Environment Issues

Bertani Padi Ramah Lingkungan ala Orang Bali, ‘Why Not’? 

Petani padi dan pengelola TPS3R di Gianyar mengupayakan ketahanan pangan nasional lewat pengelolaan pupuk kompos di sawah. Apa tantangan yang mereka hadapi?

Avatar
  • April 27, 2024
  • 7 min read
  • 352 Views
Bertani Padi Ramah Lingkungan ala Orang Bali, ‘Why Not’? 

Sejak memanfaatkan pupuk kompos di sawah milik bapak, petani padi Ketut Punia, 54 menyadari dua perubahan: Jerami masih hijau meski sudah seminggu sejak panen padi, dan adanya belut kecil di sawah. Pengalaman itu enggak dialami petani lain, Ketut, dan bapaknya selama menggunakan urea. 

“Saya bilang ke bapak, sawahnya udah berhasil. Tanahnya lebih subur,” cerita Ketut. “Sejak itu, hasil panen bapak terkenal lebih bagus dari teman-temannya.” 

 

 

Perubahan tersebut adalah hasil dari ketekunan Ketut  setelah menggunakan pupuk kompos dan pestisida nabati di lima tahun pertama, pada 2009 hingga 2014. Sebab, ada berbagai manfaat dari pupuk kompos, yang merupakan salah satu jenis pupuk organik. Di antaranya memperbaiki struktur tanah, menyediakan unsur hara bagi tanaman, dan menambah mikroorganisme yang bermanfaat untuk tanah. 

Keinginan Ketut untuk beralih ke pupuk kompos didorong oleh rasa ingin tahu. Kenapa biota sawah—seperti ikan dan belut—tak lagi terlihat, pikirnya. Padahal, masa kecilnya di Desa Batubulan, Bali lekat dengan hewan-hewan itu. Ketut pun semakin termotivasi karena istri, yang tumbuh besar di kota, ingin melihat capung, belalang, dan kodok di sawah. 

Dari situ, Ketut googling tentang tanah dan mikroba, lalu belajar di perusahaan yang memproduksi pupuk organik. Di sana, ia tahu cara mengembalikan kesuburan tanah dengan bantuan mikroorganisme efektif. Kemudian ia mulai mengaplikasikan pupuk kompos di sawah milik bapak, yang diolah dari kotoran sapi. 

Keuntungan pemanfaatan pupuk kompos pun Ketut rasakan selama sepuluh tahun terakhir. Salah satunya dari segi penghasilan yang membantu perekonomian keluarga. Ini dikarenakan nilai jual beras sehat—sebutan Ketut untuk hasil panennya—lebih tinggi. Jika beras pada umumnya seharga Rp10 ribu, beras sehat milik Ketut dijual di kisaran Rp16 ribu sampai Rp20 ribu. 

Keuntungan dari pertanian organik tak hanya dirasakan oleh Ketut sebagai petani. Jero Sri, 51, manajer fasilitas Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) di Desa Pejeng, Bali juga merasakan dampaknya. Jika sebelumnya TPS3R menyubsidi pupuk kompos pada petani, kini pemerintah desa yang membeli pupuk tersebut melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), untuk didistribusikan ke petani padi. 

Sampah organik yang diolah oleh TPS3R berasal dari limbah organik rumah tangga warga setempat. Setelah memilah sampah di rumah, mereka membawa ke balai banjar. Yang organik akan dikirim ke TPS3R, sedangkan sampah anorganik dibawa pengepul sampah. 

Secara tak langsung, pemanfaatan sampah organik sebagai pupuk kompos—yang kemudian digunakan petani padi—adalah contoh upaya menciptakan ekonomi sirkular di tingkat desa. Sebab, petani padi, pengelola TPS3R, warga, maupun pemerintah desa, telah mengoptimalkan sumber daya untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Salah satunya lewat pemanfaatan sampah. Meski begitu, ada sejumlah tantangan yang dihadapi. 

Baca Juga: Sulap Tinja Sapi Jadi Biogas untuk Masak dan Pupuk 

Dukungan Pemerintah Desa dan Sulitnya Mengajak Petani 

Sampai saat ini, Ketut merupakan satu-satunya petani padi di Desa Batubulan Denpasar, yang memakai pupuk kompos. Menurut Ketut, petani lainnya masih menggunakan urea karena bergantung pada subsidi pemerintah. Selain itu, masyarakatnya lebih fokus berkegiatan di sektor pariwisata lewat tari barong, sehingga bertani hanyalah sambilan. 

Lain halnya di Desa Pejeng. Sekretaris Desa Pejeng, Agung Oka Santika mengatakan, dari X petani padi, ada belasan petani yang beralih ke pertanian organik. Menurut Agung, yang lain masih mempertimbangkan dan mempertanyakan keuntungannya. 

“Mereka takut bakal rugi. Memang itu tantangan, untuk meyakinkan petani soal hasil (panen) yang akan diperoleh dan pasca-panennya,” tutur Agung. 

Sebab, dibandingkan penggunaan pupuk kimia, sempat ada penurunan hasil panen—dari enam ton per hektare menjadi 4,8 ton per hektare. Ini dikarenakan sifat pupuk organik yang slow release, atau pelepasan unsur hara dengan perlahan agar diserap tanaman secara bertahap. 

Selain itu, ada juga ejekan bagi petani yang menggunakan pupuk organik. Menurut petani lain, warna padi tersebut enggak sehijau yang memakai urea. Namun, justru sawah yang memanfaatkan pupuk organik itulah yang bertahan, saat hujan deras dan angin ribut. 

