma Slogan, Kucing Memang Feminis
Hukum Perlindungan Hewan Belum Memadai
Secara global hak hidup hewan untuk bebas dari penyiksaan telah dideklarasikan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) pada 15 Oktober 1978 di Paris. Deklarasi tersebut terdiri atas 14 pasal yang menegaskan tak ada hewan yang pantas untuk menerima penganiayaan, dieksploitasi untuk hiburan, dan hak asasi hewan juga harus dilindungi hukum, layaknya hak asasi manusia.
Selain itu, ada lima prinsip kebebasan hewan yang diinisiasi Komite Kesejahteraan Hewan Ternak di Inggris yang menjadi tolak ukur kesejahteraan hewan secara global. Lima prinsip tersebut berupa kebebasan hewan dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit, luka, maupun penyakit, bebas berekspresi secara alamiah, dan bebas dari rasa takut serta penderitaan.
Sementara di Indonesia, kewajiban untuk memberikan kesejahteraan pada hewan diatur Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada pasal 67 disebutkan, kesejahteraan hewan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan kesejahteraan hewan diutamakan pada peningkatan kesadaran melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
Pasal 66 A dalam UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan UU No.18/2009 menegaskan, semua orang dilarang menganiaya hewan dan wajib melaporkan aksi kekerasan terhadap hewan kepada aparat penegak hukum.
Dalam KUHP pemidanaan pelaku penganiayaan diatur pasal 302. Pelaku kekerasan ringan, seperti menyakiti, merugikan kesehatan, dan tak memberikan makan hewan dipidana paling lama tiga bulan atau denda sebanyak Rp.4.500. Sementara, kekerasan yang mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, menderita luka berat, cacat, hingga kematian dapat dipidana penjara paling lama sembilan bulan dan denda Rp300.
Francine Widjojo, Advokat Lembaga Bantuan Hukum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan, hukuman penganiayaan hewan berdasarkan pasal 302 belum efektif dan memadai. Ia menilai aturan tersebut belum memberikan efek jera kepada pelaku dan keadilan bagi keluarga hewan, apalagi dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Jika merujuk kasus pencurian dan pembunuhan kucing Tayo di Medan, lanjut Francine, pelaku menerima pidana penjara 2,5 tahun sebab sanksi didasari pasal 363 ayat satu nomor empat KUHP tentang pencurian yang dilakukan dua orang atau lebih.
“Ironis sekali ketika mencuri hewan non-ternak dapat dikenakan sanksi pidana hingga lima tahun penjara berdasarkan pasal 362 KUHP (tentang pencurian). Namun, pelaku penganiayaan hewan berat hingga menyebabkan kematian sanksi pidana penjara hanya maksimal 9 bulan dalam pasal 302. Atau dua tahun sembilan bulan jika (hewan) memiliki keluarga berdasarkan pasal 406 ayat 2 KUHP (tentang perusakan barang dan menghilangkan hewan milik orang lain),” jelas Francine kepada Magdalene.
Kasus penjagalan kucing Tayo viral di media sosial tahun lalu saat keluarganya, Sonia Rizkika menemukan kepala kucing persia itu dalam karung berlumuran darah. Ia lalu melaporkan kasusnya pada polisi dan Francine bertindak sebagai pengacara Sonia untuk menuntut pelaku.
Aktivis dari organisasi Dog Meat Free Indonesia (DMFI), Adrianus Hane mengatakan, kasus penjagalan anjing dan kucing untuk dijual menjadi aksi kekerasan terhadap hewan yang marak terjadi di Indonesia. Meski demikian, sudah ada 15 daerah yang mengeluarkan Surat Edaran terkait larangan perdagangan dan konsumsi daging anjing, ujarnya.
Kabupaten Sukoharjo, misalnya, melarang konsumsi daging anjing dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pembinaan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Pemerintah Kota Salatiga mengeluarkan Surat Edaran 510/345/414 tentang Larangan Peredaran Daging Anjing tahun lalu. Selain itu, Pemerintah Kota Medan melarang penjualan daging anjing secara komersial dalam Surat Edaran nomor 440/4676 yang diterbitkan April lalu.
“Kami berharap dengan makin banyaknya Perda atau Surat Edaran, aturan-aturan itu bisa menjadi landasan nasional untuk menerbitkan undang-undang sebab jika membahas pelarangan (konsumsi dan penjualan) daging anjing harus melalui jalur regulasi pemerintah,” kata Adrianus yang juga bergerak di Jakarta Animal Aid Network (JAAN).
