Menata Hidup di Rumah Subsidi: Seperti Inikah Masa Depan Kita, Gen Z?

Siapa yang enggak mau punya rumah nyaman milik sendiri?
Sebagai bagian dari Generasi Z yang mulai menata hidup in this economy, memiliki hunian pribadi bukan hanya impian besar. Namun itu juga simbol stabilitas, kemandirian, dan keberhasilan. Sayangnya makin ke sini, impian itu terasa makin jauh.
Sebagai Gen Z yang tumbuh dalam era ketidakpastian, saya terpikat ketika mendengar kabar pemerintah tengah menyiapkan program rumah subsidi yang katanya ramah buat anak muda. Kepada Liputan6, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruar Sirait bilang pada (17/6), “Kita doain ini bisa berhasil. Akan ada banyak sekali kemudahan.”
Narasi penuh harapan ini membawa saya ke pusat perbelanjaan di Semanggi, Jakarta Pusat, untuk melihat langsung mock-up rumah subsidi yang digadang-gadang sebagai solusi hunian generasi masa kini.

Baca juga: Mampukah Gen Z Beli Rumah Mungil Kalau Enggak Jajan Kopi?
Angan Tinggal Angan: Rumah 14 Meter Persegi yang Sulit Dinalar
Sebelum tiba, saya sempat membayangkan rumah mungil tapi fungsional, mungkin sekitar 25 meter persegi—ukuran yang sebelumnya sempat disebut sebagai standar rumah subsidi. Namun belakangan, wacana mengecilkan luas bangunan terus bergulir. Bahkan, menurut laporan Detik.com, Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP Sri Haryati, menyebutkan rencana terbaru. Katanya, rumah subsidi hanya akan seluas 18 meter persegi.
Namun kenyataan lebih mencengangkan. Sesampainya di lokasi, saya disambut rumah contoh yang luasnya bahkan lebih kecil—hanya 14 meter persegi.
Saya mengonfirmasi ke petugas lokasi. Mereka mengiyakan. Bangunan tersebut adalah mock-up resmi dari rumah subsidi yang ditawarkan pemerintah. Terdapat dua tipe, yakni satu kamar tidur dan satu tipe mezzanine dengan dua kamar. Namun tak peduli tipenya, semua terasa sempit, pengap, dan terlalu “dipaksakan” untuk bisa disebut sebagai tempat tinggal yang layak.
Hunian Multifungsi yang Terlalu Banyak Fungsi
Ruang utama dirancang untuk menampung semua hal sekaligus—memasak, mencuci, bersantai, dan berkegiatan. Dengan ukuran sekitar 2,5 x 4,2 meter, ruangan ini jadi pusat segala aktivitas, core from the core, tanpa sekat atau privasi.
Di ruangan lainnya, terdapat kamar tidur kecil yang langsung terkoneksi ke kamar mandi dan lemari pakaian mini. Saya mencoba membayangkan hidup di dalamnya. Mencuci di dekat kasur. Menyimpan baju di ruang sempit. Duduk dan makan di lantai yang sama tempat menjemur pakaian.

“Sisa bajuku akan dikemanakan kalau begini?” gumam saya melihat ruang penyimpanan mungil di kamar tersebut.
Baca juga: Cerita #MilenialMenua: Rumah Tak Terbeli Meski Kerja Selamanya, Bagian 1
Tidak Memenuhi SNI, Jauh dari Kota, dan Jelas Tak Layak
Realitas ini membuat saya bertanya: Apakah ini benar hunian layak seperti yang dimaksud pemerintah? Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 03-1733-2004), rumah layak huni minimal menyediakan ruang 9 meter persegi per orang. Artinya, untuk dua penghuni saja, ukuran minimal seharusnya 18 meter persegi. Rumah subsidi ini tak memenuhi itu.
Lebih jauh, lokasi pembangunan rumah subsidi ini juga jauh dari pusat kota. Menurut Tempo, sebagian besar akan dibangun di kota penyangga seperti Bekasi dan Bogor. Itu artinya, Gen Z seperti saya akan tetap harus mengeluarkan biaya besar untuk transportasi harian ke Jakarta atau pusat kerja lainnya. Alih-alih solusi, ini menambah beban hidup.
Lebih lanjut, Gen Z bukan tidak mau beli rumah karena lebih senang jajan kopi. Namun daya beli kami sangat tertinggal. Berdasarkan survei Indonesia Property Watch (2023), hanya 18 persen dari masyarakat usia 25–34 tahun yang memiliki rumah. Sisanya menyewa, tinggal bersama keluarga, atau kos.
Harga rumah tapak di Jabodetabek sendiri rata-rata sudah mencapai Rp700 juta, sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pendapatan bersih anak muda Indonesia hanya sekitar Rp3–5 juta per bulan. Tak heran jika laporan Kementerian PUPR (2022) menunjukkan backlog perumahan masih berada di angka 12,7 juta unit, dan terus naik.
Baca juga: Cerita #MilenialMenua: Rumah Tak Terbeli Meski Kerja Selamanya Bagian 2
Siapa yang Bisa Tinggal Di Sana?
Saya mencoba jujur pada diri sendiri. Meski rumah subsidi ini katanya “terjangkau”, apakah saya benar-benar bisa tinggal di sana? Bahkan jika harganya murah, apakah saya akan bahagia tinggal di ruangan seluas tempat parkir mobil kecil, tanpa ruang gerak, jauh dari tempat kerja, dan harus menyusun baju di ruang antara toilet dan dapur?

Pengalaman menjajal rumah subsidi ini justru menyisakan kegelisahan. Pemerintah seakan berharap kami menyesuaikan standar hidup kami dengan keterbatasan yang mereka desain. Padahal, mestinya negara hadir untuk menaikkan kualitas hidup warganya, bukan mengerdilkannya.
Jika negara sungguh ingin hadir, maka pertanyaannya bukan hanya seberapa kecil rumah bisa dibangun agar murah? Namun bagaimana kita bisa menjamin setiap anak muda punya akses ke tempat tinggal yang benar-benar layak, manusiawi, dan dekat dengan peluang hidup yang lebih baik?
Kami para Gen Z tidak meminta terlalu banyak. Kami hanya ingin tempat tinggal yang memungkinkan untuk bermimpi dan berkembang. Apakah itu terlalu sulit diwujudkan di negeri Konoha tercinta ini?
Ilustrasi oleh Karina Tungari
