Gibran dan ‘Jumbo’: Pujian Manis, Arah Kebijakan Pahit
Wapres Gibran Rakabuming memuji animasi "Jumbo" sambil mengampanyekan AI adalah sebuah kontradiksi yang terlalu kentara untuk dilewatkan begitu saja.

“Karena kita generasi muda bukan sekadar bonus. Kita adalah jawaban atas tantangan masa depan.”
Begitu bunyi monolog Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam video yang diunggah pada 19 April 2025. Ucapan bernada heroik ini terdengar manis di telinga, tapi tidak selalu selaras dengan arah kebijakan yang ia dan pemerintah tempuh.
Dalam video berdurasi enam menit lebih sedikit itu, Gibran mengangkat isu “bonus demografi”, menyebut sejumlah pencapaian anak muda termasuk animasi Jumbo yang sukses besar secara nasional maupun internasional.
Baca juga: Ini yang Dikritik Seniman Soal AI Generatif
Namun di balik pujian itu, muncul ironi: Gibran memanfaatkan momen kejayaan film lokal ini untuk mengampanyekan AI generatif, teknologi yang justru berpotensi mengancam ekosistem industri kreatif.
Jumbo, karya Ryan Adriandhy, berhasil mencatat lebih dari 5,4 juta penonton hingga 20 April 2025. Digarap selama lima tahun dan melibatkan 420 insan kreatif lokal, film ini menyabet gelar animasi terlaris di Asia Tenggara, melampaui Mechamato Movie (2022) dengan proyeksi pendapatan US$8 juta.
Gibran tak melewatkan kesempatan untuk ikut bersinar. Ia menyebut Jumbo sebagai bukti potensi generasi muda, dan lalu langsung menggeser pembahasan ke soal AI sebagai kunci menjawab tantangan global.
“AI itu bukan ancaman. AI itu alat bantu. Manusia yang tidak pakai AI akan kalah dengan manusia yang pakai AI,” ujarnya.
Klise? Bisa jadi. Tapi juga kontradiktif, terutama jika melihat dampaknya terhadap para pelaku industri kreatif.
Baca juga: Kenapa Sudah Saatnya Kita Berhenti Ikut Tren AI Ghibli
Antara AI generatif dan ketidakpahaman akan kreativitas
Kampanye Prabowo-Gibran sejak awal memang gandrung dengan AI. Kita tentu ingat fotober2.ai, platform yang memungkinkan rakyat “berfoto” dengan dua kandidat itu. Atau iklan Program Makan Bergizi Gratis yang kontroversial karena menampilkan anak-anak hasil rekayasa AI. Sudah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), tapi tentu saja sunyi konfirmasi.

Setelah resmi menjabat, Gibran langsung tancap gas. Dalam rapat koordinasi pendidikan nasional, ia menyarankan kurikulum AI untuk sekolah dasar dan menengah. Kementrian Komunikasi Digital (Kemenkodigi) pun langsung menyambut. Iklan-iklan pun mulai bermunculan, penuh visualisasi AI untuk program-program unggulan. Salah satunya? Animasi berbasis AI sepenuhnya.
Dan di sinilah letak kontradiksinya. Di satu sisi, Gibran memuji karya manusia seperti Jumbo. Di sisi lain, pemerintahnya justru sibuk memproduksi konten kreatif berbasis AI yang bisa mengancam kelangsungan profesi kreatif itu sendiri.

Baca juga: Oscars 2025: Kemenangan ‘The Brutalist’ dan Kontroversi Film-film yang Pakai AI
Fenomena animasi berbasis AI: Produktivitas vs. Etika
“Teknologi bakal terus berkembang. Kalau film animasinya full dibuat sama AI, menurut gue sih itu cuma lu ga berani kreatif aja.”
Sang kreator Jumbo sendiri, Ryan Adriandhy, sudah menyuarakan keresahannya. Dalam wawancara dengan kreator konten Medy Renaldy, Ryan menyentil penggunaan AI yang sepenuhnya menggantikan proses kreatif
“Kalau film animasinya full dibuat sama AI, menurut gue, sih, itu cuma lu gak berani kreatif aja,” ujarnya.
Ryan mengaku tidak anti AI. Tapi baginya, AI adalah asisten, bukan pengganti. AI bisa membantu mengeksplorasi ide, mencari referensi, dan menyusun konsep. Tapi inti dari karya—nilai, rasa, refleksi—tetap milik manusia. Dan ketika negara justru memproduksi animasi dengan AI generatif tanpa menyentuh nilai-nilai ini, maka itu bukan kemajuan. Itu kemunduran.
Faktanya, pemanfaatan AI yang dianggap membantu tersebut acapkali masih mengaburkan batas hasil karya para pekerja seni dan masyarakat awam. Kondisi ini digarisbawahi dalam penelitian Hye-Kung Lee pada April 2022, dengan tajuk “Rethinking creativity: creative industries, AI and everyday creativity.” Publikasi ini juga menjelaskan bahwa diskusi seputar AI dan kreativitas sering kali melupakan aspek tenaga kerja. Apa yang membedakan karya otentik manusia dengan instruksi data yang direkam oleh mesin, serta bagaimana kita dapat melindungi nasib para pekerja kreatif di tengah perubahan ini.
Studi lainnya dari Nantheera Anantrasirichai dan David Bull turut mempertegas bahwa AI merupakan teknologi yang terlihat pintar, AI terlihat pintar, tapi ia tak punya kesadaran. Maka, penggunaan AI harus selalu disertai etika, agar paham soal bias, implikasi sosial, dan dampak terhadap lapangan kerja.
Sayangnya, negara ini belum sampai ke sana. Pemerintah terlalu asyik menjadi cheerleader teknologi, tapi lupa jadi pelindung seniman.
Teknologi bisa diadopsi. Tapi tidak dengan membabat profesi yang selama ini menopang nilai budaya dan ekonomi bangsa. Negara harus jadi pengarah, bukan pelaku yang justru ikut “mengusir” pekerja kreatif dari ruang kerjanya sendiri.
Jika pemerintah serius memanfaatkan AI secara adil, maka ia harus menyusun regulasi perlindungan pekerja kreatif, membuat sistem kompensasi untuk karya yang terdampak otomatisasi, serta menjamin bahwa teknologi dipakai untuk memperkuat—bukan menggantikan—kontribusi manusia.
Karya seni bukan hanya produk visual. Ia adalah jejak manusia yang penuh nilai, konteks, dan cerita. Memproduksi konten dengan AI tanpa empati pada prosesnya adalah bentuk ketidaktahuan yang paling terang-benderang.
Mickhael Rajagukguk bekerja sebagai Research and Advocacy Communication Specialist di salah satu LSM yang berfokus pada isu lingkungan dan transisi energi. Ia sangat menggemari isu-isu yang berkaitan dengan politik, media, pendidikan, dan kebijakan.
