June 23, 2025
Issues Lifestyle Opini Politics & Society

Mampukah Gen Z Beli Rumah Mungil Kalau Enggak Jajan Kopi?

‘Tiny house’ populer’ tapi terhalang kelayakan dan jarak dari pusat kota. Butuh intervensi negara agar anak muda bisa mengakses rumah.

  • May 14, 2025
  • 5 min read
  • 1171 Views
Mampukah Gen Z Beli Rumah Mungil Kalau Enggak Jajan Kopi?

Katanya jika Gen Z menghemat enggak beli kopi, rumah kemungkinan bisa terbeli. Demikian pesan yang sering kita tangkap dari konten influencer finansial. Kata mereka, dengan menerapkan gaya hidup frugal, kita bisa menyisihkan uang untuk menabung, investasi, sampai membayar DP rumah di tengah mahalnya biaya hidup di perkotaan.

Namun, anggapan ini justru dibantah oleh sejumlah akun di media sosial. Akun TikTok @santirasyalleia, misalnya. Dia menganggap meski telah menahan beli kopi selama setahun, banyak orang tetap tak akan mampu membayar uang muka rumah dengan harga pasaran saat ini.

Konten semacam ini menunjukkan fenomena generasi muda yang kesulitan memiliki rumah. Sebagai akademisi yang berfokus pada isu individu kelas menengah kota-kota besar, saya mendapati rumah mungil (tiny house) bisa menjadi alternatif solusi atas masalah ini.

Tentu pertanyaan besarnya: Apakah tiny house mampu mengatasi isu ketidakmampuan generasi kita dalam memiliki rumah? Sayangnya tidak sepenuhnya.

Baca Juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z

Isu Kepemilikan Rumah Anak Muda

Melansir BPS dan Rumah123.com, daya beli pekerja di kota-kota besar di Indonesia tidak mampu mengejar harga rumah di pasaran. Akibatnya, sekitar 5,8 juta rumah tangga Milenial dan hampir 500 ribu rumah tangga Gen Z belum memiliki rumah.

Pengembang pun mengantisipasi tren ini dengan memunculkan tren baru berupa tiny house atau rumah kecil. Laporan Kompas menyatakan, pada 2024, permintaan rumah berukuran di bawah 60 m2 meningkat secara signifikan di berbagai kota besar di Indonesia.

Sayangnya, dengan kondisi ekosistem perumahan saat ini, sebenarnya tiny house bukan menjadi pilihan ideal yang sesuai dengan gaya hidup Zilenial (Gen Z dan Milenial). Bagi mayoritas mereka, tiny house merupakan opsi tunggal untuk bisa memiliki hunian permanen.

Baca Juga: Rumah Milik Orang Kaya yang Lain Ngontrak, Masih Worth It Kah Beli Rumah?

Tren Tiny House

Di berbagai negara, tiny house digadang-gadang menjadi solusi perumahan bagi keluarga kecil yang dinamis maupun bagi para tunawisma. Banyak juga yang berpendapat bahwa tren tiny house akan mengubah paradigma bermukim penduduk perkotaan yang padat.

Di Indonesia, yang sering disebut dengan tiny house adalah rumah tapak dengan luas lahan kurang dari 60 m2. Rumah-rumah ini tersebar tidak hanya di kawasan pusat perkotaan di mana lahan memang sangat terbatas, tapi juga di kota-kota pinggiran seperti Tangerang dan Bekasi.

Meski begitu, harga rumah-rumah ini tidak semungil ukurannya. Misalnya di Jakarta Barat, rata-rata harga rumah berukuran di bawah 60 m2 sudah mencapai Rp1,25 miliar per unit. Di Medan, Bekasi, dan Tangerang, median harga rumah berukuran sama masing-masing mencapai Rp470 juta, Rp575 juta, dan Rp789 juta.

Baca Juga: Balada ‘PayLater’ Gen Z: Selesaikan Masalah dengan Masalah

Seberapa Layak Tiny House?

Pada 2019, para peneliti dari Institute for Housing and Urban Development, Erasmus University Rotterdam mengembangkan framework evaluasi kelayakan rumah tinggal yang menyasar berbagai aspek. Dua aspek penting yang sangat relevan di antaranya adalah ketersediaan dan keterjangkauan.

Dalam aspek ketersediaan, sebuah hunian dianggap memadai jika tersedia di lokasi yang sesuai permintaan. Misalnya, jika backlog (selisih angka rumah dengan kebutuhan rumah) hunian tertinggi para Zilenial ada di Jakarta, maka tiny house yang berlokasi di daerah Maja atau Tenjo tentu tidak bisa dianggap ideal. Sebab, rumah di daerah ini mengharuskan para Zilenial untuk menempuh perjalanan dari rumah ke kantor hingga 1,5 jam setiap hari.

Sementara dalam aspek keterjangkuan, harga unit harus juga sesuai dengan daya beli dan aspek-aspek finansial lainnya.

Sebagai contoh, hunian dengan luas kurang dari 60 m2 di Surakarta memiliki median harga Rp470 juta per unit. Harga tersebut memang lebih murah jika dibandingkan dengan kota besar lainnya. Akan tetapi, jika kita mengacu ke upah minimum Surakarta sebesar Rp2,4 juta pada 2025, maka harga tersebut tidak lagi bisa dianggap terjangkau.

Di Indonesia, tiny house yang murah juga perlu kita waspadai. Sebab, bisa jadi rumah-rumah dengan harga yang terlalu murah malah menimbulkan pengeluaran tambahan saat sudah kita huni.

Contohnya, saat ini banyak konten tiny house di media sosial tentang renovasi rumah subsidi dengan luas lahan yang terbatas (40 hingga 60 m2). Kebutuhan renovasi muncul karena sebagian besar rumah tersebut hanya memiliki ventilasi udara dan pencahayaan di bagian depan. Akhirnya ruangan di dalam rumah harus selalu menggunakan lampu, AC, atau kipas angin sepanjang hari agar nyaman dihuni.

Kondisi tersebut tidak sejalan dengan standar rumah sehat yang mengharuskan rumah memiliki bukaan di sisi depan dan belakang. Tujuannya agar udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam bangunan dan mengalir dengan bebas.

Dengan desain dan inovasi yang ciamik, Tiny house sebenarnya bisa kita kembangkan menjadi solusi hunian yang terjangkau tanpa mengorbankan aspek kelayakan.

Di Tokyo, misalnya, para arsitek dan pengembang tidak hanya membangun rumah yang “kecil” ukuran semata, tetapi juga memanfaatkan teknologi dan inovasi desain rumah, material bangunan, dan teknik konstruksi terbaru yang mendukungnya sehingga menjadi rumah sehat dan layak huni.

Baca Juga: Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan

Perlu Intervensi Pemerintah

Apabila tren tiny house akan diadopsi sebagai salah satu solusi hunian, pemerintah perlu memastikan pasokannya secara memadai. Kehadiran pemerintah juga krusial untuk mengontrol laju harga pasar.

Pemerintah perlu bekerja sama dengan pengembang, arsitek, dan akademisi untuk mewujudkan inovasi standar desain rumah tinggal mungil yang sehat dan layak huni dengan harga yang tetap terjangkau.

Dari segi permintaan, perlu ada program-program pembiayaan dan melebarkan strategi finansial bagi para Zilenial untuk meningkatkan daya beli mereka.

Tentunya, masalah daya beli ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan berhenti membeli kopi.

Issa Tafridj, Lecturer, Researcher, and Coordinator for the Center for Urban Studies, Universitas Pembangunan Jaya.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality
About Author

Issa Tafridj