
Aku tak pernah benar-benar tahu kapan tradisi itu dimulai, tapi mi ayam selalu hadir setiap kali ada kabar baik di keluarga kami. Sesederhana ayah baru saja gajian, atau aku dapat ranking di kelas, kami akan menyambangi warung mi ayam langganan. Mi ayam menjadi cara kami merayakan hal-hal kecil dengan sederhana dan hangat.
Ayah yang seorang vegetarian sering kali hanya menemani, duduk dengan teh hangat sambil melihat kami menikmati mi ayam. Bahkan saat aku keluar dari rumah sakit pascaoperasi, dengan tubuh masih lelah, kami tetap pergi ke sana. Duduk di bangku plastik yang itu-itu juga, menikmati udara sore dan semangkuk mi ayam.
Bagi banyak orang, mi ayam mungkin cuma makanan jalanan biasa. Namun buat keluargaku, ia menyimpan kenangan. Mi ayam bukan cuma makanan tapi penanda bahwa sekeras apa pun hidup, tetap memberi alasan untuk dirayakan.
Baca juga: Obsesi Orang Sunda pada Aci: Cerita Singkong, Kolonialisme, dan Industri Minyak Sawit
Ada juga momen lucu yang selalu kuingat. Setiap gerobak mi ayam lewat di depan rumah, ibu atau ayah akan buru-buru teriak dan bertanya apakah aku mau dibelikan mi ayam. Padahal, aku membatasi diri untuk memakan mi ayam seminggu sekali saja, karena menyadari waktu tubuh untuk mencerna gulungan tepung itu cukup lama.
Namun sejak kuliah di Jakarta dan hanya pulang seminggu sekali, makna mi ayam pelan-pelan bergeser. Ia tak lagi jadi penanda perayaan, tapi justru pertanda bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Mi ayam berubah menjadi pelarian kala tekanan hidup terasa menyesakkan.
Aku memakannya ketika gagal ujian, habis putus cinta, bertengkar dengan teman, bahkan saat didiagnosis depresi dan bipolar. Di tengah hari-hari gelap itu, aku tetap mencari semangkuk mi ayam. Seolah setiap gigitan bisa mengembalikan kekuatan, atau setidaknya, memberi alasan untuk bertahan hidup satu minggu lagi.
Mi ayam jadi pilihan karena ia murah, mudah ditemukan, dan rasanya menenangkan. Dengan harga Rp15.000, semangkuk mi hangat dengan kaldu gurih dan kecap manis bisa jadi semacam penawar untuk kesedihan yang tak bisa dijelaskan, dan luka-luka yang tak kelihatan.
Apa yang aku alami ternyata dialami juga oleh Lovina Dita, 19, mahasiswa perantau dari Subang ke Jakarta yang berkuliah di Universitas Negeri Jakarta. Ia menceritakan betapa pentingnya kehadiran mi ayam di hidupnya. Bagi Lovina, mi ayam bukan cuman makanan pinggir jalan biasa, tapi pelarian ketika sedang sedih atau menjadi perayaan momen penting.
“Pengen kukecup keningnya dan bilang makasih udah ada di dunia ini,” kelakar Lovina ketika membayangkan mi ayam yang biasa ia nikmati berubah wujud menjadi manusia, diwawancarai Magdalene, (26/6).
Semenjak merantau dan jauh dari sanak keluarga, ia sempat merasa sendiri dan tidak memiliki tempat berbagi. Bahkan, frekuensi Lovina menyantap mi ayam menjadi bertambah seiring dengan banyaknya hal yang terjadi.
Ia mengaku, tidak memiliki teman dekat yang bisa diajak curhat ketika sedang sedih atau senang. Bahkan, ketika menyantap mi ayam pun Lovina memilih sendiri. Sebab, baginya itu jadi momen di mana bisa menikmati kesendirian dan menemukan kebahagiaan meski sementara.
“Ketika masuk mulut, rasa hangat dan gurihnya bikin perasaan jadi membaik. Perasaan sedih karena enggak bisa ngerjain Ujian Akhir Semester atau perasaan kesal karena habis dimarahi pengurus organisasi tiba-tiba menguap dan jadi semangat lagi buat jalanin hidup,” terangnya.
Lovina sendiri tidak menyadari kapan pastinya menyantap mi ayam menjadi ritual penting di hidupnya. Namun ia bercerita mi ayam juga jadi saksi dari perjuangan keluarganya yang sempat mengalami masa sulit.
“Saat aku masih SD pernah juara 3 Olimpiade Sains tingkat Kabupaten. Tapi karena Apa (ayah) nggak punya uang buat ngerayain, tiba-tiba lewat gerobak mi ayam di depan rumah. Akhirnya aku, Apa dan Mama makan satu mangkuk mi ayam bertiga. Mungkin sejak itu mi ayam jadi punya tempat tersendiri karena ngingetin ke momen hangat itu,” ujarnya.
Baca juga: Sambal, My Very Own Version of Jewish Penicillin
Kenapa Harus Mi Ayam?
Fenomena menjadikan mi ayam sebagai comfort food hari ini marak terjadi terutama di kalangan Gen Z. Comfort Food artinya makanan yang dapat memberikan rasa aman, nostalgia, dan ketenangan.
