Apa Arti Kematian Tak Wajar Diplomat Kemlu bagi Gen Z?
*Peringatan pemicu: Mengandung cerita tentang kekerasan dan pembunuhan.
“Kapan terakhir kali kamu dengar ada kematian tidak wajar?”
Pertanyaan itu dilontarkan oleh senior saya di kantor.
Saya termangu. Berusaha mengingat, tapi tak satu pun kejadian yang terlintas di kepala.
“Hampir enggak pernah, kan?” katanya, menanggapi lamunan saya.
Waktu itu kami sedang membicarakan kasus kematian misterius diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) berinisal ADP, yang ditemukan tak bernyawa di kosnya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, (8/7). Wajahnya terlilit lakban, tubuhnya diselimuti, dan ia terbaring di atas kasur.
Kondisi jasad yang mencurigakan, serta informasi yang beredar kalau ADP tengah menangani kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), membuat publik berasumsi pekerjaan ADP berkaitan dengan kematiannya.
Bagi senior saya–seorang Generasi Milenial–yang tumbuh besar di masa transisi Orde Baru (Orba) ke Reformasi, situasi ini terasa seperti dejavu. Ia masih ingat bagaimana kabar tentang kematian-kematian penuh tanda tanya dulu begitu akrab di surat kabar.
Sementara bagi saya, seorang Gen Z yang lahir dan besar di era pasca-Reformasi, ini menjadi pengalaman pertama menyaksikan berita kematian janggal bermunculan begitu sering. Bukan hanya kasus ADP, tahun lalu, wartawan dan keluarganya tewas dibakar di rumahnya di Karo, Sumatera Utara. Kuat dugaan, insiden itu berkaitan dengan pemberitaan soal praktik perjudian ilegal yang ia tulis.
Pada 2022 silam, pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Semarang yang menjadi saksi kasus korupsi ditemukan tewas dengan tubuh terbakar. Sampai saat ini, kematian tersebut belum terungkap siapa pelakunya.
Sebagai Gen Z yang cukup melek politik, saya tumbuh dengan membaca literatur sejarah tentang kasus-kasus kematian tidak wajar yang ‘wajar’ terjadi di era Orba. Dari mulai penembak misterius (Petrus), kematian Marsinah, sampai Munir yang kasusnya masih buram.
Kini, sebagai Gen Z yang tidak pernah merasakan berada di rezim Orba, ketika membaca kabar-kabar hari ini, saya merasakan atmosfer yang sama. Seperti halnya saat membaca lembaran sejarah masa lalu: Saya merasa ngeri. Bukan hanya pada kekerasannya, tapi karena keheningan setelahnya. Tidak ada kejelasan. Tidak ada penjelasan.
Kasus ADP misalnya, setelah seminggu berselang, polisi tak kunjung mengungkap penyebab kematian diplomat itu. Padahal melansir Kompas.com, Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menyebut, kasus ini tergolong mudah untuk diungkap. Ia menduga, lamanya pengungkapan kasus akibat dari kebingungan polisi.
“Sudah tiga kali diacak-acak di TKP sekecil itu. Jadi apa lagi? Jangan-jangan ini semacam kebingungan Polri saat mereka mengumumkan jika misalnya yang ditemui adalah sesuatu hasil yang tidak menyenangkan,” ungkap dia kepada Kompas.com.
Situasi ini membuat saya bertanya-tanya: Apakah ada hal lain di balik semua ini? Apakah Adrianus benar? Apakah ada keengganan mengungkap kebenaran?
Saya tak bisa menepis pikiran-pikiran itu, mengingat bagaimana sejarah bisa terulang. Namun, salahkah saya kalau menaruh curiga kepada negara?
Baca Juga: ‘Comfort Food’ Gen Z: Kenapa Kita Menemukan Harapan dalam Semangkuk Mi Ayam?
Generasi Kami Mewarisi Trauma
Orde Baru yang saya kenal bukanlah masa kejayaan pembangunan seperti yang sering digembar-gemborkan. Namun era ketika kekerasan dijadikan alat politik untuk menundukkan rakyat. Negara tak segan menyingkirkan siapa pun yang dianggap mengganggu stabilitas, baik itu lawan politik, aktivis, maupun rakyat biasa yang dilabeli ‘pembangkang’.
Salah satu kekerasan negara yang paling berbekas adalah penembakan misterius alias Petrus. Mayat-mayat para tertuduh preman ditemukan di jalanan. Mereka dihabisi tanpa proses hukum, seolah nyawa bisa dicabut semena-mena.
Kekerasan juga menyasar mereka yang memperjuangkan keadilan. Aktivis buruh Marsinah ditemukan tewas mengenaskan setelah menuntut hak pekerja. Ita Martadinata, perempuan Tionghoa, kehilangan nyawanya tepat sebelum bersaksi di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pemerkosaan massal 1998. Hingga kini, kematian mereka masih menyisakan tanda tanya. Para pelaku belum diadili, dan negara belum sungguh-sungguh meminta maaf.
Kami yang lahir setelahnya memang tak mengalami langsung kekejaman tersebut. Namun bukan berarti tak terkena dampaknya. Ada penjelasan tentang teori postmemory, yang bisa menjelaskan ini. Dikutip dari Columbia Press University, Marianne Hirsch menyebut trauma bisa berlangsung ke generasi selanjutnya. Dalam konteks ini generasi pasca-Reformasi. Bukan karena mengalami langsung, tapi karena tumbuh bersama cerita, gambar, atau sikap yang diwariskan oleh generasi yang menyimpan luka itu.
Kami, Gen Z, menyerap ingatan-ingatan itu seperti spons. Seolah-olah itu juga bagian dari hidup kami. Maka tak heran jika kami tumbuh dengan kewaspadaan yang tinggi terhadap negara dan kekuasaan.
Sekali lagi, jangan salahkan kami yang menaruh curiga kepada negara. Kami tidak pernah hidup di masa Orba, tapi mewarisi lukanya. Saat negara tidak menunjukkan perbedaan nyata dari masa lalu, termasuk absen melindungi warga, luka itu akan selalu tumbuh jadi kewaspadaan.
Dalam kasus kematian ADP misalnya, alih-alih menunjukkan empati dan berkomitmen mengusut tuntas kasus ini, pihak Kemlu memilih bersikap defensif lewat responsnya.
“Tapi itu jangan dikait-kaitkan (kematian ADP dengan kasus TPPO). Kita menunggu hasil penyelidikan polisi, kita jangan berspekulasi. Jadi kami tidak ingin berspekulasi, kita tunggu hasil penyelidikan polisi,” ucapnya, dikutip dari Detik.
Permintaannya untuk tidak mengaitkan kematian ADP dengan pekerjaannya terdengar defensif, dan lebih mencerminkan kekhawatiran soal citra institusi ketimbang perhatian kepada keamanan dan keselamatan warganya.
Padahal, jika aparat negara saja bisa ditemukan tewas dalam kondisi tidak wajar, dan negara tetap tak menunjukkan urgensi untuk menindaklanjuti dengan serius, lalu bagaimana nasib warga biasa? Di titik ini, wajar rasanya kalau publik merasa selalu curiga dan waspada, bahkan kepada negaranya sendiri.
Baca Juga: Menata Hidup di Rumah Subsidi: Seperti Inikah Masa Depan Kita, Gen Z?
Respons Negara yang Tak Sensitif
Kematian diplomat Kemlu menyoroti pola respons negara terhadap kekerasan yang cenderung dingin dan gagal membaca situasi sosial. Ini bukan kejadian pertama, dalam kasus kiriman kepala babi ke kantor Tempo, Istana justru menanggapi dengan menyuruh Tempo memasaknya alih-alih menunjukkan sikap tegas terhadap ancaman kebebasan pers.
Respons seperti ini lebih dari sekadar tidak sensitif. Ia menyiratkan bahwa nyawa warga negara tak dianggap berharga. Rakyat dibesarkan dalam semangat demokrasi dan hak asasi manusia, tapi justru negara malah mempertontonkan sikap defensif alih-alih protektif ketika kekerasan terjadi, sehingga menciptakan jurang kepercayaan yang makin lebar.
Menukil tulisan Pettyjohn dkk., menurut Institutional Betrayal Theory (2008), pengabaian oleh institusi yang semestinya melindungi dapat memperparah trauma dan meninggalkan luka kepercayaan. Saat kekuasaan bersikap pasif atau malah membungkam, publik justru merasa ditinggalkan oleh negara yang seharusnya berpihak.
Inilah yang kemudian menumbuhkan rasa tak percaya pada institusi negara. Alih-alih membentuk rasa aman, respons yang tak sensitif justru menanamkan kecemasan di benak warga, terutama bagi Gen Z. Kami tumbuh menjadi generasi yang tak hanya mewarisi trauma masa lalu, tapi juga dipaksa menghadapi ketakutan akan hari esok. Tanpa tahu apakah negara akan benar-benar berpihak jika suatu hari nanti giliran kami yang jadi korban.
Baca Juga: #Re(Formasi)1998: Gen Z Menolak Lupa Sejarah Orba
Kita Bisa Apa?
Sulit berharap dari negara yang tak menunjukkan keberpihakan. Namun, ruang bersuara tetap perlu dijaga. Kecurigaan, kewaspadaan, dan rasa tidak percaya bisa menjadi bahan bakar untuk terus mengawasi kekuasaan dan mempertanyakan ketidakadilan.
Yang jelas, diam bukan opsi. Ia hanya akan membuat kekerasan terasa wajar, dan ketidakadilan jadi hal yang dibiarkan.
Di momen-momen seperti ini, penting untuk tidak apatis. Suara sekecil apa pun tetap penting, karena perubahan hanya mungkin terjadi kalau terus bersuara.
Seperti kata pepatah, selemah-lemahnya iman adalah dengan melawan. Melawan bisa sesederhana tidak diam, saling menguatkan, dan saling menjaga satu sama lain.
















