Dua Dekade ‘Tentang Dia’ dan ‘Detik Terakhir’: Representasi Lesbian dan Tragedi Cinta Beda Kelas

Tepat dua dekade lalu, dua artefak penting dalam sejarah representasi queer di layar Indonesia secara kebetulan rilis hampir beriringan. Dirilis 2005 lalu, mereka adalah Tentang Dia karya Rudy Soedjarwo dan Detik Terakhir garapan Nanang Istiabudi.
Kehadiran keduanya terasa unik—atau bahkan, mengejutkan—dalam konteks sinema Indonesia, karena menempatkan hubungan lesbian sebagai poros emosional narasi. Bukan sekadar sebagai subteks maupun subplot, seperti kehadiran karakter lesbian lainnya di film-film Indonesia.
Dua dekade setelah rilis, belum ada lagi film arus utama lain di Indonesia yang secara eksplisit menempatkan sepasang perempuan queer sebagai pusat cerita secara setara. Karakter-karakter seperti Naomi dan Gia dalam Selamat Pagi, Malam (2014) atau Suci dan Asih dalam Yuni (2021) mungkin lebih lekat dalam ingatan penonton hari ini. Namun, dua pasang lesbian ini hadir sebagai bagian dari narasi ansambel yang lebih besar: Mereka bukan karakter utama.
Minimnya representasi ini bukan hanya persoalan lokal, melainkan gejala regional di Asia Tenggara. Film-film tentang queer perempuan masih sangat langka, baik dari sisi produksi maupun distribusi. Bahkan di negara seperti Thailand yang dikenal lebih progresif terhadap isu LGBTQ+, kisah tentang lesbian atau biseksual perempuan tetap kalah dominan dibanding genre boys love (BL) yang laris secara komersial.
Baca juga: Film di Asia Tenggara Belum Inklusif, Minim Representasi Lesbian dan Transpuan
Film lesbian pun lebih sering hadir dalam konteks tragedi atau penderitaan, alih-alih keberdayaan atau otonomi. Produser Malaysia Lina Tan menyoroti bahwa bahkan perempuan cis-hetero saja masih sering dikotakkan dalam peran stereotipikal dan heteronormatif; apalagi queer perempuan. Mereka nyaris tak diberi ruang. Ia menciptakan situasi tubuh, relasi, dan hasrat perempuan queer tidak hanya dihilangkan, tetapi juga disensor secara struktural oleh industri.
Tentang Dia dan Detik Terakhir, karena situasi tersebut, jadi terasa mencolok. Bukan cuma kesamaan tahun rilisnya yang bikin menarik. Membaca ulang keduanya dalam konteks hari ini—baik dari segi naratif, simbolik, dan gestur sinematik—mengarahkan perhatian saya pada kesamaan lain yang tak kalah jauh menariknya. Dua film ini sama-sama merekam cerita cinta dua perempuan, dari kelas berbeda, dalam bingkai narasi yang tragis.
Lalu, apa artinya buat industri film, penonton, dan orang-orang queer sendiri?
Dua Film, Satu Pola: Cinta Beda Kelas dan Ujung Tragis
Tentang Dia bercerita tentang relasi antara Gadis (Sigi Wimala), remaja dari keluarga berada, dengan Rudi (Adinia Wirasti), perempuan tomboi dari kelas pekerja, berkembang perlahan melalui pertemuan tak disengaja. Sementara Detik Terakhir menggambarkan Regi (Cornelia Agatha), anak konglomerat yang menjalin hubungan lesbian dengan Vela (Sauzan), perantau dari Manado yang mengadu nasib di kerasnya Jakarta. Kedua kisah ini diakhiri dengan kematian karakter queer dari kalangan bawah: Rudi dan Vela.
Film queer yang berujung tragis bukanlah anomali di era 1990-an hingga awal 2000-an. Di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia, representasi karakter queer saat itu masih sangat dipengaruhi norma heteronormatif dan moralitas publik yang menganggap deviasi seksual sebagai bentuk penyimpangan—yang harus ditebus lewat penderitaan.
Dalam banyak kasus, kematian karakter queer diposisikan sebagai moral closure, semacam pengingat bahwa yang bukan heteroseksual tidak layak untuk berakhir damai atau bahagia. Di Hollywood, narasi ini dikenal sebagai bury your gays trope—tak ada cerita bahagia buat queer di layar. Di Indonesia, tempat hak-hak hidup queer masih didiskriminasi, film-film queer dengan ujung tragis bahkan mirip dengan cerita-cerita yang membicarakan kelas, kelompok miskin, dan narkotika: diberi nuansa, tapi diganjar tragedi.