Melansir detikFood, fenomena tersebut terekam di media sosial terutama X. Banyak warganet, mayoritas Gen Z yang ramai menyebut mi ayam sebagai “obat anti depresi”.
Bahkan dalam satu unggahan, pengguna X menulis, “Mi Ayam tuh bukan sekedar makanan, tapi pelukan hangat di tengah dunia yang kejam.” Ungkapan itu dibanjiri ribuan tanda suka dan komentar serupa yang mengamini peran mi ayam sebagai penyelamat mereka di tengah stres dan tekanan hidup.
Dalam Oxford English Dictionary, comfort food dijelaskan sebagai makanan yang memberikan penghiburan atau rasa nyaman secara emosional. Biasanya tinggi akan kandungan gula, karbohidrat dan sering dikaitkan dengan kenangan masa kecil atau masakan rumah
Hubungan antara makanan tinggi karbohidrat dengan perasaan aman juga dijelaskan dalam jurnal Frontiers in Psychology (2014). Dalam jurnal tersebut dijelaskan makanan yang tinggi karbohidrat dan lemak seperti mi bisa mengaktifkan produksi dopamin di dalam tubuh.
Ketika Dopamin dilepaskan, itu dapat memberikan rasa senang, nyaman, dan terbebas sementara dari tekanan atau stres. Hal tersebut dikenal sebagai coping mechanism atau respons pertahanan tubuh menghadapi stres yang dialami. Ketika mengalami stres, secara naluriah tubuh akan mencari kenyamanan dan keamanan salah satunya dengan mengonsumsi makanan.
Baca juga: Cewek Seblak, Cowok Kopi: Benarkah Makanan Punya Gender?
Mi Ayam Milik Semua
Sementara itu, Dosen Gastronomi—ilmu yang mempelajari hubungan makanan dan budaya—Universitas Indonesia, Mochamad Aviandy menyebut setiap makanan memang memiliki momentumnya, dan setiap momentum memiliki makanannya sendiri. Bahkan baginya, tiap makanan memiliki memori kolektifnya masing-masing.
Kehadiran mi ayam di Indonesia enggak lepas dari proses akulturasi budaya Tiongkok dan Nusantara. Melansir Tempo, mi ayam merupakan hasil modifikasi dari makanan khas Tiongkok, yaitu bakmi, yang dibawa oleh imigran Tiongkok ke Indonesia pada 1870-an.
Diketahui, bakmi khas Tiongkok terbuat dari mi kuning yang dicampur minyak wijen, minyak ayam dan kecap asin, serta disajikan dengan topping daging babi. Namun, untuk menyesuaikan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, akhirnya topping dimodifikasi dengan menjadi daging ayam, sehingga lahir mi ayam khas Indonesia.
Seiring waktu, mi ayam berkembang mengikuti ciri khas daerah masing-masing. Misalnya, mi yamin dikenal dengan rasa manis dari kecap, sedangkan mi ayam Wonogiri memiliki cita rasa kaya rempah dengan tambahan jahe, lada, dan ketumbar.
Dengan begini, mi ayam yang awalnya merupakan makanan khas orang Tionghoa, kini telah sah sebagai makanan milik semua orang. Keberagaman jenisnya dari berbagai daerah, membuktikan masyarakat Indonesia mencintai mi ayam dengan berbagai versinya. Dari manis kaya rempah, berkuah, kering dan sebagainya.
Kecintaan masyarakat terhadap mi ayam sampai menjadikannya sebagai comfort food, dibaca Aviandy sebagai bukti bahwa makanan memang dapat menciptakan rasa hadir bagi penikmatnya. Hal tersebut juga bagian dari pondasi individu untuk dapat berkegiatan.
Ia memaknai fenomena masifnya mi ayam dijadikan comfort food sebagai gastronomi yang “tepat” untuk dijadikan pelampiasan. Ia mengandaikan ketika individu diliputi perasaan tidak nyaman, emosi, bahkan tersedu sedan. Akan sangat tidak menyenangkan memenuhi perut dengan kuliner berporsi besar dan dibayangi jumlah kalori dan penyakit lainnya.
“Mi ayam itu tepat. Sepengamatan saya, porsinya tidak pernah terlalu banyak atau sedikit. Ia menyamankan, menghadirkan perasaan seperti: mi ayam dulu yuk, enggak akan bikin gendut, enggak berkolesterol, enggak bergula banyak. Ini hanya mi ayam saja pelipur lara, yang biasa-biasa saja, yang hadir di sekitarmu, tanpa perlu penjelasan tertentu. Ini hanya mi ayam yang dapat menemanimu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Aviandy juga menyebut masifnya Gen Z yang menjadikan mi ayam sebagai comfort food merupakan sebuah identitas fenomena budaya yang bisa dinikmati. Malah, ia menambahkan dengan viralnya mi ayam dapat meningkatkan perekonomian penjualnya.
“Tidak apa-apa jika suatu saat nanti mi ayam tidak lagi viral dan bukan menjadi comfort food. Tapi ingat, sebelum menjadi representasi identitas comforting food-nya Gen Z, mi ayam sudah hadir secara masif dan ia baik-baik saja. Sesuatu yang sudah mapan tidak perlu lagi ditekankan sebagai bagian dari tren zaman. Ia memang sudah ada,” tutup Aviandy.
