December 5, 2025
Gender & Sexuality Issues People We Love

Rianto Manali: Maestro Tari Lengger yang Gugat Makna Banci 

Di tengah tren energi feminin vs maskulin, Rianto menggabungkan keduanya lewat lengger lanang. Sebuah tarian yang menembus batasan gender dan merayakan kebebasan tubuh.

  • July 17, 2025
  • 5 min read
  • 6693 Views
Rianto Manali: Maestro Tari Lengger yang Gugat Makna Banci 

“Anto banci! Anto banci!”  

Perundungan anak-anak di kampungnya itu masih terngiang dalam ingatan Rianto, 43. Padahal yang ia lakukan kala itu hanyalah menari mengikuti irama musik. Pengalaman inilah yang dihidupkan kembali dalam film Kucumbu Tubuh Indahku (2018). Di film ini, sosok Anto diwakili oleh karakter Juno. 

Lewat Juno, saya bisa menyelami perjalanan hidup kecil Rianto di Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah. Saya membayangkan tubuh mungilnya memikul beban hidup yang mestinya tak perlu ia tanggung, termasuk penghakiman orang-orang.  

Kepada Magdalene (10/7), Rianto bercerita, “Waktu saya SD, saya senang nari-nari gitu di jalan. Setiap pagi, tetangga saya nyetel radio wayangan, saya berhenti dulu joget-joget sebelum berangkat sekolah.” 

Meski penuh penolakan, Rianto memilih terus menari. Dari panggung 17-an hingga pentas di Jakarta, ia tetap tampil. Tarian menjadi tempatnya merasa bebas dan kelak, cara ia menghidupi diri. 

“Ketika orang melihat saya menari, mereka tutup mulut. Artinya, ketika orang punya pandangan yang tidak baik, lalu kita menunjukkan dengan hal yang positif, orang itu akan diam,” katanya. 

Baca Juga: Saya Ngobrol dengan Musisi Jati Andito tentang Makna Jadi Pekerja in This Economy 

Menari di Luar Batas-batas Gender 

Bayangkan laki-laki berdiri di panggung, tubuhnya bergerak lembut tapi tegas, menari dengan gerakan yang penuh makna. Setiap alunan tubuhnya membawa pesan yang tak bisa disampaikan lewat kata-kata atau tulisan. 

Itulah Rianto hari ini: Maestro tari lengger yang membawa tubuhnya sebagai arsip hidup akan cinta, luka, dan pencarian identitas. Tak lagi tampil di panggung kecil kampungnya, kini ia menari di panggung-panggung internasional, memperkenalkan Lengger Lanang ke dunia. 

Rianto Manali, maestro tari lengger asal Indonesia yang saat ini berdomisili di Tokyo (Foto oleh dokumentasi pribadi Rianto)

Bagi Rianto, lengger bukan sekadar tradisi. Ia adalah medium untuk menemukan dan merayakan keberadaan diri. Tubuhnya adalah ruang yang bebas dari sekat-sekat gender. Sebab, bagi Rianto, laki-laki dan perempuan hanyalah kode sosial yang diciptakan manusia untuk memberi label. 

“Spiritual tubuh saya adalah no gender, tapi visualisasinya ataupun orang memandangnya bahwa tubuh ini adalah laki-laki.” 

“Tidak mengkodekan tubuh saya, artinya saya mencoba mendamaikan antara feminin dan maskulin di dalam tubuh saya,” lanjutnya. 

Tari lengger menjadi bentuk perlawanan terhadap norma sosial yang kaku. Ia meretas batas, memperlihatkan bahwa maskulinitas dan femininitas bukanlah kutub bertentangan, melainkan bisa hadir bersamaan dalam satu tubuh. 

Rianto menyebut kelenggeran dalam tubuhnya sebagai warisan leluhur yang harus dijaga dan dihormati. Semuanya bermula ketika sang ibu membawanya ke ruang rias penari lengger untuk didoakan dan diberkati. Ia lalu diberi boreh, alas bedak khas penari lengger. Momen itu terasa sakral karena ia merasa mengikat dirinya dengan para leluhur. 

