July 14, 2025
Issues Opini Politics & Society

Gelembung Properti: Rumah ‘Subsi-die’ Mengecil, Hunian Layak Tak Terbeli

Saat harga properti meningkat lebih cepat dari daya beli, pasar kehilangan keseimbangan. Efeknya aksi spekulan pun menjamur.

  • June 23, 2025
  • 6 min read
  • 2886 Views
Gelembung Properti: Rumah ‘Subsi-die’ Mengecil, Hunian Layak Tak Terbeli

Belakangan, linimassa kita dihebohkan dengan penampakan rumah subsidi sempit–akun Instagram @BiasalahAnakMuda memplesetkannya dengan subsi-die. Dibanderol seharga seratus jutaan, penampakannya yang tak layak huni menuai kritik publik. Sejumlah warganet menilai, rumah subsidi ini menandakan hunian layak Jakarta dan sekitarnya, semakin tak terbeli.

Ini juga yang dirasakan aldi. Ia sudah menabung selama bertahun-tahun untuk membeli rumah pertamanya di Jakarta. Ia membayangkan bisa tinggal di hunian kecil yang nyaman, tanpa harus berpindah-pindah kontrakan setiap beberapa tahun. Namun, kenyataannya tak semudah itu. Setiap kali ia menemukan rumah yang sesuai dengan anggarannya, harganya sudah keburu naik sebelum ia sempat mengambil keputusan.

Ia pun kalah saing dengan pembeli berkantung tebal yang mampu membeli beberapa unit sekaligus untuk ditimbun dan kemudian dijual kembali dengan harga lebih tinggi.

Kisah Aldi di atas mewakili kondisi umum yang dialami masyarakat menengah ke bawah yang kesulitan memiliki rumah di Indonesia. Tantangan ini menjadi fokus pemerintah yang kemudian dijawab dengan “Program 3 Juta Rumah” gagasan Presiden Prabowo Subianto.

Program ini bertujuan mengatasi backlog perumahan yang mencapai lebih dari 12 juta unit dan mendorong peningkatan kepemilikan rumah yang masih rendah, sekitar 60 persen.

Namun, besarnya permintaan bisa menciptakan risiko spekulasi: Rumah dibeli bukan untuk ditinggali, melainkan dijadikan instrumen investasi yang menguntungkan.

Skema pasar properti yang berjalan tanpa campur tangan pemerintah kerap memperlebar kesenjangan ekonomi. Menurut ekonom asal Prancis, Thomas Piketty, pertumbuhan harga aset lebih cepat dibanding pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, pemilik aset properti menikmati keuntungan dari kenaikan harga dan pendapatan sewa. Sedangkan masyarakat yang belum memiliki rumah sulit mengejar harga yang terus melambung.

Baca Juga: Solusi Rumah Murah bagi Milenial Saat Harga Tanah Melangit

Risiko Gelembung Perumahan Nasional

Skenario yang sedang terjadi di Indonesia saat ini bukan hal baru di dunia. Jepang mengalami real estate bubble pada 1980-an yang akhirnya pecah dan menyebabkan stagnasi ekonomi berkepanjangan.

Gelembung ini dipicu aksi spekulasi tanah yang didukung lemahnya regulasi, seperti kebijakan penggunaan lahan yang lebih longgar, tarif pajak yang rendah dan undang-undang pajak yang penuh celah hukum atas keuntungan modal dari tanah, dan suku bunga yang diatur secara ketat namun tak tepat sasaran. Hal serupa sedang dihadapi Cina saat ini.

Kanada dan Selandia Baru juga pernah menghadapi lonjakan harga rumah akibat tingginya permintaan dari investor asing, yang memaksa pemerintahnya menerapkan regulasi ketat untuk meredam spekulasi. Persamaan dari berbagai basis studi tersebut adalah ketidakhadiran regulasi yang ketat yang berujung bebasnya lonjakan harga akibat spekulasi.

Dalam teori market efficiency, harga aset idealnya mencerminkan semua informasi yang tersedia. Namun, di pasar properti, sering terjadi ketidakakuratan harga karena keterbatasan informasi dan perilaku spekulatif. Investor yang membeli dengan ekspektasi harga terus naik justru mendorong harga semakin jauh dari nilai fundamentalnya.

Ketika harga properti meningkat lebih cepat dari daya beli masyarakat, pasar kehilangan keseimbangannya, menciptakan gelembung yang suatu saat bisa pecah. Oleh karena itu, kebijakan yang tepat diperlukan untuk memastikan harga tetap mencerminkan nilai wajar dan tidak hanya didorong oleh ekspektasi spekulatif.

Baca Juga: Harga Makin Mahal, Perlukah Kita Membeli Rumah?

Belajar dari Singapura

Singapura telah menunjukkan bagaimana regulasi yang ketat dapat mengendalikan spekulasi properti. Negara ini menerapkan dua kelompok kebijakan utama: Fiskal dan non-fiskal.

Dari sisi fiskal, pemerintah memberlakukan Additional Buyer’s Stamp Duty (ABSD). Warga negara Singapura dikenakan pajak 20 persen untuk properti kedua dan 30 persen untuk properti ketiga dan seterusnya. Permanent Resident (PR) membayar 5 persen untuk properti pertama, 30 persen untuk kedua, dan 35 persen untuk ketiga.

Warga asing dikenakan pajak 60 persen untuk semua properti yang mereka beli. Selain itu, seller’s stamp duty (SSD) diterapkan untuk mengurangi beban harga dengan pajak 4 persen hingga 12 persen bagi rumah yang dijual dalam tiga tahun sejak pembelian.

Manajemen kredit perbankan di sana juga diatur sedemikian rupa untuk memastikan total utang peminjam tidak melebihi 55 persen dari pendapatan bulanan. Langkah-langkah ini membuat pembelian properti lebih selektif dan menekan spekulasi berbasis utang.

Dari sisi non-fiskal, Singapura meningkatkan transparansi pasar properti untuk mengurangi potensi kesalahan informasi. Pemerintah menyediakan data harga properti melalui urban redevelopment authority (URA) dan Housing Development Board (HDB) mulai dari harga jual, lokasi, luas unit, hingga tanggal transaksi.

Transparansi ini membantu pembeli seperti Aldi agar tidak membeli properti dengan harga yang tidak diawasi dengan baik oleh pemerintah. Dengan informasi yang lebih lengkap, pembeli bisa lebih “rasional” dalam mengambil keputusan, menghindari jebakan harga yang tidak realistis.e

Baca Juga: Mari Ngobrol ‘Adegan Dewasa’ dalam ‘Home Sweet Loan’: Nasib Buruk Generasi Sandwich dan Krisis Hunian Kita

Agar Harga Transparan

Bagi penjual, transparansi harga membatasi kemungkinan menaikkan harga secara tidak wajar. Jika harga pasar diketahui secara luas, sulit bagi mereka untuk menggelembungkan harga tanpa alasan jelas. Dari perspektif psikologi ekonomi, transparansi membantu individu dalam mengambil keputusan di bawah risiko dan ketidakpastian.

Dalam pasar yang tidak transparan, pembeli cenderung mengandalkan intuisi atau mengikuti herd behavior, yang sering kali berkontribusi pada gelembung properti. Ketika informasi tersedia luas, analisis lebih rasional dapat dilakukan, mengurangi potensi harga yang tidak didukung fundamental ekonomi.

Selain transparansi harga, peran penilai independen juga sangat penting dalam menentukan harga properti yang objektif dan mencerminkan nilai fundamental.

Penilai profesional bisa membantu memastikan harga properti tidak melambung akibat spekulasi semata, memberikan referensi yang lebih akurat bagi pembeli, penjual, dan lembaga keuangan dalam menilai aset properti.

Selain itu, transparansi harga juga memberikan keuntungan bagi pemilik rumah yang mengetahui bahwa nilai properti mereka meningkat. Karena itu, perlu dibuat suatu platform informasi properti yang menyimpan dan mendistribusikan data properti ke pasar secara real-time dan transparan.

Salah satu cikal bakal yang patut kita dukung adalah pembangunan Sistem Informasi Penilaian Nasional (SIPN) yang sedang dirancang oleh Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan, Kementerian Keuangan.

Desain kebijakan publik makro harus didasarkan pada pemahaman perilaku pasar. Kebijakan konvensional yang hanya berfokus pada regulasi berbasis insentif dan disinsentif tanpa mempertimbangkan faktor psikologis dan informasi sering kali gagal mencapai tujuan yang diharapkan.

Jika aspek perilaku pasar diabaikan, kebijakan bisa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, seperti spekulasi yang semakin agresif atau penghindaran pajak yang lebih kreatif. Pemahaman mengenai keterbatasan informasi, bias kognitif, serta reaksi psikologis terhadap regulasi sangat penting dalam menciptakan kebijakan yang efektif.

Lury Sofyan, Behavioral Economist, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Lury Sofyan