#MadgeKaleidoskop: Catatan Kami tentang Isu Perempuan yang “Digoreng” Selama 2024
2024 adalah tahun politis di Indonesia. Pilpres dan Pilkada jadi arena tarung penguasa melempar wacana. Isu perempuan tak lepas dari gorengan propaganda mereka.
Pantauan kami selama 2024, isu-isu perempuan dan minoritas gender cukup kencang digoreng media. Baik yang diangkat dengan perspektif gender yang tepat, atau lebih seringnya tidak. Mulai dari isu-isu femisida yang makin sering disiarkan dan diberi perhatian khusus, hingga isu-isu perempuan yang ramai dipakai politikus selama tahun politis ini.
Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang jadi arena tarung penguasa melempar wacana, tak jarang jadi sumber kericuhan sekaligus gambaran betapa buruknya pandangan dan pemahaman mereka terhadap hak serta kepentingan perempuan.
Dari ribuan peristiwa—mungkin lebih—yang terekam di media, tentu saja tak semua bisa kami cover. Sorotan terhadap peristiwa-peristiwa yang muncul dalam daftar ini, juga tentu tidak sama dengan meredupkan lampu sorot buat peristiwa lain. Beberapa poin di bawah adalah catatan dari kami untuk mengenang 2024, dan membawanya untuk terus diperjuangkan di 2025.
1. Femisida: Angkanya Meningkat, dan Kita Butuh Kesadaran yang Juga Meningkat
Di rumah maupun ruang publik, keselamatan perempuan terancam karena pelecehan dan kekerasan seksual, hingga pembunuhan karena identitas gendernya—disebut femisida. Kasus femisida pun semakin meningkat setiap tahunnya. Pada 2020, Komnas Perempuan melaporkan terdapat 90 kasus femisida. Lalu menjadi 307 kasus sepanjang 2021-2022, turun menjadi 159 kasus pada 2022-2023, dan kembali meningkat menjadi 290 kasus pada 2023-2024.
Temuan itu diperoleh setelah menyaring 33.225 berita online selama 1 Oktober 2023 sampai 1 Oktober 2024. Kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat, dengan jenis femisida intim—dilakukan oleh suami—menempati peringkat tertinggi.
Beberapa kasus yang sempat gempar tahun ini adalah kasus mutilasi di Ciamis dan femisida yang dilakukan anak anggota DPR. Berita-berita itu kami rangkum dalam tulisan-tulisan berikut:
Mutilasi Perempuan adalah Femisida: Mereka Dibunuh karena Gendernya
Agar Tak Lenyap dalam Senyap: Begini Media Seharusnya Beritakan Femisida
Edukasi Anak Perempuan Soal Femisida, Nyalakan Alarm Sejak Dini
Korban Femisida Bukan Objek Wisata! Hentikan Eksploitasi Kematian Korban Kekerasan Seksual
2. Perempuan dalam Ombang-ambing Tahun Politik
Saat Pilkada 2024, calon gubernur dan wakil gubernur banyak yang mengucapkan ujaran seksis dan misoginis. Misalnya Ridwan Kamil dan Suswono, Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nomor Urut 1 dari DKI Jakarta. Ridwan mengatakan, janda akan menerima santunan dan dinikahi oleh politikus Gerindra. Sedangkan Suswono menyarankan, janda kaya menikahi pengangguran sebagai bantuan bagi warga miskin.
Ada juga Dimyati Natakusumah, Calon Wakil Gubernur Nomor Urut 2 dari Banten. Ia bilang, sebaiknya perempuan jangan diberikan beban berat termasuk menjadi gubernur. Pernyataan itu Dimyati sampaikan, saat menanggapi pertanyaan soal cara mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Banten.
Ucapan-ucapan tersebut justru mempertebal cara berpikir patriarkis di masyarakat, yang menomorduakan perempuan dan memosisikan laki-laki lebih superior. Mereka tak menyadari bahwa itu termasuk diskriminasi terhadap perempuan, membuat pemikiran seksis maupun misoginis semakin dinormalisasi.
Di sisi lain, netizen menyadari bahwa pernyataan politisi ini seksis dan misoginis. Lewat media sosial, mereka meng-call out para politisi hingga Ridwan dan Suswono menyatakan permintaan maaf ke publik karena menimbulkan “polemik”.
Berita-berita itu kami rangkum dalam tulisan-tulisan berikut:
Yang Gagal Dilihat Semua Paslon tentang Isu Perempuan dan Buruh
Perempuan Jangan Jadi Pemimpin, Kecuali Keluarga Saya
Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu 2024: Bukti Politik Belum Aman bagi Perempuan
Anjuran Suswono Janda Kaya Nikahi Pengangguran: Sudah Seksis, Objektifikasi Pula
‘Blame the Woman’ Ala Mahfud MD Bukan Pertama Kali Terjadi
3. Representasi Perempuan yang Minim di Pemerintahan Prabowo
Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan 48 nama menteri, 56 wakil menteri, dan 5 kepala badan setingkat pada (20/10) kemarin. Latar belakang mereka beragam, dari politisi, pengusaha, profesional, hingga tokoh agama. Namun, dari ratusan nama tersebut, salah satu fakta menyedihkan adalah minimnya keterlibatan perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo.
Analisis Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan, perempuan dalam Kabinet Merah Putih cuma 13 dari 109 orang atau 12 persen saja.
Dalam lingkup kementerian, hanya ada lima menteri perempuan, yaitu Widianti Putri Wardhana sebagai Menteri Pariwisata, Arifatul Choiri Fauzi sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, Meutya Hafid sebagai Menteri Komunikasi dan Digital, dan Rini Widyantini sebagai menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi. Jumlah menteri perempuan di Indonesia terus mengalami penurunan sejak 2014. Saat pelantikan Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014, Jokowi melantik sedikitnya delapan menteri perempuan, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno.
Kemudian pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi hanya melantik lima menteriperempuan dalam Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019. Tiga posisi menteri yang disebutkan sebelumnya, pada periode ini diisi oleh menteri laki-laki. Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar masih memegang jabatan yang sama.
Dua menteri perempuan baru dalam Kabinet 2019 adalah Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Gusti Ayu Bintang Darmavati.
Dengan demikian, jumlah menteri perempuan di Indonesia berkurang 37,5 persen dari 8 orang saat pelantikan pada 2014 menjadi 5 orang pada 2024. Berita-berita itu kami rangkum dalam tulisan-tulisan berikut:
Minim Perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo, Apa Artinya?
Perempuan di Kabinet Merah Putih: Tak Sekadar Jumlah, Tak Sekadar Pemanis
Lagu Lama dalam Kabinet Baru: Minim Perempuan karena Dendang Patriarki?
4. Kebutuhan Daycare dan Pengakuan Kerja Perawatan yang Terus Diperjuangkan
Tahun ini, isu keperawatan masih jadi salah satu yang kami fokuskan. Sayangnya, kerja perawatan masih kurang diakui bernilai ekonomi. Dalam survei “Persepsi terhadap Pekerjaan Perawatan” (2023) oleh International Labour Organization (ILO) bersama Katadata Insight Center (KIC) disebutkan 50,2 persen responden tak setuju tugas perawatan setara dengan sejumlah uang apabila dilakukan secara berbayar. Padahal, pekerjaan perawatan dianggap penting bagi anggota keluarga, terutama untuk menghindari konflik, penurunan produktivitas, dan penurunan kondisi fisik maupun mental.
Kasus penganiayaan anak yang dilakukan penjaga sekaligus pemilik Daycare di Depok juga sempat membuat isu penitipan anak layak kembali ramai di khalayak. Keberadaan daycare ini sebenarnya penting agar ibu pekerja bisa tetap berkarier di ruang publik. Dalam series liputan #MerekajugaPekerja Magdalene disebutkan, daycare adalah salah satu aksi konkret dari kampanye redistribute atau mendistribusikan ulang beban kerja perempuan, yang gencar disuarakan International Labour Organization (ILO).
Berita-berita mengenai advokasi pentingnya kerja-kerja perawatan dapat dibaca di sini:
Kekerasan Anak di ‘Daycare’ Depok, Saya Ngobrol dengan Ibu Pekerja untuk Cari Tahu Solusinya
Bisnis ‘Daycare’ Menjamur, Perempuan Masih Sulit Akses ‘Daycare’ yang Layak?
Stop Glorifikasi Kerja Perawatan adalah Pengabdian
5. Tak Ada Perempuan yang Benar-benar Bebas Sampai Palestina Bebas
Genosida di Palestina masih berlangsung. Perempuan Palestina menghadapi penindasan dan kekerasan di tangan Zionisme, dan secara tidak proporsional terkena dampak kekerasan struktural apartheid Israel . Memahami dampak yang tidak proporsional ini merupakan inti dari pemahaman Palestina sebagai isu feminis, tulis David Lloyd, seperti dikutip dari USPCR:
“Perang Israel terhadap kelangsungan hidup warga Palestina menargetkan perempuan di setiap bidang . Tentu saja, Israel menargetkan perempuan sebagai agen potensial atau aktual dari reproduksi kehidupan itu sendiri, sebagai ibu dan pengasuh, tetapi Israel juga menargetkan perempuan sebagai reproduksi kehidupan sosial dan budaya, seolah-olah penargetan perempuan—seperti yang sering terjadi di rezim kolonial—dipahami sebagai jalan utama menuju penghancuran kehidupan sosial dan politik masyarakat adat. Hidup di bawah pendudukan Israel atau di dalam batas-batas negara rasialnya telah menghancurkan semua warga Palestina, tetapi terutama menghancurkan perempuan Palestina.”
Kami tetap menyerukan pentingnya dunia melakukan semua upaya untuk menghentikan genosida dan penjajahan di Palestina. Berita-berita mengenai hal ini dapat dibaca di sini:
Tak Ada Perempuan yang Benar-benar Bebas sampai Palestina Bebas
#RuangAmanAnak: Luka Tak Terlihat Anak-anak di Jalur Gaza
Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis