December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Saat Gelar Sarjanamu Tak Ada Artinya di Negara ini

Kian banyak anak muda yang bergelar sarjana, menganggur atau bekerja serabutan sebagai PRT, sopir, dan sejenisnya. Adakah yang bisa kita lakukan?

  • May 7, 2025
  • 5 min read
  • 2235 Views
Saat Gelar Sarjanamu Tak Ada Artinya di Negara ini

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka belum lama ini meluncurkan video yang isinya mengajak anak muda Indonesia untuk berani mengambil tantangan dan memanfaatkan peluang. Terlebih karena kita tengah menyongsong era bonus demografi 2030-2045. Sayangnya, anak Jokowi itu tidak merinci caranya.

Padahal, generasi muda (17-24 tahun) sekarang memang memiliki tantangan berbeda dan unik dibanding generasi terdahulu. Ulrich Beck, sosiolog asal Jerman menggambarkan kondisi ini sebagai bentuk “destandardisasi” yaitu ketika resep-resep yang mengantarkan seseorang pada kesuksesan (sekolah, bekerja, menikah) di era sebelumnya tidak lagi bekerja di masa kini.

Artinya, kaum muda saat ini hidup di era modern dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil serta perubahan sosial dan budaya di masyarakat membuat yang penuh dengan ketidakpastian. Tantangan yang dihadapi tak main-main: ketiadaan pekerjaan, faktor orang dalam, ‘career mismatch’ hingga ketiadaan jaminan atas hidup yang layak.

Baca Juga: Gibran dan ‘Jumbo’: Pujian Manis, Arah Kebijakan Pahit

Gelar Tak Menjamin Pekerjaan

Dalam hal pendidikan, kelompok muda di Indonesia memiliki angka partisipasi pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Namun, gelar pendidikan tidak lantas menjamin mereka sukses di pasar kerja.

Data nasional menunjukkan bahwa angka pengangguran di kelompok usia kerja 17-24 tahun tetap tinggi, 17,32 persen dibandingkan 4,91 persen rata-rata nasional. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam.

Ironisnya, pengangguran didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), mereka yang disiapkan untuk terjun ke lapangan kerja tanpa harus menempuh pendidikan tinggi.

Selain itu, ada lebih banyak kelompok perempuan yang menganggur dibandingkan laki-laki, meskipun mereka memiliki partisipasi dan performa pendidikan yang lebih baik dibandingkan laki-laki.

Ini berarti, kelompok muda tidak bisa bergantung hanya pada gelarnya saja untuk mendapatkan pekerjaan.

Baca Juga: Bisakah Kita Memakzulkan Wapres Gibran?

Efek ‘Ordal’

Survei Angkatan Kerja Nasional (Susenas) menemukan, 9 dari 10 pencari kerja menggunakan jalur orang dalam (ordal) untuk mendapatkan pekerjaan.

Temuan ini mengindikasikan siapa yang kita tahu lebih penting dari apa yang kita tahu (who we know matters more than what we know). Hal ini sejalan dengan riset-riset politik dinasti yang menunjukkan bahwa ikatan kekerabatan dan kekeluargaan memainkan peran penting dalam karier politik seseorang.

Nyatanya ini tidak saja terjadi di politik, tapi juga kehidupan profesional lainnya.

Dalam ilmu sosiologi, ordal termasuk dalam social capital (modal sosial). Social capital bukan sekadar menggambarkan berapa banyak ikatan sosial yang kita punya melainkan juga siapa yang kita kenal (seberapa penting mereka?).

Sebagai sumber daya, ordal tidak terdistribusi secara merata, dan individu perlu berkompetisi untuk mendapatkannya. Kondisi ini membuat generasi muda yang pengalaman profesionalnya relatif terbatas menjadi lebih sulit mendapatkan pekerjaan lepas dari gelar pendidikan yang mereka miliki, terutama mereka yang berasal dari kelompok terpinggirkan.

Baca Juga: Kerap Dinomorduakan, Karier Perempuan Minim Harapan

‘Career Mismatch’ Berpotensi Perparah Situasi

Banyak pekerja muda juga mengalami career mismatch—kondisi ketika pekerjaan berbeda dengan pendidikan.

Ketidaksesuaian bisa terjadi secara horizontal semisal pekerja memiliki level pendidikan yang lebih tinggi (overeducation) atau rendah (undereducation) dibandingkan yang dibutuhkan, maupun ketika bekerja tidak sesuai bidang.

Meskipun career match (kecocokan pekerjaan dan pendidikan) baik secara level maupun bidang tidak melulu menggambarkan kesuksesan karier dan menjamin kondisi kerja yang layak, career mismatch menempatkan individu semakin rentan terhadap praktik buruk di pasar kerja.

Hal ini terjadi karena lemahnya posisi pekerja di pasar kerja dan masih terbatasnya pengalaman kerja mereka untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak.

Baca Juga: 4 Topik Penting dalam ‘M3gan’: dari Isu Parenting sampai Perempuan Pekerja yang Bahaya

Pekerjaan Enggak Menjamin Hidup Layak

Tidak hanya sulit mencari kerja, generasi muda juga mengalami kesulitan untuk bertahan di dunia kerja. Mereka yang memiliki pekerjaan belum tentu memiliki pekerjaan yang layak. Perubahan struktur ekonomi–makin besarnya peran pasar dan minimnya dukungan regulasi–menjebak banyak kelompok muda menjadi kelompok prekariat (bekerja dengan kondisi pekerjaan yang tidak aman seperti upah di bawah standar, ketidakjelasan kontrak, dan minimnya jaminan sosial).

Meskipun pekerja muda di Indonesia sudah lama merasakan kondisi kerja yang tidak layak, prekariat makin umum dan ternormalisasi beriringan dengan tumbuhnya ekonomi gig.

Pekerja, dalam model ekonomi ini, cenderung dianggap sebagai kontraktor yang hanya bekerja sesuai pesanan. Model pekerjaan ini rentan menjebak pekerjanya, yang mayoritas pekerja muda, pada praktik-praktik eksploitatif seperti bekerja penuh waktu dengan gaji di bawah standar tanpa jaminan sosial yang memadai.

Di Indonesia, praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin umum setelah Covid-19. Pada 2022, ada sekurangnya 15 perusahaan rintisan (start-up) yang melakukan PHK.

Omnibus Law yang sejak awal dikritik juga cenderung menormalisasi praktik-praktik yang tidak berpihak pada pekerja seperti PHK dan upah murah.

Saatnya Anak Muda Menuntut Balik

Meskipun menghadapi kondisi transisi yang menantang, generasi muda di Indonesia masih aspirasional tentang masa depannya. Riset menunjukkan bahwa kelompok muda punya harapan untuk mendapatkan gelar pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang layak.

Sayangnya, aspirasi tidak bisa terwujud tanpa dukungan yang berpihak pada kelompok muda. Gelar pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya belum cukup untuk membantu generasi muda memperoleh kehidupan yang layak.

Maka sudah saatnya saatnya generasi muda untuk menuntut balik, apa yang pemerintah lakukan untuk membantu mereka mewujudkan aspirasi mereka? Mungkin Gibran bisa menjelaskan ini di video selanjutnya.

Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of Melbourne.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

About Author

Senza Arsendy