
Lagu viral “Stecu Stecu” karya Faris Adam telah ditonton lebih dari 200.000 kali di YouTube. Di balik melodinya yang mudah dicerna dan liriknya yang catchy, lagu ini menarik disimak untuk menyoroti bagaimana budaya popular menggambarkan dinamika hubungan dan persepsi tentang cinta.
Liriknya menggambarkan laki-laki yang tertarik pada perempuan yang bersikap stecu alias setelan cuek. Di awal lagu, perempuan digambarkan sebagai sosok misterius yang memikat, sampai-sampai senyumnya “membuat mabuk” dan menghantui mimpi. Tapi, bukannya merayakan sikap perempuan sebagai bentuk kebebasan berekspresi, lagu ini menampilkan sikap cuek itu sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Ini memperkuat pola lama: perempuan sebagai sosok pasif yang eksistensinya direduksi jadi pemuas fantasi laki-laki.
Baca juga: Manipulasi dan ‘Gaslight’ dalam ‘All Too Well’, Taylor Swift adalah Kita
Lirik berikutnya memperlihatkan pergeseran, dari pujian ke desakan. Laki-laki meminta kepastian, bahkan melontarkan ancaman halus bahwa perempuan bisa membuatnya malu jika terus bersikap dingin. Di sini, ada nada pemaksaan emosional yang halus namun jelas. Permintaan “jujur dong kalau suka” terdengar manis, tapi lebih terasa sebagai dorongan agar perempuan merespons sesuai harapan laki-laki, bukan karena keinginannya sendiri.
Sikap stecu perempuan, yang seharusnya dibaca sebagai bentuk sikap bebas, justru disulap menjadi bagian dari permainan tarik-ulur. Lagu ini seolah ingin menyampaikan bahwa perempuan tidak benar-benar menolak, hanya sedang “jual mahal”. Pada bagian reffrain, frasa “Adu ade ini mau juga abang yang rayu” mengulang mitos bahwa perempuan ingin dikejar dan dirayu, meski mulutnya berkata sebaliknya. Narasi ini sudah sangat sering kita dengar, dan kerap kali berbahaya jika diterapkan dalam kehidupan nyata.
Lirik penutup menunjukkan si perempuan akhirnya berbicara, namun dengan kalimat, “Jual mahal dikit, kan, bisa.” Ini mencerminkan dilema yang sering dihadapi perempuan: antara menjaga harga diri dan dianggap terlalu mudah. Istilah “jual mahal” sendiri menyiratkan bahwa perempuan adalah semacam barang yang nilainya tergantung seberapa lama ia menahan diri sebelum “menerima” perhatian. Ini membuat perempuan tetap terjebak dalam peran sebagai objek penilaian, bukan individu utuh yang punya kendali atas dirinya sendiri.
Baca juga: 5 Lagu Indonesia yang Biner dan Heteronormatif
Hubungan yang membebaskan lahir dari kesetaraan
Kenyataannya, sejak kecil banyak perempuan sudah terbiasa dinilai berdasarkan penampilan dan sikap. Bahkan ketika jatuh cinta, sering kali perempuan tidak benar-benar merasa bebas. Mereka bisa saja merasa sedang memilih, padahal hanya merespons karena merasa diinginkan. Cinta pun jadi perangkap yang membentuk dan mengukuhkan posisi tidak setara dalam hubungan.
Tapi jangan salah, tekanan ini bukan hanya dirasakan perempuan. Laki-laki pun dibentuk oleh ekspektasi yang kaku. Mereka diajarkan untuk selalu menjadi pihak yang mengejar, aktif, dan tidak boleh menunjukkan kelemahan. Dalam lagu ini, si laki-laki terlihat terobsesi bukan semata karena cinta, tapi juga karena tekanan untuk “menaklukkan”. Seolah-olah keberhasilannya mendekati perempuan menjadi bukti kejantanan.
Budaya populer sering menampilkan cerita cinta seperti ini. Padahal, cinta yang sehat seharusnya bukan soal menang atau kalah, bukan tentang siapa yang lebih dominan, tapi soal dua orang yang saling menghargai dan berkomunikasi secara setara.
Kita semua bisa belajar dari lagu ini—bukan dengan menelan mentah-mentah pesan di dalamnya, tapi dengan merenung dan bertanya: apakah hubungan yang kita jalani benar-benar memberi ruang bagi kejujuran dan kebebasan? Apakah perempuan diberi ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa harus “bermain peran”? Apakah laki-laki merasa aman untuk menunjukkan perasaan tanpa takut dianggap lemah?
Baca juga: Penggambaran Bunga dalam Lirik Lagu Indonesia
Bagi laki-laki, pembebasan terletak pada efféminage—konsep yang digagas filsuf François Poullain de la Barre untuk mendekonstruksi dikotomi maskulin-feminin. Laki-laki perlu dilepaskan dari kewajiban menampilkan performa maskulin toksik, seperti menolak kepekaan atau empati. Dengan merangkul sisi feminin (seperti kemampuan merawat atau mengungkap kerapuhan), laki-laki dapat menjadi manusia utuh tanpa terkurung dalam stereotip yang membatasi.
Kebebasan dalam hubungan berarti keduanya bisa menjadi diri sendiri. Perempuan bisa percaya diri tanpa merasa harus jaga-jaga agar tidak “terlalu agresif”. Laki-laki bisa lembut dan jujur tanpa takut kehilangan harga diri. Keduanya bisa bertemu sebagai mitra sejajar—bukan sebagai pemburu dan buruan.
Mungkin cinta yang membebaskan terdengar seperti utopia. Tapi bukankah semua relasi dimulai dari imajinasi? Lagu “Stecu Stecu” membuka ruang untuk memulai percakapan itu. Dan siapa tahu, dari percakapan-percakapan kecil, kita bisa menciptakan pola hubungan yang lebih sehat dan manusiawi.