Baca juga: Apakah Kucing Anjing Bisa Terinfeksi COVID-19 dan Menulari Manusia
Perlu Dorong Revisi UU untuk Perlindungan Hewan
Adrianus mengatakan, agar tak terjadi benturan di antara elemen masyarakat–aktivis perlindungan hewan dan pelaku perdagangan daging anjing–perlu pendekatan menyeluruh, seperti edukasi, pelatihan, serta kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan media.
Ia berujar, kesuksesan pendekatan holistik itu terjadi di Sukoharjo, awal Juli lalu. DMFI memberikan pemahaman bahaya penularan rabies katika mengonsumsi daging anjing. Karenanya, ada kerjasama dengan polisi selama proses investigasi sosok penjagal dan pedagang daging anjing. Dari penangkapan itu DMFI berhasil menyelamatkan sekitar 50 anak anjing, pelaku menerima vonis satu tahun penjara dan denda Rp150 juta.
“Itu (hasil) yang sangat signifikan dan (konsumsi daging anjing) memang berbahaya untuk kesehatan masyarakat, karena itu pelaku perdagangan daging anjing menerima vonis yang tinggi (membawa anjing ke wilayah bebas rabies melanggar UU No.18/2009),” kata Adrianus.
“Kita tak bisa berjuang sendiri, mau menyelamatkan seribu anak anjing (kalau) kita tak melibatkan pemerintah dan aparat penegak hukum itu hanya pencegahan. Penyembuhannya ialah regulasi,” lanjutnya.
Meski demikian, pengacara dan pendiri yayasan perlindungan hukum satwa Indonesia Animals Don’t Speak Human, Citra Referandum mengatakan, penegak hukum di Indonesia mulai bertindak ketika kasus menjadi viral di media sosial. Hal itu menunjukkan aparat hukum belum efisien dan berkeadilan dalam menindaklanjuti kasus kekerasan terhadap hewan.
“Peraturan hukum tak memadai, baik dari konsep hukum publik sampai sanksi pidana yang sangat rendah membuat (kekerasan hewan) menjadi hal sepele. Aparat kemudian tak menganggap penegakan hukum atas perlindungan hewan penting,” jelas Citra.
Ia melanjutkan, jika memahami ide dasar undang-undang di Indonesia, hewan ditempatkan sebagai objek yang kehidupannya bergantung pada kebutuhan manusia. Akibatnya, hewan tak dianggap berhak atas hidupnya sendiri. Belum lagi secara kultural masyarakat menilai hewan sebagai properti untuk menyokong gaya hidup atau meningkatkan status sosial.
Pasal 540 KUHP, misalnya, tentang pemidanaan mempekerjakan hewan secara berlebihan sampai menyiksa hewan menunjukkan ide dasar bahwa hewan hanya menjadi objek untuk memudahkan hidup manusia, kata Citra. Sanksi pidana dalam pasal 540 sendiri berupa kurungan selama delapan hari atau denda sebanyak Rp2.250.
Dengan demikian, perlu dilakukan evaluasi UU yang berkaitan dengan perlindungan hewan agar konsep dan ide aturannya bersifat adil serta selaras dengan lima prinsip kesejahteraan hewan. Pasal terkait penganiayaan hewan juga masuk dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), tambahnya.
Dorongan agar pemerintah membentuk aturan yang melindungi hewan secara komprehensif juga dilakukan Koalisi Perlindungan Hewan Indonesia (KPHI), gabungan 33 yayasan maupun organisasi perlindungan hewan. KPHI melakukan dialog dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Muhaimin Iskandar tentang urgensi dibentuknya UU Perlindungan Hewan, Desember 2021.
Dalam siaran pers KPHI, Muhaimin menyetujui perlindungan hewan dari kekerasan harus segera dilakukan. Dengan demikian, pemerintah harus mengambil tindakan represif kepada pelaku. Akan tetapi sebelum membentuk UU, aktivis bisa meminta pemerintah untuk menyempurnakan Peraturan Pemerintah (PP) pusat maupun daerah agar kasus kekerasan hewan bisa cepat tertangani, kata Muhaimin.
Saat ditanya apakah pembentukan UU yang mengutamakan kesejahteraan hewan dapat dilakukan dalam waktu dekat, Citra mengucapkan, “Bisa dilakukan atau tidak yang bisa menjawab pemerintah dan DPR, apakah mereka memiliki keseriusan untuk melindungi hewan atau tidak.”