Environment Issues Opini

Kisah Perempuan Kulon Progo Selamatkan Bumi dengan Bertani

Perempuan Karisma, Kulon Progo teguh bertani demi memastikan ketersediaan pangan tanpa mencederai alam.

Avatar
  • June 19, 2024
  • 6 min read
  • 1242 Views
Kisah Perempuan Kulon Progo Selamatkan Bumi dengan Bertani

Sudah rahasia umum jika perempuan memegang posisi kunci dalam ketahanan pangan keluarga bahkan negara. Namun, sejak adanya Revolusi Hijau pada 1960-an yang mendewakan produktivitas pertanian, peran perempuan dalam praktik pertanian justru terabaikan.

Alih-alih meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, Revolusi Hijau berdampak negatif secara ekologis, sosial, dan ekonomi. Petani laki-laki mendominasi kepemilikan, pengolahan tanah, dan pengambilan keputusan terkait sawah. Sementara itu, perempuan hanya ditempatkan menjadi pendukung aktivitas pertanian.

 

 

Kini, di tengah iklim yang berubah, peran perempuan sebenarnya dapat menjadi solusi untuk menjamin ketersediaan pangan. Melalui penerapan pertanian lestari, misalnya, perempuan bisa memastikan anggota keluarga mendapatkan asupan makanan sehat tanpa mencederai alam sebagai sumber penyedianya.

Kami bekerja sama dengan Solidaritas Perempuan Kinasih mempelajari aktivitas Karisma, kelompok petani perempuan yang berbasis di Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 2006. Dengan pendekatan feminist participatory action research (FPAR), kami mengidentifikasi langkah petani perempuan dalam melakukan praktik-praktik pertanian lestari sebagai bentuk kritik terhadap sistem pertanian konvensional sekaligus usaha untuk mewujudkan pertanian yang adil.

Sejauh ini, kami menemukan petani Karisma menerapkan praktik pertanian lestari melalui penggunaan bibit lokal, pupuk organik, dan sistem pranata mangsa (kalender tanam tradisional masyarakat Jawa).

Ketiganya merupakan praktik tradisional yang telah dilakukan secara turun-temurun dan ramah lingkungan. Penerapannya menyesuaikan dengan kondisi alam dan situasi masyarakat sekitar.

Implementasi dari ketiga metode tersebut juga turut meningkatkan perekonomian dan relasi sosial para petani perempuan.

Baca juga: Peran Vital Ibu Rumah Tangga dan Petani Perempuan dalam Aktivisme Lingkungan

1. Benih Lokal

Perempuan petani Karisma menggunakan benih lokal untuk semua tanaman yang mereka tanam seperti padi, ketela, pisang, dan kacang. Pemilihan benih lokal sesuai dengan kekhasan komposisi tanah, kelembapan, suhu, dan kekuatannya terhadap hama di setiap daerah.

Petani Karisma sempat mencoba menggunakan benih impor yang dijual di toko. Namun, benih tersebut ternyata tidak memiliki hasil maksimal karena tidak bisa beradaptasi dengan perubahan suhu, cuaca dan serangan hama. Ketergantungan pada pupuk kimia juga menyebabkan daya tahan tanaman terhadap hama jadi lemah.

Bibit lokal pun digunakan upaya petani Karisma untuk berdaulat tanpa ketergantungan terhadap benih asing. Dalam anggapan mereka, pertanian lestari perlu menonjolkan keunikan benih lokal. Harapannya, benih ini tumbuh lalu memiliki hasil panen yang unik dan karakternya sesuai dengan kondisi lingkungan di Kalibawang.

Petani Karisma juga menyaksikan bahwa, secara turun temurun, benih yang berasal dari tanaman yang dipanen sebelumnya menghasilkan panen berkualitas. Sebab, benih tersebut sudah beradaptasi dengan iklim dan cuaca di Kalibawang.

Sekalipun begitu, banyak benih lokal yang sudah hilang sejak Revolusi Hijau karena digantikan oleh benih impor. Misalnya, benih padi makmur—yang menjadi unggulan di Kalibawang sebelum Revolusi Hijau—sudah tidak pernah terlihat lagi saat ini. Petani Karisma mengenang padi ini tumbuh tinggi dan berumur panjang. Saking tingginya, orang yang sedang memanen padi di tengah sawah bisa tidak terlihat.

Kelompok petani Karisma kemudian mencoba menghidupkan dan menanam bibit lokal kembali. Dalam praktiknya, petani karisma mendistribusikan benih dan bibit dalam kelompok dengan saling berbagi dan bertukar benih dan bibit untuk melestarikan kearifan lokal.