Baca juga: Hasrat Blak-blakan Lesbian: Kejayaan Penyanyi dan Lagu Sapphic yang Lama Ditunggu
Dalam kacamata representasi, Tentang Dia dan Detik Terakhir memang tercatat progresif karena berani menempatkan relasi lesbian jadi narasi sentral. Namun, sulit untuk tidak membaca cerita-cerita seperti Tentang Dia dan Detik Terakhir sebagai kompromi industri terhadap tekanan sosial-politik: Queer boleh ada, asal mereka menderita. Tragedi menjadi semacam “izin edar” yang menghindarkan film dari tuduhan glorifikasi identitas selain heteroseksual. Kematian Rudi dan Vela jadi penanda keberpihakan itu.
Buat penonton queer sendiri, merayakan film-film queer di Indonesia kadang jadi dilema. Di satu sisi, representasi sekecil apa pun tetap memberi visibilitas; tapi di sisi lain, narasi yang selalu berakhir dengan penderitaan menciptakan efek yang melemahkan; seolah menegaskan bahwa cinta dan tubuh queer tidak sah.
Maka, penting untuk membaca kembali pola ini bukan sekadar sebagai gaya naratif. Ia juga ketimpangan sosial-budaya tentang siapa yang “diperbolehkan” ada dalam cerita.
Kedua film ini memberi jejak penting dalam sejarah sinema Indonesia, sekaligus membuka ruang bagi penonton queer untuk melihat diri mereka—meskipun belum sepenuhnya utuh—di layar lebar. Namun, jika dibaca dari perspektif hari ini, representasi yang ditawarkan dua film tersebut juga berisiko mengalienasi. Lewat keduanya, kita bisa membaca Gadis dan Regi sebagai representasi queer mapan yang hidupnya relatif aman dan diberi ujung netral, sementara Rudi dan Vela adalah tubuh queer proletar yang boleh dibuang, atau dikorbankan.
Penggambaran ini bisa jadi cerminan kelompok queer kelas bawah di Indonesia yang memang lebih nelangsa. Tak seperti Gadis, Regi, dan kelompok queer borju yang lebih punya agensi, pilihan hidup Rudi dan Vela memang dipotret terbatas dan dekat dengan penderitaan.
Kecenderungan menghadirkan karakter queer dari kelas borju tak lepas dari siapa yang memproduksi film dan kepada siapa film ditujukan. Tentang Dia dan Detik Terakhir sama-sama diproduksi setelah Reformasi 1998. Kejatuhan rezim otoriter Soeharto membuka keran eksplorasi yang dimanfaatkan sineas muda untuk mengangkat isu-isu yang sebelumnya ditabukan, termasuk seksualitas.
Sebelum rezim otoriter Soeharto tumbang, karakter queer di perfilman Indonesia cuma tampil jadi sosok aneh dan bahan olokan. Misalnya, yang paling terkenal, Betty, waria yang diperankan Benyamin Sueb dalam Betty Bencong Slebor (1978). Selepas Reformasi 1998, karakter-karakter queer hadir dengan kedalaman dan nuansa lebih kompleks. Misalnya, karakter Nino (Tora Sudiro) dari Arisan! (2003) karya Nia Dinata. Ia digambarkan kompleks dan tidak satu dimensi: Punya pekerjaan mapan, hidup layak, punya pasangan, bisa jatuh cinta, dan kehidupan normal ala kelas menengah Jakarta.
Bukan cuma Arisan!, sepanjang 2000–2010, film-film seperti Coklat Stroberi (2007) dan Janji Joni (2005) menampilkan figur queer dalam lanskap urban, kosmopolitan, dan terdidik—jauh dari gambaran queer kelas ekonomi rentan.
Baca juga: Solidaritas Bersyarat: Merefleksikan Karakter Transpuan dari ‘Bid’ah Cinta’ di Pride Month
Identitas queer, setidaknya di layar, tidak terlihat sebagai bagian dari pengalaman lokal yang kompleks, melainkan sebagai penanda modernitas dan gaya hidup impor yang datang bersama liberalisasi ekonomi dan estetika urban. Dalam kerangka ini, Gadis dan Regi menambah representasi queer borjuis, sementara Rudi dan Vela adalah tubuh queer proletar yang rentan.
