‘Rumah Dukkha’: Soal Trauma, Gerwani, dan Hantu PKI
‘Rumah Dukkha’ karya Dhianita Kusuma menawarkan 20 cerita pendek soal pelanggaran HAM berat 1965-1966 dari sudut pandang korban, penyintas, dan pelaku.

Kita sudah menggulingkan rezim Orde Baru dan memulai Reformasi dan lima kali berganti pemimpin. Meski begitu, bisikan soal “orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI)” tetap menggema seperti mantra terlarang yang tak boleh disebutkan.
Ia ada di buku pelajaran, film, bahkan museum-museum yang dibangun megah oleh pemerintah. Orang-orang PKI digambarkan seperti monster dalam dongeng kelam. Tak bertuhan, haus darah, dan kejam Perempuan-perempuannya pun tak bermoral—dituduh menari telanjang dan menganiaya para jenderal dengan silet.
Di ruang kelas hingga di rumah, tidak ada ruang untuk bertanya atau memahami kebenaran di balik cerita ini. Label sudah terlanjur ditempelkan, meresap dalam ingatan kolektif kita. Mereka yang terlibat dalam partai merah bukan manusia, sehingga tidak pantas diperlakukan seperti manusia. Anak cucunya pun turut dijauhi, darah “monster” mereka dianggap masih mengalir, memaksa pengucilan jadi tak terelakkan.
Namun, dalam penjara ingatan ini, Dhianita Kusuma Pertiwi menawarkan kunci pembebasan. Melalui kumpulan cerpen Rumah Dukkha, Dhianita berusaha membongkar propaganda yang dibangun penguasa soal PKI. Dengan 20 cerpen, ia menggambarkan peristiwa pelanggaran HAM massal 1965-1966 yang merenggut ratusan ribu nyawa anggota PKI dan simpatisannya. Peristiwa yang mengubah tatanan sosial, politik, dan budaya Indonesia, namun tetap diabaikan dalam buku pelajaran dan tak pernah dibincangkan secara terbuka.
Dalam cerpen-cerpennya, Dhianita meminjam suara korban dan penyintas. Luka yang tak terlihat, yang menggerogoti tubuh, pikiran, dan bahkan mengalir dalam darah keturunan mereka, disampaikan dengan jujur. Pendekatan ini berhasil menawarkan perspektif baru, sekaligus melatih empati pembacanya.
Baca Juga: Membangkitkan Gerakan Perempuan Progresif di Arena Politik
Perempuan yang Dicap Kiri
Sebagai perempuan, Dhianita paham betul dalam peristiwa pelanggaran HAM, perempuan sering kali mengalami kekerasan berlapis, karena identitas gendernya. Seksualitas menjadi alat untuk menundukkan perempuan, meracuni keluarga, bahkan merusak lingkungan sosial mereka. Dalam cerpen berjudul Mengutuk Ibu, Dhianita mengeksplorasi pengalaman serang perempuan muda, narator “aku”, yang tumbuh yatim piatu.
Dia dibesarkan oleh ibu tiri setelah ibu kandungnya meninggal, tanpa tahu penyebab pastinya. Tak tahu siapa bapaknya, masa kecilnya penuh kesedihan. Ia sering dicampakkan oleh ibu tirinya, seperti tak diinginkan. Setiap marah, sang ibu mencubitnya dengan keras. Suatu hari, ia dituduh mencuri bros yang bahkan tak pernah dilihatnya, dan dicap sebagai “maling kecil keturunan sundal”.
Luka masa kecilnya menumpuk menjadi amarah. Ia menyalahkan ibunya yang tak hadir untuk menulis takdir hidup yang lebih baik. Namun, rasa amarah itu perlahan tergantikan dengan perasaan iba dan pedih yang menusuk, saat ia akhirnya mengetahui kenyataan yang selama ini disembunyikan.
Ternyata, ibu kandungnya adalah seorang anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)—organisasi perempuan terbesar ketiga di dunia pada zamannya, yang terkenal progresif dan berpengaruh di Indonesia.
Dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia: Politik Seksual Pascakejatuhan PKI, para perempuan Gerwani terlibat aktif dalam pengambilan keputusan politik, termasuk reformasi hukum perkawinan. Mereka juga melawan pornografi dan pelacuran eksploitatif, serta fokus pada pemberantasan buta huruf dan pernikahan dini dengan memberi pendidikan dan penyuluhan kepada perempuan.
Namun, pencapaian Gerwani sebagai gerakan perempuan sayangnya dihancurkan oleh rezim Orde Baru. Kedekatan mereka dengan PKI menjadikan Gerwani sasaran empuk. Mereka dicap liar dan cabul. Mereka juga yang menari telanjang sambil menyiksa para jenderal termasuk memutilasi alat kealim mereka. Saskia E. Wieringa dalam bukunya menulis, tuduhan-tuduhan terhadap Gerwani adalah fabrikasi belaka yang tidak pernah terbukti secara forensik.
Namun tuduhan ini sukses jadi justifikasi simbolik dan politik untuk melakukan kekerasan seksual terhadap para anggota Gerwani, termasuk pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan. Bahkan setelah peristiwa 30 September 1965, banyak anggota Gerwani yang dibunuh atau ditahan tanpa proses pengadilan.
Seksualitas dijadikan senjata oleh rezim Orde Baru untuk menghancurkan martabat perempuan-perempuan ini—bukan cuma menghancurkan tubuh, tetapi juga perjuangan yang telah mereka bangun.
Inilah yang persis terjadi pada ibu kandung karakter utama dalam cerpen Mengutuk Ibu. Sang ibu adalah anggota Gerwani yang kemudian ditangkap, mengalami kekerasan seksual hingga hamil dirinya. Karena merupakan anggota Gerwani, ibunya dicap oleh keluarga dan lingkungannya sebagai perempuan sundal yang tidak bermoral. Trauma generasional tak ayal jadi bagian yang tak dapat dilepaskan dari mereka anak dan cucu para korban, karena stigma sosial langgeng selamanya.
Baca Juga: Apa yang Sebenarnya Terjadi di 1965: 5 Buku Panduanmu
Terpenjara dalam Trauma
Stigma soal orang-orang partai merah dan simpatisannya semakin diperkuat dengan cara negara terus merawat propaganda PKI lewat produk seni. Salah satunya film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI yang masih ditayangkan hingga kini. Alhasil, para penyintas yang masih hidup tak bisa sepenuhnya merdeka.
Mereka tetap dikucilkan dan diputus kesempatannya untuk dapat penghidupan yang layak termasuk pekerjaan karena ada cap yang menempel di dahinya. Salah satu penyintas adalah Hersri Setiawan, mantan sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Setelah dibebaskan dari Pulau Buru, ia mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan ditolak saat hendak kembali mengajar karena status politiknya. Dalam bukunya Memoar Pulau Buru, Hersri menggambarkan bagaimana pengawasan intelijen, diskriminasi administratif, dan label sosial membuat hidupnya sama saja seperti tahanan di balik jeruji besi.
Banyak dari mereka pun harus hidup dalam ketakutan. Trauma diburu dan disiksa begitu oleh negara melekat pada ingatan mereka hingga ketika sudah dibebaskan sekalipun, mereka masih terpenjara dalam pikirannya sendiri.
Hal ini dialami berbagai tokoh dalam cerpen Dhianita. Mereka umumnya jadi tahanan politik (tapol) karena jadi anggota atau dianggap simpatisan PKI. Diasingkan ke Pulau Buru, Kepulauan Maluku, rehabilitasi Inrehab Plantungan di Jawa Tengah, dan penjara Salemba, Jakarta, para tapol harus hidup dalam kondisi tak layak dan menerima berbagai jenis kekerasan oleh para aparat selama interogasi dan penahanan. Patra, karakter utama dalam cerpen Meremukkan Piring adalah salah satunya.
Ia adalah tapol yang sudah bebas dari pengasingan, tetapi masih terjebak dalam trauma penyiksaan selama di sel tahanan. Ia teringat pernah dipukuli hingga hidung tak berhenti mengeluarkan darah. Darah itu mengalir seraya ia menyuap nasi aking yang dicampur beling. Kalau jatah makan menipis, ia harus menahan rasa lapar hingga jatah makanan tak layak itu kembali disajikan dan diperebutkan oleh para tahanan lain.
Kekerasan yang ia alami terus menerus selama di tahanan ini membuat otaknya seakan mati. Setibanya di rumah dan beraneka ragam makanan lezat bergizi tersedia untuknya. Anaknya, Widari yang hendak mengambil piring itu untuk mengambil nasi dan lauk pauk langsung dikagetkan dengan tindakan Patra. Patra berteriak dan mengangkat tangan sambil mencengkram piringnya. Ia nampaknya masih teringat harus berbagi sumber hidup satu-satunya di penjara kala itu dengan tahanan lain.
Baca Juga: 4 Fase Gerakan Perempuan di Indonesia dan Apa yang Bisa Kita Pelajari Darinya
Para Penjagal
Kita semua tahu pembunuhan adalah kejahatan luar biasa, sehingga layak dihukum pidana maksimal. Ada yang dipenjara puluhan tahun sampai seumur hidup atau dihukum mati. Namun bagaimana jika pembunuhan itu justru dibenarkan oleh negara dan kebanyakan masyarakat? Itulah yang terjadi selama pembantaian massal 1965-1996.
Masyarakat sipil termasuk para santri, membawa senjata tajam seperti parang atau golok untuk menebas kepala mereka yang diduga anggota atau simpatisan PKI. Dalam laporan Tempo Edisi Khusus Pengakuan Algojo 1965 – Oktober 2012, para penjagal ini tidak ragu-ragu membunuh bahkan tidak sedikit dari mereka bangga dengan tindakan mereka. Mereka sudah diliputi kebencian dan doktrin propaganda. Mochamad Samsi adalah salah satunya.
“Saya habisi saja nyawanya. Dan, betul saja, aksi saya itu membuang rasa canggung rekan-rekan saya. Saya teringat perkataan seorang ulama NU: ‘Tidak sah sebagai muslim jika tak mau menumpas orang-orang PKI’ atau ‘Haram hukumnya membunuh cicak jika belum membunuh orang-orang kafir ini,’” ucap Samsi.
Kebanggaan Samsi sebagai penjagal orang-orang PKI ini tergambar pula dalam salah satu cerpen Dhianita berjudul Memuaskan Lapar. Dhianita menggunakan sudut pandang Rani, seorang perempuan jurnalis yang sedang meliput pembantaian massal 1965-1996 dalam cerpennya itu.
Keputusannya ini bisa dibilang cukup berlian karena pembaca dapat dengan mudah merasakan kengerian dan mual saat mendengar pengakuan tokoh Tikno, penjagal yang dengan bangga menceritakan kisahnya membantai puluhan orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI.
Tikno layaknya para penjagal yang diwawancarai Tempo tak pernah merasa menyesal atas perbuatan mereka. Mereka begitu yakin agama membenarkan pembunuhan terhadap orang-orang PKI yang mereka anggap kafir ini. Rasa bangga semakin besar karena negara seakan mendorong mereka melakukan pembantaian itu. PKI itu kata mereka cuma bisa bikin kekacauan.
“Pak tani yang harusnya cuma memikirkan bagaimana agar hasil panennya bisa maksimal, disuruh berpolitik. Anak-anak muda yang kerja di pabrik disuruh agar melawan bosnya. Terus ada peristiwa besar itu di Jakarta,” tutur Tikno.
Sebagai bagian dari masyarakat yang punya tugas menjaga keamanan dan ketenangan desa, Tikno tentunya harus bertindak. Dan jika para ulama serta negara mengizinkan kenapa tidak dilakukan dengan cepat? Pembunuhan pun tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Ia seketika menjelma jadi ajang unjuk diri yang panen pujian dari para ulama dan penguasa.
Tikno sepenuhnya percaya setiap orang yang mereka bunuh benar-benar anggota atau simpatisan PKI. Padahal, ciri-ciri yang mereka yakini hanya berdasarkan serangkaian asumsi yang tidak masuk akal. Beberapa di antaranya bahkan terdengar absurd, seperti anggapan bahwa orang PKI pasti ateis, selalu mendebat para ustaz atau haji, atau mereka yang gemar berkumpul dan mendengarkan pidato presiden. Asumsi-asumsi ini menjadi patokan yang diyakini sebagai kebenaran, membuat para penjagal membabi buta dalam menghilangkan nyawa tanpa rasa ragu.
Ia boleh saja karakter fiksi, namun jadi cerminan dari para penjagal yang hingga hari ini masih meyakini bahwa tindakan mereka benar. Mereka yang dengan bangga menghilangkan nyawa manusia dan merusak kehidupan banyak orang justru hidup nyaman hingga tua. Mereka hidup jauh dari stigma sosial karena dianggap pahlawan semasa hidupnya, meski darah korban tak pernah surut dari sejarah.
Sebagai kumpulan cerpen, Rumah Dukkha berhasil mengangkat sejarah kelam yang jarang diangkat dalam dunia sastra Indonesia. Kepiawaian Dhianita dalam merangkai kata mampu menyentuh empati pembaca untuk lebih memahami pengalaman kekerasan yang dialami korban dan kondisi pasca trauma yang dialami penyintas pelanggaran HAM berat ini.
Cerpen-cerpen Dhianita membuka ruang diskusi yang lebih mendalam mengenai pemenuhan hak-hak bagi korban dan penyintas, termasuk hak untuk mendapat pengadilan yang adil dan rekonsiliasi.
