Lifestyle

Ketika Peliharaan Meninggal, Tak Ada Salahnya untuk Menangis

Ketika kucing peliharaan meninggal, saya menangis selama seminggu dan bertanya pada diri sendiri, apakah dia bahagia tinggal bersama saya?

Avatar
  • October 28, 2021
  • 5 min read
  • 2804 Views
Ketika Peliharaan Meninggal, Tak Ada Salahnya untuk Menangis

Sekitar dua pekan lalu, saya bermimpi tentang Zelda, kucing yang saya pelihara sebelum diadopsi teman. Di mimpi itu, Zelda menghampiri saya yang sedang bersantai di sebuah taman indah, mungkin saja replika firdaus. Bulu panjang hitam putihnya mengembang dengan cantik, badannya pun jauh lebih berisi dibanding terakhir kali bertemu dengannya. Dia lalu duduk di samping saya dan meminta dielus. Ketika mulai menggaruk kepalanya, Zelda mendengkur keras dan tertidur. Saat itu saya merasa benar-benar bahagia. 

Perasaan hangat itu terus tinggal sampai saya bangun keesokan harinya. Namun, rasa senang seketika tergantikan dengan cemas dan ketakutan. Pasalnya, di keluarga saya ada semacam kepercayaan kalau bermimpi tentang peliharaan, maka mereka telah meninggal atau sedang tidak baik-baik saja. 

 

 

Nenek saya, misalnya, selama dua hari berturut-turut bermimpi tentang kucing persianya, Melek, yang dicuri orang. Di hari ketiga, dia sudah tidak bermimpi tentang kucingnya lagi. Saat itu dia percaya kalau Melek telah meninggal. Begitu pula dengan kakak perempuan saya, juga bermimpi tentang kucingnya yang hilang. Dia yakin kalau sudah bermimpi, peliharaannya yang berwarna oranye itu sudah meninggal. 

Baca juga: Bukan Budak Kucing, Rico Lebih dari Sekadar Keluarga

Was-was dengan kondisi Zelda saya langsung menghubungi kakak ipar untuk memeriksa keadaannya di rumah kawan itu. Dua hari saya tidak menerima kabar. Namun, ketika pesan saya dibalas, jawaban yang diberikan langsung membuat tubuh saya lemas.

“Zelda udah meninggal. Dia sempat sakit,” tulisnya. 

Rasa Bersalah Menghadapi Kematian

Saya memelihara Zelda akhir 2018, saat saya masih berstatus mahasiswa perantauan di Jatinangor. Sebelum bertemu dengannya saya benar-benar kesepian dan terisolasi. Saya merasa ditinggalkan oleh teman-teman yang telah selesai mengerjakan skripsi dan memasuki jenjang baru kehidupan. Sementara saya masih tersangkut pemilihan topik penelitian dan merasa tidak berguna karena terus-menerus menerima revisi. Singkatnya saya merasa kehilangan arah, tapi tidak ada kawan yang bisa diajak berkeluh kesah. 

Kehidupan yang menyedihkan itu langsung berubah ketika saya mengadopsi Zelda dari seorang teman. Psikolog yang mengatakan hewan peliharaan mampu menurunkan stres dan membuat hidup jauh lebih bahagia memang benar. Sejak tinggal bersama Zelda, saya lebih jarang menangis dan misuh-misuh sendiri karena dia siap menebar kelucuan setiap saya sedih. Dia membawa kebahagiaan yang belum pernah saya rasakan. 

Namun, tinggal dengan Zelda bukan hal mudah. Dia kucing setengah persia dan saya takut dia diculik. Jika sedang bermain di halaman kosan, saya harus mengawasi dan membawanya pulang ke kamar ketika sudah magrib. Saya tahu hidup seperti ini tidak ideal untuk kucing. Karenanya, saya membawanya ke rumah orang tua di Makassar. Sayangnya dia juga tidak betah akibat sering berantem dengan kucing lain. Saya pun membuat keputusan berat dan membiarkan orang lain mengadopsinya. 

Walaupun keluarga barunya terpercaya sebagai penyayang binatang, saya tidak bisa berhenti merasa bersalah. Jika saya lebih perhatian, Zelda tidak harus jadi korban perundungan kucing kakak saya dan tidak dimarahi ibu jika dia buang air sembarangan. Zelda pun bisa hidup nyaman tanpa harus berpindah-pindah dan menyesuaikan dengan rumah baru. Saya sangat takut Zelda menganggap dirinya telah dibuang.

Rasa bersalah itu terus menghantui dan mampu membuat saya menangis berhari-hari. Saya bak orang tua tidak kompeten yang mengecewakan anaknya. Kekecewaan pada diri sendiri ini semakin diamplifikasi ketika tahu Zelda telah meninggal. Dada saya terasa sangat berat dan kadang kesulitan bernapas karena dirundung kesedihan. Selama seminggu saya tidak berhenti menangis, terlebih lagi saya tidak bertemu di momen terakhir kehidupannya.

Baca juga: Sherina, Keadilan untuk Canon, dan ‘Whataboutisme’

Ketika hewan peliharaan meninggal, saya berharap bisa mengulang waktu untuk lebih menghargai detik-detik bersamanya. Sebisa mungkin menciptakan lebih banyak momen berharga untuk dikenang tanpa penyesalan nantinya. Meskipun hewan tidak paham setiap kali mengatakan kamu yang paling kusayang di dunia, saya ingin dia tahu kalau dia sangat dicintai. 

Teman saya mengatakan kalau Zelda tahu dirinya sangat disayang, jika tidak mana mungkin dia jadi kucing yang sangat manja. Namun, di tengah duka ini saya tidak tahan untuk bertanya apakah dia bahagia pernah tinggal bersama saya? 

Duka dan Mencintai Tanpa Syarat

Bisa dibilang saya cukup beruntung karena tidak ada teman yang menyepelekan kepergian hewan peliharaan. Pasalnya ada yang sering mengatakan kalau dia cuma binatang dan tidak perlu berduka jika meninggal. Padahal mereka adalah anggota keluarga bahkan sahabat yang mencintai tanpa syarat. Kepergian hewan peliharaan juga tetap menyakitkan karena kita peduli dan menyayanginya. 

Berduka atas kepergiannya pun tidak salah dan memang hal yang wajar. Justru kejam jika meremehkan nilai kehidupannya hanya karena mereka bukan manusia. Nyatanya, semua makhluk hidup pantas dikasihi. 

Baca juga: ‘Cats Against Catcalls’ Bukan Cuma Slogan, Kucing Memang Feminis

Meskipun sekarang bisa beraktivitas seperti biasanya, saya masih berduka. Saya memahami kalau kesedihan dan proses ini tidak serta-merta bisa hilang dalam seminggu. Berduka adalah proses panjang bahkan bisa terus menemani sepanjang hidup. Kenangan tentang mereka memang tidak bisa lepas. Karenanya, saya mencoba untuk lapang dada dan menerima kenyataan kalau hidup dan mati bagian dari lingkar kehidupan.

Setelah menguras air mata tujuh hari berturut-turut, saya juga sebisa mungkin berusaha mengeluarkan segala emosi, entah cerita kepada teman atau sekadar menuliskan apa yang saya rasakan. Saya tidak ingin seperti Cynthia dari serial Sex Education yang menolak membicarakan dan menganggapnya kematian kucingnya, Jonathan tidak pernah terjadi. Alih-alih bisa menghadapi proses duka dengan lebih sehat, merelakan justru jadi lebih sulit. 

Saya memang sudah tidak bisa memeluk Zelda, tapi peluklah kucing, anjing, atau hewan peliharaan kalian dan berikan hidup yang paling bahagia selagi mereka masih bersamamu. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *