Cukup Sudah: Hentikan Eksploitasi Kematian Korban Kekerasan Seksual!
Eksploitasi atas kematian korban kekerasan seksual mencederai kemanusiaan. Saatnya fokus pada keadilan untuk korban.
Dua bulan setelah kematian Nia Kurnia Sari, seorang gadis penjual gorengan yang diperkosa dan dibunuh September lalu, perbincangan masyarakat tentangnya masih marak. Namun, perhatian tersebut telah berkembang menjadi eksploitasi korban kekerasan, dengan banyak pihak menjadikannya sebagai konten.
Berbagai video mengenai Nia Kurnia Sari sangat mudah ditemukan di TikTok. Sebuah akun menampilkan kondisi kamar Nia dengan banyak orang di dalamnya. Rumah Nia di Sumatra Barat menjelma menjadi tempat wisata yang dipadati pengunjung. Video itu viral dan mendapatkan beragam respons dari warganet.
Ada juga video yang memperlihatkan kondisi depan rumah almarhumah yang dijadikan pangkalan para pedagang yang menjajakan aneka jualan. Tidak sampai situ saja, bermunculan lagu yang mengangkat kisah Nia di YouTube. Setidaknya ada lebih dari lima lagu.
Makam gadis itu juga didatangi banyak peziarah dari berbagai daerah. Bahkan sangat mudah menemukan makam tersebut karena hanya dengan kata kunci “makam Nia Kurnia Sari” dan mesin pencarian Google akan menampilkan peta lokasi yang dimaksud, lengkap dengan foto dan ulasan dari warganet.
Kisah kematian Nia Kurnia Sari sedang dieksploitasi. Stiker yang seolah menggambarkan Nia dijual di market place, menampilkan perempuan muda berhijab yang menyunggi nampan berisi gorengan. Di belakangnya ada sosok gelap dengan senyum mengerikan menatap tajam ke perempuan itu.
Bahkan setelah tiada pun Nia masih dimanfaatkan berbagai pihak yang ingin mengambil keuntungan. Dalam hal ini, emosi publik menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam kesuksesan eksploitasi kisah kematiannya.
Baca juga: Dear Sineas ‘Vina: Sebelum Tujuh Hari’, Filmmu Bukan Sarana Edukasi tapi Eksploitasi
Dorong Perlindungan dan Keadilan untuk Korban
Kisah Nia memang menyentuh hati. Nia yang bekerja keras dengan berjualan gorengan sepulang sekolah demi bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi membuat kagum publik. Kematian perempuan yang memiliki cita-cita mulia akibat diperkosa dan dibunuh memang seharusnya menyalakan api amarah semua orang. Namun, pengeksploitasian kisahnya tidak layak dilakukan.
Sayangnya, eksploitasi itu terus berjalan. Kisah Nia akan digarap menjadi film. Dari berbagai kasus kekerasan seksual yang berujung pada kematian, kenapa kisah Nia yang akan dijadikan film menjadi pertanyaan yang layak muncul. Sementara, menurut data yang disajikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2024 ini saja sudah ada lebih dari 6.000 kasus kekerasan seksual.
Apa yang sedang terjadi mengingatkan kita pada film Vina: Sebelum 7 Hari yang rilis Mei 2024 lalu. Film ini menjadi salah satu film terlaris di bioskop meski menuai kontroversi hingga dugaan eksploitasi kematian korban kekerasan seksual. Kesamaan antara kisah kematian Vina dan Nia adalah keduanya sama-sama korban kekerasan seksual, viral, dan mendapatkan banyak atensi publik.
Film Vina diharapkan dapat meningkatkan kesadaran publik mengenai kasus yang menimpa gadis asal Cirebon tersebut, sehingga keluarga korban bisa mendapatkan keadilan. Namun, kesuksesan sebuah film sering kali dinilai secara dangkal berdasarkan jumlah tiket yang terjual. Padahal, keberhasilan sebuah film dalam mendukung penyelesaian kasus kekerasan memiliki ukuran yang jelas berbeda.
Jika kisah Nia benar-benar diangkat ke layar lebar seperti kisah Vina, mungkin filmnya juga akan laku. Tapi bagaimana agar privasi korban tidak dilanggar menjadi pekerjaan rumah serius bagi tim produksi.
Baca juga: Ada Predator di Gim ‘Online’, Indonesia Darurat Eksploitasi Seksual Anak
Hentikan Eksploitasi Kematian Korban Kekerasan Seksual
Eksploitasi korban kekerasan seksual yang meninggal dunia adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Setiap individu berhak mendapatkan penghormatan, bahkan setelah kematian. Dalam kasus Nia, ada bias antara eksploitasi dengan pemberian penghormatan, yang membuat seseorang membenarkan tindakan yang dilakukannya.
Tidak semua hal yang terjadi terkait Nia saat ini dapat dianggap sebagai bentuk penghormatan. Membiarkan kisah kematiannya yang tragis terus menjadi viral demi keuntungan individu atau kelompok adalah tindakan yang nir-empati. Memanfaatkan kisah kematian untuk tujuan komersial atau demi meningkatkan popularitas adalah bentuk eksploitasi yang tidak menghormati martabat korban.
Praktik eksploitasi sering kali dibungkus dengan istilah seperti “membawa rejeki.” Di sisi lain, penghormatan terhadap orang yang telah meninggal memang melibatkan konteks budaya dalam memaknainya. Namun, secara universal, setiap individu harus menunjukkan empati, terutama kepada keluarga korban yang sedang berduka.
Melatih empati dan meningkatkan kesadaran adalah tanggung jawab semua orang untuk mengurangi bias terkait fenomena ini. Alih-alih terus menyebarkan kisah tragis yang menyebabkan korban meninggal, akan lebih baik jika kita mengenang segala hal positif yang pernah dilakukan oleh korban dan berupaya mendorong langkah-langkah agar kasus serupa tidak pernah terjadi lagi.
Bijak bermedia sosial adalah penting agar tidak ikut-ikutan menyebarkan informasi yang menyesatkan atau menambah beban korban dan keluarganya. Ziarah untuk mendoakan korban tentu berbeda maknanya dengan ziarah karena FOMO (fear of missing out) atau demi mendapatkan konten viral di TikTok.
Baca juga: Ria Ricis Bawa Anak Naik Jetski: Contoh ‘Kidfluencers’ yang Rawan Eksploitasi
Menghormati korban kekerasan seksual berujung kematian merupakan tindakan kemanusiaan dan penghormatan tertinggi yang sepatutnya dilakukan. Upaya Nia berjualan gorengan demi memperjuangkan pendidikan adalah upaya mulia untuk melawan kebodohan. Jadikan kisah perjuangan dan keteguhan korban sebagai inspirasi untuk perubahan, bukan sebagai bahan eksploitasi.
Yuliana Kristianti adalah mahasiswa Magister Linguistik, Universitas Gadjah Mada, Awardee LPDP Kemenkeu RI.