Jualan Kemiskinan Melulu, Giring Mesti Malu?
Sebagian mungkin melihat Giring sebagai politisi muda dan peduli. Di sisi lain, ia justru mengobjektifikasi warga miskin Kampung Papanggo. Contoh konkret pornografi kemiskinan.
Tensi antara Giring Ganesha dan Anies Baswedan terus memanas. Setelah Gubernur DKI Jakarta itu mengundang Nidji untuk uji coba sound system di Jakarta International Stadium (JIS) pada (16/1), eks vokalis grup band tersebut melemparkan “serangan digital” dalam unggahan video di akun Twitternya.
“Sound system terbaik di dunia itu adalah suara rakyat, tidak perlu gunakan uang triliunan. Sementara masih ada mereka yang terlupakan dan terpinggirkan oleh ambisi Firaun yang gemar mengundang orang terpandang di pestanya,” tulisnya pada (22/1).
Dalam unggahan tersebut, Giring mengajak warga Kampung Papanggo, Jakarta Utara, menyanyikan sejumlah lagu populer milik Nidji. Selain bernyanyi bersama, ia juga menyumbangkan sembako dan 100 pasang sepatu.
Dalam kesempatannya menunjukkan solidaritas terhadap warga yang tergusur “proyek Firaun”, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu juga mengundang perhatian masyarakat, lewat kepeduliannya mengatasi kemiskinan. Harapannya, kegiatan itu akan melancarkan tekadnya sebagai calon RI-1 pada 2024 mendatang.
Aksinya yang menyorot kehidupan penduduk Kampung Papanggo cukup memantik sensasionalitas di kalangan warganet, karena memosisikan mereka sebagai “senjata” untuk melanjutkan permainannya dengan Anies.
Baca Juga: Politik Marah-marah, Semua Politisi Akan Jadi Risma pada Waktunya
Ini didukung oleh sejumlah pengguna Twitter yang mengomentari unggahannya. Mereka mengejek laki-laki 38 tahun itu tidak diundang menyanyi di dalam JIS, sehingga melakukannya di luar. Atau menyarankan untuk menghadiri talk show dan seminar di kampus, agar anak muda tahu ia memiliki intelektual dan mampu merebut suara mereka.
Pun blusukan yang dilakukan Giring merupakan contoh pornografi kemiskinan, yakni mengeksploitasi kondisi sosial ekonomi orang miskin dan memposisikannya sebagai objek untuk memperoleh simpati.
Meski tujuan utamanya membantu masyarakat, santunan yang diberikan mampu mengaburkan masalah kemiskinan. Politisi mengundang publik memfokuskan perhatian pada kehidupan warga yang memprihatinkan, lewat foto-foto yang dipotret dan dipublikasikan lewat berita maupun media sosial, supaya membentuk citra low profile.
Yang terbentuk pada akhirnya bukan hanya rasa iba. Pornografi kemiskinan juga membentuk pandangan negatif terhadap warga kurang mampu, dan mengabadikan mitos-mitos kemiskinan.
Misalnya masyarakat di usia produktif malas bekerja sehingga terjebak dalam kemiskinan, padahal mereka memiliki kesempatan terbatas untuk bekerja dalam bidang yang lebih luas. Pun, mengasosiasikan kegagalan dengan faktor internal dalam dirinya.
Lantaran memperlakukan sebagai objek itulah perhatian publik tertuju pada situasi yang dialami. Masyarakat akan menilai kebesaran hati para politisi, dan melupakan langkah konkret untuk mengatasi kemiskinan bersifat kasat mata, bahkan cenderung tidak dibicarakan.
Baca Juga: Riset: Dominasi Politisi Pria Merugikan Politisi Perempuan
Stigma itu juga dinilai berpotensi menghambat terciptanya inklusi sosial, seperti dikutip dari The Conversation. Alasannya, kelompok masyarakat lainnya akan mengabaikan kelompok miskin, membuat kesempatan hidup dan sosialisasi mereka terbatas.
Adanya stigma yang terbentuk oleh pornografi kemiskinan dinilai dapat menimbulkan Golem effect, yakni munculnya ekspektasi rendah terhadap dirinya sendiri, dibentuk oleh dirinya sendiri atau dari orang lain. Artinya, warga menganggap dirinya tidak dapat berdaya karena terjerat dalam kemiskinan.
Namun, Giring bukan satu-satunya yang melakukan pornografi kemiskinan. Konsep ini juga dianggap lumrah dilakukan dalam masa kampanye, untuk meninjau langsung kehidupan masyarakat sekaligus merebut simpatisan. Contohnya adalah Presiden Joko “Jokowi” Widodo sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Menteri Sosial Risma, Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Sandiaga Uno.
Realitasnya, kemiskinan adalah permasalahan sistem sosial dan keadilan yang seharusnya diberdayakan. Namun, pornografi kemiskinan justru membingkai penderitaan akibat kekurangan sumber daya material, sebagaimana dijelaskan dalam HuffPost.
Ini membuat bantuan yang disalurkan terlihat seperti jalan keluar instan dari kondisi mereka. Pun pornografi kemiskinan sebenarnya menguntungkan satu pihak, yaitu pihak yang mengobjektifikasi.
Baca Juga: Kabinet Baru Jokowi Miskin Keterwakilan Perempuan
Berdayakan Politisi, Bukan Warga Miskin
Berkaca pada kegiatan yang dilakukan Giring, pornografi kemiskinan semakin mendongkrak namanya dalam kancah politik, bukan memberikan solusi untuk memberdayakan warga miskin.
Alasannya, konsep ini tidak memberikan gambaran kemiskinan secara utuh, maupun perubahan struktural yang harus dilakukan dengan efektif. Bahkan cenderung menunjukkan golongan miskin yang menggantungkan hidupnya pada pejabat negara, atau belas kasih kelompok masyarakat dengan kemampuan finansial. Padahal, merekalah yang memegang kunci perubahan atas masa depannya, tentu dengan advokasi dari kebijakan publik.
Melansir Remotivi, media turut berperan dalam memotret kemiskinan melalui pengemasan berita. Dari kunjungan yang dilakukan politisi misalnya, mereka “menjual” cerita kehidupan masyarakat setempat untuk menampilkan kesedihan dan penderitaan. Otomatis, publik tidak membahas permasalahan secara struktural, seperti penyebab kemiskinan.
Pemberitaan itu pernah dilakukan oleh BeritaSatu dalam masa kampanye Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2019. Mereka mengisahkan Jokowi berempati tinggi karena pernah merasakan kemiskinan, dan menggambarkannya lewat sebuah cerita ketika ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012.
Dikatakan saat berkunjung ke pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung, Jokowi bersedia meminum air dari gelas dengan aroma sabun yang menyengat, menandakan gelasnya tidak dicuci bersih. Ia bahkan mengaku, gelas beraroma sabun itu menginspirasinya untuk bertindak demi rakyat.
Atau Detik.com yang menulis tentang Kampung Papanggo, dan membingkai kondisinya menyedihkan lewat detail tumpukan sampah yang terdapat di tanah, ataupun pinggir kali. Disebutkan juga 100 warga yang bermukim, dengan penggambaran kampung lewat foto yang ditampilkan, terlihat kurang memadai untuk kelangsungan hidup.
Karena itu, sebagai masyarakat kita perlu menyadari informasi kemiskinan yang ditampilkan media, maupun yang ditunjukkan oleh politisi dalam memberikan bantuan. Apakah membenahi untuk jangka panjang, atau kembali mengeksploitasi berkedok santunan untuk kepentingannya sendiri.