Baca Juga: Anak Laki-Laki Menari, Warganet Panik: Apa yang Sebenarnya Kita Takuti

Bercerita lewat Karya Medium 

Perjalanan Rianto dalam memaknai tubuhnya tercermin dalam salah satu karyanya, Medium. Mengutip Indonesia Karya, karya ini menggambarkan perjalanan panjang Rianto untuk menemukan bahasa manusia yang tanpa tanda, bahasa yang melebur, dan menjadi manusia yang utuh. Medium sendiri merupakan ungkapan universal tentang kebebasan tubuh, esensi dari proses pencarian itu.  

Menghabiskan waktu enam tahun untuk proses kreatif dan tur keliling dunia, Medium telah dipentaskan 60 kali. Karya yang kali pertama dipentaskan pada 2016 ini lahir dari perjalanan enam tahun. Tiga tahun pertama ia gunakan untuk riset, observasi, latihan, hingga residensi. Setelahnya, barulah Medium ia pentaskan ke panggung dunia.  

“Sebenarnya yang saya rasakan, tubuh ini selalu hadir dalam sebuah kejujuran, dalam panggung maupun dalam kehidupan sehari-hari.” 

Lebih dari sekadar pertunjukan, Medium adalah ekspresi dari kejujuran itu. Setiap gerakan dalam karya ini menyampaikan pesan mendalam tentang keberanian diri untuk lepas dari batasan norma yang mengikat.  

Rianto lewat Medium mengajak kita untuk bertanya, “sudahkah kita merdeka atas tubuh dan pikiran kita sekarang?” 

Baca Juga: Rully Malay dan Warisan Perjuangan Transpuan Yogyakarta 

Merawat Lengger untuk Abadi 

Rianto menari bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi kehidupan. Lebih dari medium seni, baginya tubuh merupakan ruang yang memiliki peran sosial penting. Dengan pemikiran itu, ia membangun ruang kolektif di Indonesia dan Jepang untuk menghidupkan semangat lengger.  

Bersama istrinya, Rianto mendirikan Dewandaru Dance Company, tempat untuk memperkenalkan tari Jawa dan lengger kepada masyarakat Jepang. Di tengah kehidupan yang penuh tekanan dan mobilitas tinggi, Rianto percaya, tarian bisa menjadi oase yang melepaskan stres.  

Sementara di Banyumas, Rianto membangun Yayasan Rumah Lengger, pusat arsip dan dokumentasi budaya. Sepeninggal maestro lengger lanang Mbok Dariah yang wafat 2018 silam, Rianto terpanggil untuk merawat ingatan kolektif tentang lengger. Tak hanya menyimpan jejak-jejak lengger, yayasan ini menyimpan arsip barongsai, kuda lumping, ketoprak, dan banyak lainnya.  

Bagi Rianto, regenerasi lengger adalah kunci. Ia bahkan membayangkan 30-50 tahun mendatang, ketika dunia hidup dalam mode metaverse. Ia mulai mengeksplorasi teknologi body motion agar tubuhnya tetap bisa menjadi media belajar bagi generasi mendatang.  

“Saya ingin lengger tetap bertahan sampai di zaman itu tanpa adanya tubuh Rianto.”  

Namun, di balik jerih payah Rianto, dukungan dari pemerintah masih minim. Ketika ia mencoba meminta dukungan dari dinas terkait, jawabannya selalu sama: “Itu bukan program mereka.” 

Mengutip Berita Unsoed, dukungan yang diberikan hanya sebatas dana untuk pentas, yang setelah diberikan langsung dipotong pajak. Akibatnya, seniman menjadi korban dan tidak mendapat kesejahteraan.  

Bahkan dalam program Dana Indonesiana 2025 senilai Rp465 miliar yang dikelola oleh Kementerian Kebudayaan, cuma sebagian kecil seniman tradisional yang bisa mengaksesnya. Terlebih karena prosedur birokratis dan syarat administrasi yang menyulitkan, apalagi bagi seniman yang hidup di luar pusat kota atau tidak punya jaringan institusional yang kuat. 

Dalam konteks ini, Rianto dan seniman tradisi lainnya tidak hanya menghadapi tantangan artistik dan sosial, tetapi juga struktural. Mereka bekerja dalam sistem yang belum sepenuhnya mengakui kerja seni sebagai kerja budaya yang layak didukung dan dihargai.  

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.