Padi menjadi komoditas utama yang dilestarikan oleh petani Karisma. Saat ini terdapat lima jenis benih unggulan lokal yang masih ditemukan dan ditanam oleh para petani, yaitu padi merah, pandan wangi, berong, mentik susu, dan rojolele. Dari ragam benih tersebut, mentik susu dan rojolele adalah bibit yang dianggap paling unggul.

Komoditas lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah pisang. Jenis pisang yang dibudidaya jumlahnya juga lebih beragam daripada padi. Beberapa di antaranya adalah pisang ambon, kepok, susu, uli, raja sereh, nangka, dan agung. Petani Karisma juga mengolahnya menjadi produk makanan untuk meningkatkan nilai jualnya, misalnya menjadi salai pisang.

Baca juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

2. Pupuk Organik

Pertanian lestari oleh kelompok Karisma bertumpu pada penggunaan pupuk organik. Untuk menyuburkan tanah dan memacu pertumbuhan tanaman, mereka menggunakan pupuk organik padat maupun cair secara getok-tular, alias belajar bersama antarpetani Karisma.

Mereka membuat pupuk padat dari kompos, abu dapur, dan kotoran hewan. Pupuk ini baru bisa mereka gunakan setelah difermentasi selama sepekan. Selain itu, petani juga menggunakan bahan-bahan alami seperti gula jawa, buah-buahan, dedaunan, batang tanaman atau pohon dan berbagai jenis bunga untuk menyuburkan tanah.

Sementara itu, petani menggunakan pupuk cair berupa ekoenzim. Kelompok Karisma buat enzim organik sendiri dengan tetes tebu, buah-buahan, dan sayuran yang dicampur dan difermentasi selama tiga bulan.

Penggunaan ekoenzim dan pupuk organik ini membuat pohon menjadi subur dan dapat berbuah dengan kualitas yang baik. Pupuk ini juga tidak mencemari air, udara, dan tidak mematikan rantai makanan seperti efek pupuk kimia.

3. Pranata Mangsa

Masyarakat Jawa dan petani Karisma tak hanya menggunakan Pranata mangsa untuk menentukan waktu tanam yang tepat. Mereka juga memakai kalender tanam tradisional ini untuk melihat cuaca, ketersediaan air, kelembaban tanah, hama, dan jenis tanaman yang cocok.

Petani Karisma memiliki tiga musim tanam dalam setahun. Ini terdiri dari dua masa tanam (September-Januari dan Februari-Juni) untuk menanam padi, dan satu masa tanam (Juli-Agustus) untuk menanam palawija maupun sayuran seperti jagung, cabai, sawi, pisang, dan mentimun. Ini sejalan dengan Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 39 Tahun 2021 tentang Tata Tanam Tahunan Periode 2021-2022.

Dalam praktiknya, Kelompok Karisma sering mengistirahatkan ladang mereka pada masa tanam ketiga agar tanah kembali subur dan lestari untuk masa tanam berikutnya.

Baca juga: Perempuan Bali Mimpi Terlibat Aktif dalam Gerakan Lingkungan Hidup

Merawat Karisma di Tengah krisis iklim

Inisiatif berkelanjutan petani Karisma memang berkontribusi terhadap kelestarian pangan lokal dan lingkungan di sekitarnya. Namun, praktik baik ini berisiko terganggu akibat perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem, serta ketidakpastian musim hujan dan kemarau. Populasi hama juga menjadi tak terkendali.

Situasi tersebut diperparah oleh persoalan pertanian seperti kemiskinan petani akibat gagal panen, harga jual panen yang rendah, dan subdisi pupuk kimia bagi petani.

Kebijakan dan program pemerintah sepatutnya dapat memastikan keberlangsungan kehidupan petani, khususnya skala kecil, seperti petani Karisma. Pemerintah perlu memperkuat pengetahuan dan keterampilan petani dalam menghadapi krisis iklim.

Selain itu, kita juga perlu program secara sistemik untuk berhenti menggunakan pupuk kimiawi yang menyumbang kenaikan emisi gas rumah kaca sehingga memperparah krisis iklim. Pemerintah juga dapat merumuskan inisiatif untuk mengembalikan varian benih lokal yang beragam, merumuskan kebijakan susbidi petani yang memadai, serta memberikan reward kepada para petani lestari yang konsisten melestarikan Bumi.

Sana Ullaili, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Kinasih berkontribusi dalam penelitian dan penulisan artikel ini.

Zulfa Sakhiyya, Communication Director of ALMI, and Associate Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang; Agung Ginanjar anjaniputra, Lecturer; Girindra Putri Dewi Saraswati, Lecturer in English Education, Universitas Negeri Semarang; Rini Astuti, Research Fellow, Australian National University; Sri Sumaryani, Lecturer at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang, dan Zuhrul Anam, Lecturer in English Language and Literature, Universitas Negeri Semarang.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Zulfa Sakhiyya, dkk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *