Issues Politics & Society

Pergub Jakarta ASN Boleh Poligami: Diskriminatif dan Ketinggalan Zaman

Pergub ini berpotensi membuat perempuan, terutama mereka dengan disabilitas mengalami kekerasan berlapis.

Avatar
  • January 23, 2025
  • 8 min read
  • 139 Views
Pergub Jakarta ASN Boleh Poligami: Diskriminatif dan Ketinggalan Zaman

Baru-baru ini publik dibuat heboh dengan Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Jakarta. Pergub DKJ Nomor 2/2025 itu salah satunya mengatur soal pemberian izin bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk melakukan poligami

Ketentuan mengenai izin bagi ASN yang hendak berpoligami diatur khusus dalam Bab III dengan setidaknya tiga alasan yang yang mendasari perkawinan yakni:  istri tidak dapat menjalankan kewajibannya;  istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 (sepuluh) tahun Perkawinan. Ditemui langsung oleh wartawan Tempo.co, Penjabat (Pj) Gubernur Jakarta Teguh Setyabudi mengatakan penerbitan Pergub ini sebenarnya bukan untuk mendorong para ASN untuk berpoligami, melainkan untuk melindungi keluarga ASN. 

 

 

“Kami ingin agar perkawinan, perceraian, yang dilakukan ASN di DKI Jakarta itu bisa betul-betul terlaporkan. Sehingga nanti juga untuk kebaikan,” ucapnuya. 

Teguh menambahkan meski ada pasal yang mengatur perizinan poligami, Teguh menegaskan Pergub DKJ Nomor 2/2025 justru memperketat urusan perkawinan maupun perceraian. Ia mengatakan ada sejumlah kriteria ketat bagi ASN laki-laki yang hendak melakukan pernikahan dengan lebih dari seorang perempuan. Sehingga, menurut dia, pengawasan terhadap perkawinan bisa lebih ketat lagi. Tapi lebih dari itu, menurut Teguh Pergub ini bisa membantu pemenuhan hak-hak istri dan anak ASN. 

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya 

Sejarah Di Balik Pergub Poligami 

Menanggapi terbitnya Pergub DKJ Nomor 2/2025, Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan menilai produk hukum ini problematik, mengingat praktik poligami sendiri sangat diskriminatif bagi perempuan. 

“Praktik poligami adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang menempatkan perempuan sebagai subordinat dari laki laki,” tutur Siti pada Magdalene.co. 

Sebagai salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, poligami juga masuk ke dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan juga tindak pidana kejahatan terhadap perkawinan. Adanya lapis bentuk kekerasan dalam poligami ini tidak terlepas dari bagaimana poligami kerap diawali dari perselingkuhan yang berakibat pada penderitaan psikologis juga penelantaran yang tidak terbatas pada pemberian nafkah. 

Tindakan serupa ini sebut Komnas Perempuan dalam rilis pers mereka merupakan bentuk KDRT, khususnya dalam bentuk kekerasan fisik dan penelantaran. Pada tahun 2023, Badan Peradilan Agama (Badilag) misalnya mencatat 391.296 pengajuan perceraian. 701 di antaranya adalah karena poligami, 32.646 karena ditinggalkan salah satu pihak, dan 240.987 karena perselisihan terus-menerus. 

“Baik penelantaran maupun perselisihan terus-menerus ditengarai terkait dengan isu perselingkuhan dan praktik beristri lebih dari satu,” jelas Komnas Perempuan. 

Kehadiran Pergub ini pun menambah deretan panjang produk hukum diskriminatif yang meminggirkan perempuan. Pasalnya peraturan ini tak lebih dari pembaruan materi dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 maupun Peraturan Presiden (PP) Nomor 10 Tahun 1983 (telah direvisi menjadi PP 45/1990). 

“Hulu dari pergub ini adalah UU Perkawinan dan PP 45/1990. Dicabut atau tidak Pergub, rujukannya tetap ke kedua peraturan di atas,” jelas Siti. 

Merujuk arsip Harian Republika, adanya peraturan tentang perizinan poligami di kalangan ASN berawal pada tahun 80-an saat anggota Dharma Wanita marak melaporkan kasus poligami dan perceraian yang dilakukan sewenang-wenang oleh pejabat negara. Kegaduhan ini juga ditambah dengan isu perselingkungan Soeharto dengan seorang artis ibu kota hingga Soeharto mengeluarkan sangkalan dalam pidatonya di acara ulang tahun komando pasukan Sandi Yudha. 

Siti Hartinah alias Tien Soeharto yang merupakan penentang poligami kemudian disebut-disebut jadi pihak utama dibalik dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS. Dua produk hukum ini pada intinya diterbitkan untuk memperketat dan membatasi poligami dan perceraian yang selama ini merugikan perempuan. 

UU Perkawinan secara jelas menganut asas monogami sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 tentang suatu perkawinan hanya boleh terdiri dari satu suami dan satu istri. Untuk memperketat poligami sendiri, UU Perkawinan memberikan sejumlah syarat yang kemudian dikategorikan secara jelas sebagai syarat alternatif dan syarat akumulatif dalam PP 45/1990. Syarat alternatif ini antara lain adalah istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau istri tidak dapat melahirkan keturunan.   

Sedangkan syarat kumulatif adalah ada persetujuan tertulis dari istri, PNS laki-laki yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan, dan ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 

Pejabat pemerintah juga tidak boleh memberikan izin bagi PNS pria yang mengajukan izin untuk beristri lebih dari seorang apabila: 

1.      Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; 

2.      Tidak memenuhi syarat alternatif dan syarat kumulatif bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 

3.      Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; 

4.      Dan/atau ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan. 

Seluruh syarat alternatif dan kumulatif dalam UU Perkawinan dan PP Nomor 10/1983 (sekarang PP Nomor 45/1990) ini kemudian yang disalin dalam Pergub DKJ terbaru. 

Baca Juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan Tantangan Perempuan Pemimpin

Produk Hukum Diskriminatif yang Ketinggalan Zaman 

UU Perkawinan telah berusia 50 tahun sejak ia disahkan. Sedangkan PP Nomor 45/1990 kini telah menginjak usia 35 tahun. Menyalin produk hukum yang sudah lama ke dalam produk hukum baru menjadi kurang tepat dilakukan, mengingat menyesuaikan hukum dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi dengan hukum yang lebih relevan dan adaptif jauh lebih diharapkan. Ini dilakukan demi tercipta kepastian hukum dan perlindungan hak yang lebih baik. 

Dalam Pergub DKJ 2025, kita semua dapat melihat bagaimana pendasaran alasan diperbolehkan poligami masih ketinggalan zaman, sehingga cenderung diskriminatif. Alasan pertama soal istri tidak dapat melakukan kewajiban menurut Komnas Perempuan bersifat subjektif karena mengacu pada konstruksi masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. 

Posisi ini mendasarkan pada pembatasan peran perempuan di ranah domestik, yakni pengasuhan dan perawatan. Pembatasan peran ini mengakibatkan ketimpangan relasi suami dan istri dalam rumah tangga yang bakal meningkatkan kerentanan perempuan pada berbagai jenis kekerasan. 

Lalu alasan tidak dapat melahirkan keturunan meneguhkan posisi subordinat perempuan di dalam masyarakat yang menempatkan penilaian pada kapasitas reproduksi perempuan. Perempuan baru dianggap pantas jadi istri kalau ia bisa hamil dan melahirkan, terlepas dari kondisi medis yang mereka alami atau bahkan ketidaksuburan dari pihak laki-laki. 

Tak ketinggalan adalah alasan ketiga yang dinilai Rina Prasarani, Wakil Ketua Umum HWDI Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran sangat bermasalah. Alasan ini menumpukan diri pada pertalian antara patriarki dan ableisme −diskriminasi dan prasangka sosial terhadap disabilitas yang dianggap sebagai orang-orang yang tidak mampu, tidak normal, dan “cacat”. 

“Di dalam masyarakat seseorang yang dianggap berfungsi itu identik dengan laki-laki dan tidak disabilitas. Jadi jika dia perempuan lalu dia tidak bisa ‘melayani’ suaminya karena disabilitas yang dia miliki, maka ini jadi menambah kerentanan perempuan didiskriminasi dan mengalami kekerasan,” tutur Rina pada Magdalene.co. 

Penuturan Rina ini diamini oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengungkapkan kerentanan ini dua hingga empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan non-disabilitas. Di Indonesia sendiri, kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas dapat ditelusuri lewat Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan. Berdasarkan data Komnas Perempuan 2023, terdapat 105 kasus kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas sepanjang tahun tersebut. 

Jumlah kasus ini sayangnya tidak bisa sepenuhnya mencerminkan keseluruhan kasus kekerasan mengingat banyak kasus tidak terdata atau tidak terlaporkan karena berbagai hambatan yang dialami perempuan dengan disabilitas. Ini mengapa Revita Alfi, Ketua HWDI juga sangat menyayangkan tindakan pemerintah daerah Jakarta yang malah memperkuat stigma terkait disabilitas. 

Baca juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu 

“Perempuan disabilitas masih kesulitan melaporkan kasus kekerasan seperti KDRT. Apa yang kita ketahui sekarang hanya fenomena gunung es. Mereka banyak takut melapor. Pas melapor pun tidak tau bagaimana mekanismenya. Cek kanal juga tidak accessible. Dukungan lingkungan juga kerap kali tidak ada. Ini sekarang malah divalidasi dengan dengan kebijakan tidak berpihak,” kata Revita. 

Melihat bagaimana Pergub ini hanya jadi perpanjangan tangan UU Perkawinan yang “ketinggalan zaman”, baik Revita, Reni, maupun Komnas Perempuan mendorong adanya revisi dari UU Perkawinan ini. Alasan-alasan diskriminatif sebagai dasar perizinan poligami sudah seyogyanya dihapuskan karena sudah tidak relevan dan malah memperkuat stigma bagi kelompok disabilitas. 

Revita dan Reni secara khusus menekankan dibandingkan memuat pasal-pasal diskriminatif, seharusnya perawatan dan dukungan terhadap istri dengan disabilitas menjadi aspek penting yang harus didorong pemerintah. Ini dilakukan agar suami tidak lagi melihat istrinya sebagai suatu beban atau manusia yang tidak utuh. 

“Bagaimana dia bisa mendapatkan perawatan dan rehabilitasi terbaik secara sosial dan medis adalah hal yang justru lebih penting didorong pemerintah. Sekarang semua ini belum tersedia. Akhirnya balik lagi ke stigma bahwa disabilitas itu beban, tidak berfungsi. Padahal bisa berfungsi kalau lingkungannya mendukung. Lingkungan ini jadi PR Pemerintah,” kata Rina. 

Sementara revisi UU Perkawinan diajukan dan dibahas, pelaksanaan Pergub Jakarta 2/2025 menurut Komnas Perempuan harus diiringi berbagai hal. Pertama, penegakan hukum untuk pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan, UU Administrasi Kependudukan dan pelaksanaan KUHP ketika ASN menikah walau diketahuinya ia memiliki halangan perkawinan yaitu masih terikat perkawinan, serta UU PKDRT. 

Kedua, diperlukan juga mempertimbangkan komposisi gender dalam Tim Pertimbangan dan memastikan bahwa tim tersebut memiliki perspektif adil gender dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memeriksa dan mengenali kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. 

Ketiga, memastikan pelaksanaan hak atas nafkah bagi istri dan anak pasca perceraian akibat atau terkait tindak perkawinan lebih dari satu istri. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *