Menertawakan Nasib Jadi WNI
Berita politik lagi sering bikin geleng-geleng kepala. Pernyataan pejabat yang nyakitin hati, angka pengangguran yang besar di saat pejabat rangkap jabatan, dan kebijakan yang enggak jelas tujuannya, bisa membuat warga lelah dan enggak peduli lagi sama politik.
Di sisi lain, situasi ini menyuburkan konten komedi politik. Dari video pendek sampai meme di media sosial hadir untuk menghibur warga yang resah sama keadaan.
Siapa yang tahu program rumah subsidi pemerintah dari video ini?
Baca juga: Menata Hidup di Rumah Subsidi: Seperti Inikah Masa Depan Kita, Gen Z?
Video pendek ini bisa jadi bukti, efektifnya humor atau komedi sebagai alat kritik kebijakan yang ngaco. Dengan jokes ringan dan mudah dipahami, video ‘Rumah Subsi-die’ yang di-upload akun Instagram @biasalahanakmuda berhasil mendapat 9,4 juta views.
Di kolom komentar, netizen mengutip beberapa jokes yang dilontarkan dan memberikan emoticon tertawa. Setelah ramai dikritik dan ditertawakan netizen, rumah “Subsi-die” itu pun dibatalkan oleh pemerintah.
Baca juga: Gelembung Properti: Rumah ‘Subsi-die’ Mengecil, Hunian Layak Tak Terbeli
Partisipasi Politik Jalur Lawak
Morena-Almeida dalam penelitian “Memes as Snapshots of Participation: The role of Digital Amateur Activists in Authoritarian Regimes” bilang, ini cara anak muda yang terasing dalam sistem politik untuk berpartisipasi.
Mereka sebenarnya mau banget dilibatkan dalam proses politk, seperti pengambilan kebijakan. Tapi boro-boro didengarkan, diajak ngobrol saja enggak pernah. Makanya, lewat konten komedi politik di media sosial, mereka menargetkan para penguasa yang enggak tersentuh oleh institusi formal dan bertindak seenaknya.
Melansir ugm.ac.id, Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM Dr. Ardian Indro Yuwono berkata, komedi bisa membuat pembahasan politik yang ruwet, jadi mudah dipahami oleh masyarakat. Secara enggak langsung, pehamanan ini akan mendorong warga ke partisipasi politik.
Peneltian “Political Satire and Collective Reproduction: The Power of Political Nicknames in Hong Kong” berkesimpulan, partisipasi warganet pun enggak cuma kata-kata di kolom komentar. Lebih jauh dari itu, konten komedi politik cenderung diduplikasi dan direproduksi oleh netizen, sehingga menjadi isu viral.
Contoh lainnya, trotoar keramik berwarna-warni di Kota Bandar Lampung, yang viral setelah jadi bahan bercanda komika Abdur Arsyad. Joke ini dilontarkan Abdur ketika menghadiri sebuah podcast. Abdur mempertanyakan motivasi membuat trotoar keramik yang malah akan licin saat hujan.
Potongan leluconnya di podcast tersebut pun diunggah di berbagai media sosial, sehingga netizen ramai-ramai menertawakan dan ikut mengkritik. Tak lama kemudian, Pemkot Bandar Lampung berjanji untuk mengganti keramik dengan granit.
Konten ‘Rumah Subsi-die’ dan trotoar keramik jadi bukti kalau komedi politik bisa benar-benar membawa perubahan. Banyaknya netizen yang ikut berkomentar hingga mereproduksi jadi faktor krusial.
Tapi, kenapa harus dibercandain dulu sih baru sadar?
Pemilik majalah satire di UK, Ian Hislop pernah bilang, penguasa lebih takut terlihat konyol daripada digambarkan sebagai diktator yang keras. Makanya, meng-highlight kekonyolan dalam kebijakan yang dibuat penguasa dengan komedi jadi cara yang efektif.
Baca juga: Mampukah Gen Z Beli Rumah Mungil Kalau Enggak Jajan Kopi?
Namun, Ingat ya…
Komedi enggak pernah punya beban untuk memberi informasi atau bikin netizen berpartisipasi. Tugas utama konten komedi politik adalah menghibur, bikin kita menertawakan keadaan negara yang enggak keru-keruan.
Konten komedi politik memang bisa bikin kita semakin aware. Tapi, setelah punya awareness, kita masih perlu sumber informasi yang terverifikasi, seperti berita atau pendapat ahli, untuk tahu konteks secara lebih lengkap. Dengan begitu, kita tetap bisa melihat politik sebagai masalah serius, alih-alih jokes yang hanya perlu ditertawakan saja.
















