Anak Laki-laki Menari, Warganet Panik: Apa yang Sebenarnya Kita Takuti?

Nunung, kepala sekolah sebuah sekolah dasar (SD) di Karawang, tergopoh-gopoh mendatangani Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Karawang. Ia dipanggil karena sebuah video perpisahan dari sekolah yang dipimpinnya itu baru-baru ini viral dan memancing reaksi warganet. Isinya memperlihatkan seorang anak laki-laki menari dengan luwes dan ekspresif sebagai figur utama. Alih-alih mendapat pujian, anak itu justru menjadi sasaran komentar negatif, dari mulai “banci”, “nggak laki”, sampai menyalahkan guru dan sekolah.
Nunung menjelaskan bahwa anak tersebut memang berprestasi dan menyukai dunia tari. “Orang tuanya sangat mendukung, mereka bilang anaknya memang lincah dan senang menari,” ujar Nunung kepada akun Instagram @halokrw.



di akun instagram @jakarta keras dan @Halokrw.
Sayangnya, kasus ini bukan yang pertama. Stigma terhadap anak laki-laki yang menari mencerminkan ketakutan budaya terhadap penyimpangan dari norma gender tradisional. Bahkan, menurut data dari perusahaan big data Indonesia Indicator (2024), terdapat lebih dari 24.000 unggahan yang mengandung kekerasan digital terhadap anak di media sosial, dengan jutaan komentar yang menguatkan praktik perundungan.
Baca Juga : Makanan dan Stereotip Gender: Apa Salahnya Laki-laki Tak Minum Kopi?
Mengapa anak laki-kaki yang menari dianggap ‘tidak maskulin’?
Penelitian Hinhin Agung Daryana dari Universitas Padjadjaran (2024) menunjukkan masih banyak masyarakat yang gagal membedakan antara jenis kelamin biologis dan gender sebagai konstruksi sosial. Dalam konteks ini, anak laki-laki yang menari dianggap “tidak sesuai peran gender”-nya.
Agung menyebut bahwa banyak anak laki-laki yang tidak bisa mengekspresikan dirinya karena takut dicap dan distigma. “Budaya patriarki membuat mereka harus menekan ekspresi gendernya. Tari, sebagai bentuk seni tubuh, menjadi korban dari cara pandang sempit terhadap maskulinitas.”
Bathara Saverigadi, penari profesional dan peraih medali emas Dancesport Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024, pernah mengalami stigma serupa saat masih duduk di bangku SD. “Waktu kecil, teman-teman merasa aneh. Tapi saya percaya setiap anak, termasuk laki-laki, berhak menari. Apa pun bentuk tariannya, bisa jadi sarana anak mengenal tubuh dan rasa percaya dirinya.,” ujarnya.
Bathara menyebut bahwa dukungan lingkungan sangat menentukan perkembangan bakat. “Saya mulai merasa didukung saat SMP dan SMA. Saya jadi kebanggaan sekolah, bukan hanya karena bisa menari, tapi karena karya saya dihargai dan saya diapresiasi sebagai pelaku seni termasuk seni tradisi,” katanya.
Sementara itu, Sansa, seorang penari yang telah menekuni tari waacking selama enam tahun, mengungkapkan bahwa jenis tari yang dianggap lebih ‘feminin’ seperti waacking membuat ia rentan dicemooh. Tarian ini adalah jenis gaya tarian jalanan dengan gerak lengan dramatis, posing, dan improvisasi.
“Komentarnya selalu, ‘kok kamu nge-dance-nya feminin?’ Tapi saya memilih cuek. Mereka yang paham tari pasti mengapresiasi effort dan skill-nya,” ujar Sansa.

Sumber: Dominican University.
Baca Juga : ‘Femvertising’: Usaha Hapus Stereotip Gender dalam Iklan
Seni tari untuk percaya diri dan budaya
Penelitian dari Dhara Atika dan Desyandri (Universitas Negeri Padang, 2019) menunjukkan bahwa seni tari dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa laki-laki di sekolah dasar. Selain itu, mereka juga belajar nilai-nilai budaya. Artinya, tari bukan hanya ranah perempuan, melainkan milik siapa saja yang ingin mengekspresikan diri.
Sansa memberi contoh tentang Miyu Ananthanaya Pranoto, penari muda yang telah menembus ajang internasional. “Orang yang mengerti dunia tari enggak mempermasalahkan gerakannya, justru mengapresiasi. Mereka lihat usaha dan dedikasi, bukan gender,” katanya.
Sansa menambahkan selama ini sebagian masyarakat tidak bisa menerima anak laki-laki menari disebabkan ketidaktahuan tentang tari itu sendiri. Dia menggarisbawahi bahwa menari itu tidak mudah karena memerlukan fleksibilitas, keseimbangan, power, dan juga kreativitas.
Baca Juga : Meretas Maskulinitas: Peran Laki-laki Menuju Ekofeminisme
Bathara menyadari bahwa masyarakat baru bisa menerima ketika ada prestasi. “Prestasi bisa membuka mata. Tapi seharusnya, hak untuk menari tidak perlu pembuktian. Ini soal hak berekspresi, bukan soal siapa yang lebih pantas,” ujarnya.
Bagi Bathara, tari adalah ruang koneksi dengan budaya, cerita, dan diri sendiri. Ia berharap masyarakat ke depan tidak lagi membatasi gerak anak laki-laki hanya karena norma maskulinitas yang sempit.
