#(Re)formasi1998: Penobatan Soeharto Jadi Pahlawan Ancam Gerakan Perempuan
Tepat 27 tahun setelah Reformasi, nama Soeharto kembali mencuat sebagai salah satu kandidat pahlawan nasional. Melansir Kompas.com, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengungkapkan Soeharto berpeluang dinobatkan sebagai pahlawan nasional pada November mendatang. Keputusan ini menambah gejolak perdebatan publik yang tak henti bergulir sejak wacana ini pertama kali muncul.
Namun, usulan penobatan ini tidak datang tanpa penolakan. Banyak pihak menolak wacana ini, terutama mereka yang masih mengingat sejarah kelam rezim Orde Baru. Mereka merasa tindakan tersebut akan mengaburkan masa lalu yang penuh dengan catatan kontroversial.
“Nia”, pekerja lepas di Jakarta salah satunya, Ia khawatir penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional bakal menghapus jejak sejarah kelam yang terjadi di bawah kekuasaannya. “Loh? Bukannya dia (Soeharto) banyak catatan kriminalnya ya?” ujarnya.
Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebenarnya bukan pertama kali digulirkan. Sebelumnya, wacana serupa muncul pada 2010 dan 2015. Namun, upaya-upaya tersebut gagal karena nama Soeharto masih tercatat dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang menegaskan pentingnya pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketetapan ini membuat penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak mungkin dilakukan.
Namun, situasi kini berubah. Pada akhir 2024, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat nama Soeharto telah dihapus dari ketetapan MPR tersebut. Langkah ini membuka kembali peluang bagi Soeharto untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional, meski penolakan terhadap hal ini tetap menguat.
Baca juga: Seramnya Pencabutan Nama Soeharto dari Tap MPR dan Wacana “Pahlawan Nasional”
Bahayakan Gerakan Perempuan
Salah satu dampak serius dari penobatan Soeharto adalah membahayakan gerakan perempuan di Indonesia. Afifah, Koordinator Department Pendidikan Perempuan Mahardika menyebutkan, penobatan Soeharto berpotensi mencederai amanat Reformasi yang telah diperjuangkan selama ini.
Selain itu Afifah juga menilai langkah ini akan memperburuk situasi politik, memperburuk pembungkaman terhadap gerakan politik perempuan, dan mengancam ruang gerak gerakan perempuan itu sendiri.
“Ini (penobatan Soeharto) tuh upaya sistematis. Dibahas sejak September 2024, lalu nama Soeharto dicabut dari TAP MPR. Semua ini untuk memperkuat rezim dan kepentingan politik tertentu,” jelas Afifah.
Ia melihat apa yang kini sedang dilakukan adalah langkah berkelanjutan yang bisa merusak nilai-nilai Reformasi.
Afifah menambahkan, wacana ini berpotensi mendepolitisasi gerakan perempuan yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Pada masa Orde Baru, gerakan perempuan dipaksa untuk diam dan tidak berkembang. Jika penobatan Soeharto benar-benar terjadi, ia khawatir ini akan mengarah pada kembali dibungkamnya gerakan perempuan.
“Kita tidak bisa lupa bagaimana di zaman itu (Orde Baru) banyak pembungkaman, pemberangusan, dan pelarangan terhadap gerakan perempuan. Ini bisa jadi trajektori politik yang sangat berbahaya ke depan,” tambahnya.
Baca juga: Prabowo, Ucapan ‘Ndasmu’, dan Feodalisme Politik Gaya Baru
Rapor Merah Rezim Soeharto terhadap Gerakan Perempuan
Soeharto, yang menjabat sebagai Presiden selama lebih dari tiga dekade Orde Baru, memiliki catatan buruk terhadap gerakan perempuan. Seperti yang dicatat dalam buku “GERWANI: Stigmatisasi dan Orde Baru” oleh Ratna Mustika Sari (2007), rezim Soeharto berulang kali melakukan stigmatisasi terhadap Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), simbol perlawanan perempuan terhadap kekuasaan.
Gerwani tidak hanya difitnah secara publik, tetapi juga mengalami penangkapan, penyiksaan, dan penahanan terhadap anggotanya. Semua ini dilakukan untuk menghentikan partisipasi perempuan dalam politik.
Selain itu, pada masa Soeharto, negara juga memperkenalkan ideologi ibuisme yang membatasi perempuan hanya pada ranah domestik. Menurut Laila Bariroh, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya, ideologi ibuisme ini menempatkan perempuan hanya sebagai pendamping suami dan mencegah mereka untuk terlibat dalam kegiatan politik. Hal ini membuat ruang gerak perempuan menjadi sangat terbatas, baik dalam kehidupan publik maupun politik.
“Praktik ibuisme telah mengontrol dan merepresi ruang politik perempuan dalam segala aspek kehidupan. Dalam ideologi ini, perempuan hanya dianggap sebagai pendamping suami, yang menghambat perempuan untuk memiliki agensi dan suara dalam politik,” ujar Laila dalam opini yang dipublikasikan di laman resmi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Baca juga: Membangkitkan Gerakan Perempuan Progresif di Arena Politik
Kekerasan Seksual dan Penghancuran Gerakan Perempuan
Selain membatasi peran perempuan dalam politik, rezim Orde Baru juga mengabaikan hak-hak perempuan, terutama dalam hal kekerasan seksual. Pada masa Soeharto, ada banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi tanpa ada upaya nyata untuk menyelesaikannya.
Menurut Ita Fatia Nadia, aktivis perempuan dan Kepala Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan, setidaknya 85 perempuan menjadi korban kekerasan seksual selama masa pemerintahan Soeharto. Dari jumlah tersebut, 52 perempuan adalah korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual, dan 9 perempuan menjadi korban pelecehan seksual, dilansir dari BBC Indonesia.
Kekerasan seksual ini bukan hanya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan, tetapi juga mencerminkan bagaimana rezim Soeharto mengabaikan perlindungan terhadap perempuan dan tidak memberikan keadilan bagi korban.
Gerakan Perempuan Harus Bersatu untuk Tolak Soeharto
Afifah menegaskan gerakan perempuan harus bersatu dan menolak wacana penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Ia mengingatkan bahwa jika wacana ini dibiarkan, akan ada dampak jangka panjang yang bisa merugikan perjuangan perempuan di Indonesia.
“Kita tahu gerakan kita masih kecil. Makanya, penting untuk mengorganisir agar kita bisa menolaknya bersama-sama. Setelah penobatan ini, akan ada upaya sistematis lainnya untuk mendepolitisasi gerakan. Jadi, kita harus bergerak bersama,” tegas Afifah.
Hingga 2 Mei 2025, penolakan terhadap wacana penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional terus berkembang. Teranyar, lebih dari 5.660 orang telah menandatangani petisi ‘Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto!’ yang diinisiasi melalui laman change.org. Kamu juga bisa terlibat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















