Cinta yang Tak Pulang: Membaca ‘Concerning My Daughter’ dan Bayangan Keluarga
Tidak banyak novel yang mampu membuat saya merasa sesak sekaligus tersindir. Concerning My Daughter karya Kim Hye-jin adalah salah satunya. Novel Korea Selatan ini menyajikan cerita sederhana, namun menyentuh luka yang sangat dekat bagi banyak orang queer di Asia: bagaimana cinta keluarga bisa dikalahkan oleh penolakan yang dibungkus kasih sayang.
Yang membedakannya dari kisah queer pada umumnya adalah perspektif naratif yang diambil. Alih-alih mengikuti kisah sang anak lesbian, pembaca justru dibawa menyelami pikiran sang ibu. Di sinilah letak perih itu karena kita menyaksikan, dari dekat, bagaimana cinta seorang ibu bisa tercampur dengan prasangka yang membatu dalam sistem patriarki dan norma heteroseksual.
Baca juga: Dua Dekade ‘Tentang Dia’ dan ‘Detik Terakhir’: Representasi Lesbian dan Tragedi Cinta Beda Kelas
Sang anak, yang baru saja kehilangan pekerjaan karena orientasi seksualnya, pulang ke rumah ibunya bersama pasangan perempuannya—orang yang telah menemaninya selama tujuh tahun. Mereka bukan sekadar menumpang, melainkan membayar sewa empat bulan ke depan, bahkan menabung bersama untuk membeli rumah. Tapi karena uang itu didepositokan, mereka tak bisa mengaksesnya sewaktu-waktu. Sebuah detail yang mengingatkan kita akan kenyataan getir di banyak tempat, termasuk Indonesia, bagaimana perempuan dewasa tanpa suami kerap kesulitan memiliki properti atau hidup mandiri.
Namun bagi sang ibu, semua itu tidak berarti apa-apa. Yang ia lihat hanya satu hal: anaknya sekolah tinggi-tinggi tapi tidak menikah, tidak punya anak. “Untuk apa?” pikirnya. Sebuah pertanyaan yang terasa sangat akrab bagi banyak perempuan Asia, seolah hidup hanya sah jika diakhiri dengan pernikahan dan keturunan.
Ironisnya, sang ibu bekerja di rumah jompo. Salah satu pasien di sana adalah perempuan tua dengan demensia, hidup sendiri tanpa anak atau pasangan. Namun hidup pasien itu penuh makna karena ia kerap dikunjungi aktivis, bahkan ada yang ingin membuat film dokumenter tentangnya. Kontras ini menohok. Orang asing bisa melihat nilai dalam hidup seorang perempuan tua sendirian, sementara sang ibu tak bisa mengakui nilai hidup anaknya sendiri.
Konflik dalam novel ini terus menajam. Ada adegan pasangan sang anak diusir, hingga pertengkaran hebat antara ibu dan anak. Semua disampaikan tanpa melodrama, yang membuatnya terasa nyata, seperti cermin yang menyorot sisi gelap cinta keluarga.
Bagi saya, novel ini lebih dari sekadar kisah keluarga disfungsional. Ia adalah potret kecil tentang bagaimana patriarki bekerja di ruang paling personal: rumah. Ia memperlihatkan bagaimana cinta, bahkan dari seorang ibu, bisa menjadi alat kontrol. Dibalut perhatian, tapi penuh penyangkalan.
Baca juga: Hasrat Blak-blakan Lesbian: Kejayaan Penyanyi dan Lagu Sapphic yang Lama Ditunggu
Refleksi seorang lesbian di usia 30-an
Membaca Concerning My Daughter bukan pengalaman pasif bagi saya. Sebagai lesbian yang kini memasuki usia 30-an, saya merasa banyak adegan dalam buku ini terasa seolah bicara langsung kepada saya. Terlalu dekat, terlalu nyata.
Saya tahu betul rasanya dianggap sebagai “setan” yang merusak anak orang. Dalam logika keluarga tradisional, jika dua perempuan menjalin hubungan, pasti salah satunya menggoda atau menyesatkan. Dan yang sering kali disalahkan adalah yang dianggap lebih maskulin atau lebih vokal.
Berbeda dengan karakter dalam novel, saya merasa lebih siap menghadapi stigma itu. Jika keluarga pasangan saya tahu, saya siap duduk dan bicara. Tapi tentu saja, kesiapan itu hanya berarti jika pasangan saya juga cukup kuat. Saya belajar bahwa kekuatan itu harus dibagi, tidak bisa ditanggung sendiri.
Di titik ini saya sadar, menjadi feminis adalah satu langkah, sementara menerima diri sebagai queer adalah langkah selanjutnya. Tapi keberanian terbesar justru ada pada tahap menghadapi keluarga.
Hidup saya diwarnai banyak aksi dan protes. Saya terbiasa turun ke jalan, memimpin yel-yel, melawan gas air mata, dan menantang aparat. Tapi pulang ke rumah dan jujur pada orang tua? Itu medan perang lain. Sering kali lebih sunyi, lebih menyakitkan.
Aktivisme memberi saya rasa berdaya. Tapi novel ini menyadarkan saya bahwa di balik semua itu, ada ruang yang tetap membuat saya rapuh: rumah, keluarga, dan harapan kecil bahwa suatu hari pasangan saya bisa diterima.
Baca juga: Perempuan Queer Indonesia di AS: Ketidakpastian dan Ancaman di Era Baru Trump
Saya teringat hubungan terakhir saya. Di atas kertas, kami ideal: sama-sama feminis, aktivis. Tapi tetap saja kandas karena prinsip. Itu membuat saya lebih realistis. Ya, aktivis dan feminis adalah syarat mutlak bagi saya, tapi itu tak menjamin relasi yang kokoh.
Novel ini kembali menyingkap ketakutan yang kerap saya sembunyikan: apakah saya akan berakhir seperti tokoh nenek lesbian dalam cerita itu? Dihormati karena perjuangan, tapi tetap sendiri di ujung hidup? Ketika usia terus bertambah, pertanyaan itu tidak lagi mudah ditepis.
Namun di sisi lain, saya merasa novel ini juga mengingatkan saya pada satu hal penting: hidup sebagai queer bukan hanya tentang diterima atau punya pasangan. Hidup queer adalah tentang memilih diri sendiri—berulang kali—meski dunia menolak. Keberanian sejati adalah tetap bertahan, mencintai, dan melangkah dengan kepala tegak.
Saya masih punya harapan. Suatu hari, saya ingin bertemu seseorang yang cukup berani berjalan bersama saya. Tak harus sekeras saya di jalan, tapi cukup kuat untuk menerima dirinya sendiri. Seseorang yang bisa saya bawa pulang tanpa gentar menghadapi tatapan keluarga, dan melihat saya bukan sebagai “penyesat,” melainkan pasangan yang layak dicintai.
Sampai hari itu tiba, saya berdamai dengan kenyataan bahwa mungkin jalan hidup saya akan lebih banyak diwarnai aksi dan protes. Dan cinta yang saya cari mungkin tidak selalu hadir dalam bentuk pasangan, melainkan lewat solidaritas, sahabat, dan komunitas.
Ketika saya menutup Concerning My Daughter, saya tahu ini bukan sekadar cerita ibu dan anak. Ini tentang saya. Tentang kita. Tentang semua orang queer di Asia yang masih belajar menyeimbangkan cinta dan luka dalam lingkaran keluarga.
















