Health Issues

#HariKesehatanMental: Krisis Kesehatan Mental Remaja, Bagaimana Orang Tua Menyikapinya?

Melonjaknya krisis kesehatan mental remaja bisa bermakna ganda. Pertama, kesadaran dan literasi remaja meningkat. Kedua, ada persoalan akses layanan dan bantuan yang belum optimal.

Avatar
  • October 12, 2024
  • 7 min read
  • 603 Views
#HariKesehatanMental: Krisis Kesehatan Mental Remaja, Bagaimana Orang Tua Menyikapinya?

*Peringatan: Artikel ini mengandung masalah kesehatan mental hingga gambaran bunuh diri. 

Apakah kamu menyadari semakin hari semakin sering kita dikepung berita tentang remaja yang punya masalah mental. Dari depresi hingga kecemasan, dari yang punya privilese mengakses bantuan dan pendampingan hingga berakhir dengan bunuh diri. Penyebab masalah kesehatan mental itu pun beragam, mulai luka yang bersumber dari relasi dalam keluarga, tekanan sekolah, sampai pengalaman perundungan. 

 

 

Salah satu masalah kesehatan mental dialami oleh IS, 19, mahasiswa di Jember, Jawa Timur. Pada 2022, ia mengaku kerap mengalami kecemasan berlebih dan gejala depresi. Penyebabnya karena stres menghadapi tekanan tugas kuliah dan kepanitiaan di kampus. Saking parahnya, ia pernah mencoba bunuh diri meski beruntung, bisa digagalkan. 

Pengalaman serupa disampaikan D, yang mencoba bunuh diri karena merasa sendirian sejak sang ibu meninggal dunia dan ayah menikah lagi. Kondisi ini diperparah dengan stigma sekitar yang menyebut dia sebagai psikotik, orang gila. Beruntung, ia bisa mendapat pertolongan setelahnya. 

Maraknya masalah kesehatan mental seperti dialami IS dan D, membuat sejumlah kalangan menyebut kita ada dalam kondisi krisis. Dari catatan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada 2022 didapati, setidaknya, 1 dari 20 atau 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental (ODGJ) dalam dua belas bulan terakhir. Sementara, 34,9 persennya memiliki satu masalah kesehatan mental, atau tergolong ke dalam orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).  

Kondisi ini juga diikuti dengan kecenderungan perilaku bunuh diri remaja dalam setahun belakangan. Masih dari catatan  I-NAMHS, sekitar 1,4 persen dari keseluruhan sampel remaja menuturkan, pernah memiliki ide untuk mengakhiri hidup; 0,5 persen telah membuat rencana untuk melakukan bunuh diri; dan 0,2 persen mencoba melakukan percobaan bunuh diri. Dari keseluruhan responden remaja, lebih dari 80 persennya ditemukan memiliki setidaknya satu gangguan mental.  

Hal ini tak terjadi tanpa alasan. Berdasarkan keterangan World Health Organization (WHO), usia remaja memang tergolong krusial. Terdapat momen eksplorasi identitas dan penyesuaian diri dengan teman sebaya yang terjadi. Hal ini dipengaruhi pula oleh media sosial dan norma gender yang rentan memperlebar kesenjangan antara realitas dan persepsi mereka untuk masa depan.  

Baca juga: Stigma Bunuh Diri hingga Pengaruh Media Sosial: Penyebab Terjadinya Bunuh Diri pada Anak Remaja

Penyebab Krisis Kesehatan Mental Remaja 

Pada rentang usia ini, remaja memasuki masa yang krusial. Semenjak tidak lagi dianggap sebagai anak-anak karena perubahan fisiologis, remaja cenderung mengalami perubahan mood. Perubahan tersebut diikuti dengan kebingungan baru terkait regulasi emosi. Hal ini dituturkan psikolog Luh Surini Yulia Savitri, M.Psi., (10/10). Ia bilang, remaja punya PR besar dalam menemukan cara untuk meregulasi emosi. 

“Ini adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Sehingga, mereka itu mengalami banyak perubahan misal mood-nya yang sering jadi tidak terlalu baik gitu. Selain itu, mereka juga punya PR untuk bagaimana sih meregulasi emosi?” papar Vivi pada Magdalene.  

Selain itu, krusialnya masa usia ini juga dilatarbelakangi persepsi tentang otonomi diri. Kendati merasa sudah besar dan wajar memiliki otonomi diri, tapi nyatanya masih banyak yang tergantung dengan orang tua. Kontradiksi semacam inilah yang membuat remaja mudah terjebak dalam kebingungan dan berujung stres.  

Erik Erikson (1950) menjelaskan, periode remaja (12-18 tahun) memang tergolong dalam fase Identity vs Role Confusion. Dalam tahapan ini, remaja aktif mencari identitas dengan cara mempertimbangkan kepercayaan, tujuan, sampai nilai-nilai yang mereka pegang. Hal ini pun menimbulkan banyak kesulitan, termasuk kebingungan-kebingungan terkait bagaimana seharusnya mereka menjalani peran saat ini dan di masa depan. 

Kematangan kognitif yang belum sempurna juga jadi salah satu alasan. Akibatnya, remaja sering kali terjebak pada pilihan-pilihan impulsif yang merugikan diri sendiri. “Mereka secara kognitif belum matang. Jadi kayak kalau di perkembangan itu kan banyak imaturitas atau ketidakmatangan dalam berpikir. Kognitifnya sudah berkembang abstrak tetapi mereka belum matang sempurna. Sehingga, kadang-kadang decision making-nya itu suka tidak tepat anak remaja ini. Apalagi mereka kan regulasi emosinya juga masih belum baik, jadi lebih ke arah impulsif gitu,” jelas Vivi. 

Baca juga: Dari Pembacokan hingga Kasus Mario Dandy: Kenapa Remaja Lakukan Kekerasan?

Mengapa Orang Dewasa Perlu Ambil Bagian? 

Sayangnya dalam periode krisis ini, remaja belum punya akses mandiri untuk mendapatkan layanan kesehatan mental. Dari penuturan Vivi, akses legal ke fasilitas kesehatan mental hanya bisa didapatkan apabila individu sudah berusia 18 tahun. Jika kurang, psikolog belum bisa memberikan intervensi tanpa persetujuan orang tua/ wali.  

“Iya, jadi sampai usia dianggap sampai 17 tahun ya, 18 tahun kurang satu hari lah ya anggapannya, itu mereka masih di bawah pengaruh orang tua. Jadi kalau ingin ke psikolog, mereka itu harus lewat orang tuanya. Jadi minta misalnya, ‘Bu aku mau ke psikolog gitu’, jadi harus ada persetujuan orang tua. Kami sendiri sebagai psikolog apabila kedatangan anak, terutama di bawah 18 tahun, itu kita akan nanya orang tua kamu atau ‘orang dewasa yang di sekitar kamu mengetahui enggak ini?’ Dan kalau enggak tahu, kami akan meminta anak untuk bilang sama orang tuanya,” urainya. 

Bagi tenaga kesehatan seperti Vivi, hal ini sebetulnya memunculkan dilema tersendiri. Bagaimana tidak? Konsen yang berada penuh di tangan orang tua kadang menghambat anak untuk mendapatkan hak penanganan kesehatan mentalnya. Belum lagi apabila orang tua si anak tidak familier dengan kebutuhan konseling. Pada akhirnya, remaja perlu menghadapi tantangan tersendiri untuk mendapatkan layanan kesehatan mental.  

“Iya, ini sebetulnya menjadi dilema ya. Jadi mungkin anak-anak zaman sekarang lebih konsen atau sudah lebih teredukasi lah dengan mental health, mental illness, tapi orang tuanya bisa jadi tidak teredukasi. Sehingga, untuk ke psikolog itu jadi lebih menantang, karena mereka harus mendapatkan persetujuan dari orang tua,” tambah Vivi.  

Untuk itu, menurut Vivi, sekolah punya peran yang sangat penting dalam menangani kondisi ini. Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap remaja selain orang tua, sudah semestinya sekolah jadi garda utama dalam pencegahan dan penanganan persoalan kesehatan mental pada siswa. Guru Bimbingan Konseling, Konselor, sampai Psikolog Sekolah, idealnya bisa memberikan fasilitas, atau jadi jembatan antara anak dan orang tua. 

“Kalau pun misalnya tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua, biasanya aku ingin ada orang dewasa, maksudnya kakaknya, atau wali, atau pokoknya orang dewasa yang usianya lebih dari dia, untuk mengetahui bahwa dia ini ke psikolog. Tapi kalau di sekolah, paling ideal adalah psikolog sekolah ya, atau guru BK, untuk jadi pemberi layanan utama buat anak,” jelasnya. 

Vivi sendiri merasa lebih perlu mengedukasi orang dewasa, termasuk orang tua dan pendidik di sekolah, tentang pentingnya layanan kesehatan mental remaja. Menurutnya, terkadang, orang tua/pendidik masih belum paham bahwa akses ke layanan kesehatan mental adalah hal yang penting. Belum lagi soal stigma buruk terkait mengakses layanan. Bagi Vivi, orang dewasa perlu paham, remaja juga membutuhkan penanganan profesional. 

Baca juga: Gangguan Kesehatan Mental Remaja: Fakta, Tanda, dan Solusi Terbaik

“Jadi biasanya saya mempersuasi orang tua untuk membawa anaknya itu. Apabila melihat anaknya dalam keadaan yang tidak nyaman, silakan ke psikolog. Saya mengedukasi justru orang tuanya, daripada ke remajanya, saya lebih banyak edukasi ke orang tuanya sebetulnya. Dan saya bilang bahwa ketika anak ke psikolog itu, dia tidak berarti bahwa dia punya mental illness atau gila, enggak loh.” 

“Mereka kadang-kadang butuh untuk berdiskusi saja gitu loh. Jadi anggap saja dia kayak berdiskusi ke guru gitu. Kalau mereka berdiskusi ke teman, dengan pengalaman yang mungkin ya sama-sama aja gitu dengan temannya, kan bisa jadi advice-nya bisa jadi kurang tepat,” tambah Vivi. 

Karena itu, orang dewasa punya peran yang krusial dalam penanganan kesehatan mental remaja. Kebijakan sampai kemauan orang tua/ pendidik untuk memenuhi kebutuhan remaja jadi inti proses penanganan permasalahan mental di usia ini. 

“Harapannya orang dewasa lebih bijak untuk memberikan nilai-nilai yang baik buat anak itu. Karena sebenarnya ini kan masalahnya jadi darurat ya, soal pemulihan atau kesehatan mentalnya. Tapi di satu sisi, anak belum punya akses yang resmi atau legal ke fasilitas kesehatan dan tetap butuh persetujuan orang tua,” pungkas Vivi.  

Jika kamu, teman, atau keluarga punya masalah mental atau kecenderungan bunuh diri, segera kontak psikolog, psikiater atau dokter kesehatan jiwa di Puskesmas atau rumah sakit terdekat. Kamu juga bisa mengakses situs Emotional Health For All jika membutuhkan bantuan. Pun, layanan dari Kementerian Kesehatan di nomor 119 ext 8 dan layanan 24 jam BISA Helpline melalui nomor WhatsApp 08113855472. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *