Investasi pada Cuti dan Perawatan di Dunia Kerja Penting Dilakukan
Hasil survei ILO menyatakan perawatan pekerja perlu dilakukan.
Angka kehamilan dan kelahiran cukup tinggi saat pandemi Covid-19. Sehingga banyak dari perempuan pekerja yang mengajukan cuti melahirkan kepada perusahaan. Tapi, sayangnya selama cuti ini kebanyakan perempuan mengalami kesulitan karena tidak ada yang membantu merawat anaknya. Padahal sehabis melahirkan perempuan juga membutuhkan waktu istirahat yang benar, agar bisa memulihkan kesehatannya kembali.
Selain itu durasi cuti melahirkan di Indonesia masih tergolong pendek. Sehingga kesenjangan antara waktu istirahat dari melahirkan dan mengurus anak sangat kecil. Di Indonesia cuti melahirkan diberi waktu 13 minggu. Padahal berdasarkan standar International Labour Organization (ILO) alias organisasi buruh internasional, minimal perusahaan memberi jatah 14 minggu. Dalam laporan baru mereka, ILO bahkan merekomendasikan cuti ini naik jadi 18 minggu. Demi memastikan bahwa ibu punya banyak waktu untuk pemulihan.
Dalam konteks Indonesia, DPR RI sempat mensosialisasikan RUU Kesehatan Ibu dan Anak, yang di dalamnya mengatur cuti 6 bulan untuk perempuan pekerja yang hamil dan melahirkan. Tapi sayangnya berdasarkan RUU ini, upah yang dibayarkan penuh di 3 bulan pertama. Sedangkan 3 bulan selanjutnya hanya dibayar sebanyak 70 persen saja.
Tunjangan yang diberikan selama cuti ini pun harus diberikan secara memadai. Agar ibu pekerja dan anaknya bisa tetap sehat tanpa harus memikirkan masalah ekonomi. Ini juga harus dilihat dari perempuan pekerja di sektor informal.
“Perempuan yang sudah berkeluarga sangat sulit dalam bekerja, mereka kadang mengambil pekerjaan informal untuk membantu menghidupi keluarganya. Hal ini pun banyak terjadi pada perempuan yang bukan tinggal di kota-kota besar,” ujar Dinar Titus Jogaswitani, Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Tenaga Kerja yang hadir dalam diskusi ILO membahas isu perawatan di dunia kerja, di Hotel Gran Mahakam, Jakarta Selatan, 25 November lalu.
ILO juga mengatakan kalau standar mereka tidak mensyaratkan pemberi kerja bertanggung jawab secara tunggal untuk cuti melahirkan ini. Tunjangan yang diberikan pada pekerja bisa didapat dari asuransi sosial wajib atau dana masyarakat atau bantuan sosial non-iuran. Terutama bagi mereka para perempuan yang tidak memenuhi syarat penerima manfaat asuransi sosial.
Apalagi untuk ibu-ibu pekerja di sektor ekonomi informal dan pekerja mandiri yang tidak mendapat manfaat dari cuti melahirkan. Pemerintah juga harus turut ikut mempertimbangkan para ibu pekerja ini untuk masuk ke dalam skala ekonomi negara.
Namun hal ini juga harus diantisipasi agar tidak ibu pekerja yang mendapatkan cuti ini tidak mengalami diskriminasi di tempat kerja. Karena berdasarkan data ILO, 45 negara termasuk Indonesia masih memiliki hukum yang mewajibkan pembayaran cuti melahirkan secara utuh oleh pemberi kerja.
Adanya cuti melahirkan untuk ibu pekerja juga harus diimbangi dengan cuti paternitas untuk laki-laki. Cuti ini merupakan hal yang sangat penting untuk memberikan laki-laki hak dan tanggung jawab dalam pengasuhan anaknya.
Baca juga: Ribut-ribut RUU KIA: Kenapa Cuti Ayah Patut Didukung untuk Wujudkan Kesetaraan?
Cuti Paternitas untuk Para Ayah Juga Sangat Penting
Sebelum disebut dalam RUU KIA, cuti untuk ayah di Indonesia ini hanya diberikan selama dua hari. Hal ini tentu jauh sekali dari cuti melahirkan ibu. Ini membuktikan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh untuk cuti paternitas ini.
Namun, setelah RUU KIA resmi menjadi RUU inisiatif DPR, cuti ayah ini naik menjadi 40 hari. Sebuah pencapaian yang patut kita syukuri mengingat dalam pengasuhan anak tidak hanya ibu, tapi juga ada peran ayah di dalamnya. Training untuk ayah juga diperlukan selama cuti paternitas ini. Supaya hal-hal mendasar dalam pengasuhan anak yang baru lahir bisa membantu meringankan beban sang ibu. Karena ibu baru melahirkan cenderung sering mengalami baby blues.
“Ada contoh negara yang sudah mendapatkan training ini, yaitu Kolombia. Mereka mendapat funding dari pemerintah setempat. Para ayah diberi training bagaimana caranya melakukan dan membantu pekerjaan rumah. Dari mulai memasak hingga cara bagaimana mengganti popok untuk bayinya. Selain Kolombia, negara Argentina juga sudah menerapkan training ini,” ujar Laura Addati, ILO Policy Specialist yang juga hadir di acara ini.
Data ILO juga mengatakan bahwa jumlah pekerja yang mengambil cuti paternitas masih sangat sedikit, bahkan ketika para ayah memang berhak mendapatkannya. Kampanye publik tentang betapa wajibnya ayah mengambil cuti ini perlu dilakukan. Agar menimbulkan kesadaran betapa pentingnya peran pengasuhan oleh laki-laki.
Masalahnya, masih ada tantangan selain pemahaman pentingnya laki-laki turut mengasuh bayi, yaitu ancaman dari perusahaan. Sehingga perusahaan dan pemerintah harus memberikan perlindungan yang eksplisit. Untuk menghindari hak yang tidak diinginkan seperti PHK.
Cuti Orang Tua, Cuti Perawatan Jangka Panjang, dan Cuti Darurat
Selain cuti melahirkan untuk ibu dan cuti paternitas untuk ayah, juga perlu cuti orang tua dan cuti khusus lain dalam pengasuhan anak ini. ILO pun menyarankan agar salah satu orang yang bersedia untuk mengambil cuti ini tidak perlu menyerahkan pekerjaan mereka. Tapi sayangnya di Indonesia hak untuk mengambil cuti orang tua belum ada.
Ada beberapa negara yang memang sudah menerapkan hak cuti orang tua ini. Meskipun begitu ternyata kesadaran laki-laki untuk mengambil hak cuti ini masih terbilang sangat rendah.
Semakin banyaknya masyarakat yang menua, cuti perawatan jangka panjang berbayar juga perlu dipertimbangkan. Cuti ini nantinya akan memainkan peran penting untuk kebutuhan perawatan yang baru. Walaupun Indonesia belum memiliki ketentuan cuti perawatan jangka panjang, alangkah baiknya pemerintah Indonesia bekerja sama dengan perlindungan sosial untuk memastikan cuti ini berbayar.
Cuti darurat atau cuti khusus berdurasi pendek juga masuk dalam bahasan diskusi bersama dengan ILO minggu kemarin. Di sini Indonesia telah memiliki undang-undang tentang ketentuan hak cuti darurat. Cuti ini terbayarkan melalui kewajiban pemberi kerja. Di sini, pekerja mandiri dikecualikan dari hal ini.
Baca juga: Dua Tahun UU Cipta Kerja: PHK Kian Mudah, Kenaikan Upah Jadi Paling Rendah
Wajib Adanya Fasilitas di Tempat Kerja Seperti Ruang Laktasi
Untuk menunjang kesejahteraan perawatan pada pekerja juga tidak hanya cuti-cuti yang diberlakukan. Harus dimulai dari tempat kerja terlebih dahulu, tempat kerja ini nantinya akan menjadi titik awal untuk mempromosikan keselamatan dan kesehatan para pekerja. Termasuk bagi perempuan hamil dan menyusui.
ILO mensyaratkan agar undang-undang bisa menyediakan langkah perlindungan ini bagi perempuan hamil dan menyusui sebagai alternatif dari pekerjaan ini berbahaya atau tidak. Waktu kerja yang layak juga harus menjadi bahan cakupan undang-undang ini. Beruntungnya di Indonesia, pekerja hamil dan menyusui sudah memiliki perlindungan hukum dengan melarang mereka untuk bekerja di malam hari.
Indonesia sudah memiliki kemajuan tentang hal ini. Menurut data dari Ombudsman, sudah ada pasalnya yang mengatur di Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, khusus pada Pasal 83 mengamanatkan bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja”. Dan sejak tahun 2011, hak menyusui di tempat kerja ini sudah dibayarkan.
Hak menyusui ini juga harus didukung oleh fasilitas menyusui yang memadai dan harus ramah bagi ibu dan anak. Indonesia memang belum memiliki undang-undang yang mengatur tentang fasilitas perawatan di tempat kerja.
Namun, ada pasal khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan untuk fasilitas laktasi atau menyusui ini. Persyaratan ini disebutkan di dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu. Harus dibangun di ruang yang baik dengan fasilitas yang memadai di dalam agar ibu menyusui bisa dengan nyaman melakukan kegiatan laktasi ini.
PAUD Bisa Memudahkan Ibu dalam Mengasuh Anak
Setelah cuti melahirkan selesai, beberapa dari ibu pekerja akan mengalami kewalahan karena tidak ada yang mengurus anaknya selagi merek bekerja. Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD sering menjadi solusi untuk ibu pekerja ini. Sayangnya di Indonesia jumlah PAUD yang disediakan oleh pemerintah masih sedikit.
“Kebanyakan PAUD pun yang bersifat mandiri dan dibiayai oleh masyarakat. Rata-rata yang masuk ke PAUD adalah orang-orang yang tidak mampu. Selain itu ada lebih dari 400 ribu anggota Himpaudi, (skeira) 99 persen perempuan dan 1 persen laki-laki. Kami pun para guru PAUD harus mengikuti aturan dari kemendiknas tanpa terkecuali. Para guru PAUD pun tidak hanya mengasuh anak-anak saja tapi juga mengasuh para ibu untuk mengajarkan kepada mereka bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Jadi kerja kita itu jadi double,” ujar Yufi AM Natakusumah, Ketua Himpunan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) DKI Jakarta yang juga hadir di diskusi bersama ILO.
Rintangan dan tantangan pun banyak sekali yang dihadapi oleh para guru PAUD ini. Seperti gaji yang sangat kecil yang berkisar hanya 50 ribu sampai 200 ribu perbulan. Sampai transportasi yang cukup susah untuk mereka menyambangi PAUD tersebut, Contohnya guru-guru PAUD yang mengajar di Pulau Seribu harus menaiki kapal untuk sampai ke sana. Hal ini pun tidak sebanding dengan upah yang mereka terima.
Padahal layanan pengasuhan anak seperti PAUD ini sangat bermanfaat sekali untuk tumbuh kembang anak dan juga pekerjaan perempuan. PAUD juga bisa menjadi lapangan pekerjaan yang bagus. Pemerintah Indonesia juga seharusnya memberikan perhatian juga kepada pendidikan anak usia dini untuk keberlangsungan hidup anak-anak di masa depan.
Baca juga: Ibu Hamil dan Melahirkan Rentan Depresi
Pemerintah Harus Bersiap untuk Masa Aging Society
Pemerintah juga harus mewaspadai para pekerja ini yang akan masuk ke dalam aging society atau hadirnya penduduk usia tua. Sehingga mulai dari sekarang pemerintah Indonesia sudah harus mempertimbangkan mereka untuk masuk ke dalam skala ekonomi negara.
“Yang menarik adalah kita harus berpikir tentang tahun 2035 bahwa sama-sama mereka akan memasuki aging society. Puas tidak puas kita sudah punya bantalan, tapi jangan sampai kita telat ketika masuk ke dalam aging society ini. Kita perlu bekerja sama dan kita juga harus realistis bahwa proteksi-proteksi yang sekarang yah masih begitu saja-saja, dari sektor formal mungkin sedikit sudah aman tapi dari sektor informal kita mungkin harus mewaspadai nya,” ujar Myra Maria Hanartani, Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Permintaan akan perawatan layanan jangka panjang untuk lansia dan disabilitas pun meningkat tajam. Apalagi setelah adanya Covid-19 kemarin, mereka pun menyadari betapa pentingnya perawatan ini. Agar permintaan tidak membludak di masa depan, pemerintah mulai bisa dari sekarang untuk memperhitungkan perawatan layanan jangka panjang tersebut. Untuk itu investasi semua perawatan yang telah disebutkan di atas juga bisa membantu skema ekonomi negara menjadi lebih baik lagi.