Karenanya, Pemerintah Desa Pejeng terus mendorong peralihan pertanian kimia ke organik. Di antaranya lewat sosialisasi dan pembuatan demonstrasi plot padi organik, yang dikerjakan bersama TPS3R sejak 2021. Kemudian penyuluhan, kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), subsidi pupuk organik melalui TPS3R, serta penyiapan perencanaan dan pasca panen yang disusun dalam rencana kerja pemerintah desa. 

Sebenarnya, dorongan Pemerintah Desa Pejeng terhadap petani agar beralih ke pertanian organik, dilatarbelakangi oleh kewenangan untuk mengelola sampah. Hal itu sesuai dengan kebijakan perbekel—atau kepala desa, yang masuk dalam prioritas penggunaan dana desa. 

Namun, pemerintah desa juga melihat tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah—dari memisahkan jenis sampah hingga pengelolaan kompos di TPS3R. Karena itu, pemerintah desa berupaya agar komposnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat desa. 

“Itulah yang mendorong pertanian organik bisa dilaksanakan di Desa Pejeng, selain kebijakan 20 persen anggaran dana desa dialokasikan untuk ketahanan pangan,” jelas Agung. 

Pembangunan TPS3R di Bali tak luput dari desakan pemerintah lewat Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Selain untuk mewujudkan budaya bersih, meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, aturan ini disusun untuk meningkatkan peran produsen, desa adat, serta desa atau kelurahan dalam pengelolaan sampah. 

Maka itu, setiap rumah tangga wajib mengelola sampah—sebagaimana tertulis dalam Pasal 5 Pergub tersebut: Menggunakan barang atau kemasan yang bisa didaur ulang dan mudah terurai. Lalu membatasi penggunaan plastik sekali pakai dan menggunakan produk yang menghasilkan sedikit sampah. Kemudian memilah sampah dan menyetor sampah yang sulit terurai ke bank sampah, mengolah sampah yang mudah terurai, dan menyiapkan tempat sampah untuk menampung sampah residu. 

Lewat pengelolaan sampah organik di TPS3R, sampah jadi memiliki nilai ekonomi yang bisa dimanfaatkan sebagai kompos dan membantu pertanian berkelanjutan. 

Peluang itu yang dilihat peneliti Marcellinus Utomo, Levina Pieter, dan Carmen Minerva Siagian, dkk. dalam Manifesting a sustainable circular economy in waste management by linking to Paddy Farming in Gianyar Regency, Bali (2022). Para peneliti mencatat, penjualan kompos masih menjadi hambatan. Namun, kesempatannya dapat diupayakan lewat pertanian padi. 

Baca Juga: Adopsi Energi Terbarukan: Perempuan Bergerak, Perempuan Berdaya 

Sebab, biasanya pembeli pupuk kompos hanya sejumlah hotel dalam jumlah sedikit, dan tidak berkelanjutan. Tidak sebanding dengan kuantitas pupuk yang diproduksi. 

Sebagai pengelola TPS3R, Jero pun mengatakan, sebelum petani padi didampingi oleh BRIN dan pemerintah desa untuk menggunakan pupuk organik, konsumen pupuknya hanya sedikit—warga yang punya ladang dan sekolah internasional di Desa Pejeng. Kuantitasnya pun lebih besar dibeli sekolah, yakni sebanyak dua ton untuk perawatan kebun sekolah. Kini pemasarannya jadi lebih mudah karena pemerintah desa menyuplai untuk petani padi. 

“Sekarang kami kewalahan menyediakan lima ton (pupuk organik) untuk petani. Soalnya TPS3R cuma punya tiga orang untuk pengelolaan kompos,” cerita Jero. 

Sebelum ada pendampingan, sebenarnya para petani memiliki kesadaran untuk memanfaatkan pupuk organik. Yakni karena menyadari perubahan iklim—terlihat dari ekosistem sawah yang semakin berkurang, dan kebutuhan pupuk yang meningkat tapi minim suplai. Belum lagi tanah yang mengeras saat dibajak, akibat penggunaan pupuk kimia yang meningkatkan kadar asam dalam tanah. 

Walaupun demikian, bukan berarti petani langsung bersedia mencoba pupuk organik. Saat diwawancara Magdalene, Levina Pieter mengungkapkan, mereka butuh dukungan dan pendampingan lantaran takut hasil panennya gagal. 

“Kami (peneliti) kasih pemahaman, nggak apa-apa kalau mau dicampur dengan (pupuk) kimia. Soalnya nggak ada yang bisa kasih jaminan juga (panennya berhasil),” ujar Levina. 

Baca Juga: Tak Ada Tanah dan Air untuk Perempuan 

Ikhtiarkan Wujudkan Ketahanan Pangan Nasional 

Secara tak langsung, keberhasilan petani yang memanfaatkan pupuk organik menggerakkan petani lain untuk memperbaiki kualitas lahan sawah secara bertahap. Namun, ketergantungan dan pilihan petani untuk memakai urea masih tinggi. Mereka takut mencoba hal baru. 

“Memang hambatan untuk mengembangkan pertanian organik ada di diri petani masing-masing,” ucap Levina. 

Ia berkaca dari beberapa program sebelumnya, yang mengajak petani padi untuk beralih ke pupuk organik, tapi enggak dilakukan. Menurut Levina, yang juga petani butuhkan adalah keterlibatan pemerintah desa. Maka itu, saat Pemerintah Desa Pejeng berpartisipasi, sampai saat ini program pertanian organik masih berjalan. 

Sementara menurut Agung, dukungan Pemerintah Desa Pejeng merupakan upaya untuk menyokong program Pemerintah Pusat, dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional. Karenanya, anggaran belanja desa untuk pertanian organik, hortikultura, dan perencanaan greenhouse sudah diperhitungkan. Termasuk perancangan, penyelenggaraan, dan hasil panen. 

“Tujuannya biar petani nggak merasa rugi kalau beralih ke pertanian organik,” terangnya. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.