Antara Dua Tipe Estetika: Ambiguitas dan Kegamblangan
Selain pola ujung tragis dan cinta beda kelas yang mirip, Tentang Dia dan Detik Terakhir menarik dibaca berdampingan karena pendekatan estetikanya yang berbeda.
Tentang Dia mengambil pendekatan subtil, yang sebagian besar bersandar pada gestur dan framing sinematik. Film ini tidak pernah menyebut dua tokoh utamanya sebagai pasangan, dan malah memilih membingkai relasi Gadis dan Rudi dalam ambiguitas yang sarat emosi. Dalam salah satu adegan kunci, Gadis bertanya “Sebenarnya hubungan kita ini apa?”, yang kemudian direspons Rudi secara defensif: “Jadi lo pikir gue lesbi dan gue naksir lo?”
Pembacaan literal terhadap adegan ini bisa berujung pada penyangkalan identitas queer keduanya.
Namun, dalam konteks sosial Indonesia yang masih menstigmatisasi identitas selain heteroseksual, pernyataan Rudi lebih tepat dibaca sebagai mekanisme pertahanan. Maimunah dalam studinya, The Negotiation Between Queer Spectatorship and Queer Text, menegaskan bahwa sinema Indonesia kerap menggunakan strategi ambiguitas dan penyamaran sebagai cara untuk menyelundupkan representasi homoseksual tanpa harus melawan secara frontal norma dominan. Rudi, dengan nama maskulin yang ia pilih sendiri, penampilan tomboi-nya, dan kedekatan emosional yang intens dengan Gadis, adalah contoh queer coding yang cukup terang, tanpa perlu dinyatakan.
Bandingkan ini dengan Detik Terakhir, terutama pada karakter Regi yang tak punya ambiguitas.
Dalam salah satu adegan kilas balik di awal film, Regi kecil diperlihatkan secara instingtif sudah memiliki kecenderungan menatap tubuh perempuan. Cara film menggambarkan tubuh Regi pun menegaskan performativitas gender yang umum dilakukan kelompok lesbian ataupun transpria: Ia membebat dadanya, mengenakan pakaian maskulin, dan secara bebas menyambut hasratnya terhadap perempuan. Tapi keberanian representasi ini hadir beriringan dengan kekejaman emosional yang dilakukan pada karakternya, terutama Vela. Ia diperlihatkan diperkosa, sakau berkali, dan akhirnya bunuh diri. Semua ditampilkan dalam scene yang panjang dan berulang. Bahkan kadang terasa kalau film ini sengaja membiarkan kamera bertahan terlalu lama memotret momen penderitaan Vela.
Jika Tentang Dia memilih untuk menyamarkan penderitaan Rudi melalui kematiannya yang terjadi di luar frame, Detik Terakhir secara brutal menguliti Vela dalam rangka mengilustrasikan kehancuran emosional Regi.
Kedua film berujung pada ujung cerita yang sama: love interest queer dari kelas bawah tidak bertahan hidup, dan protagonis borjuis kembali ke orbitnya, lebih sadar, namun tetap tidak bisa membawa hubungan itu ke dunia nyata.
Peluang Interpretasi Baru
Namun, yang menjadi kejutan menyenangkan setelah mengunjungi kembali dua karya ini, adalah ruang interpretasi yang ternyata lebih kaya dari dugaan awal saya. Dalam kasus Tentang Dia, saya merasa film ini melakukan upaya khusus untuk memberi penghormatan terhadap keintiman queer.
Hal ini paling kentara terilustrasikan dari pilihan artistik Rudy dalam mengorkestrasi tiga scene berbeda yang semua mengambil latar di rooftop. Diambil menggunakan wide shot dari belakang, Gadis dan Rudi duduk bersisian menghadap cakrawala, menciptakan kesan intim, rentan, dan tertutup dari tatapan publik. Reverse shot standar tidak digunakan saat mereka sedang berdialog, alih-alih, kamera perlahan menjauh, seolah tahu bahwa ruang ini bukan untuk konsumsi siapapun selain mereka berdua.
Sebaliknya, Detik Terakhir, secara tampilan sangat mewakili zamannya. Akan mudah bagi audiens hari ini untuk menyalahkan kekunoan teknologi sebagai penyebab presentasinya yang kadang memang terkesan amatir; gemuruh microphone yang terdengar di narasi voice-over, make-up luka lebam yang tidak meyakinkan, dan mixing suara yang di banyak titik membuat sulit mendengar dialog karena volumenya yang kalah dengan musik scoring.
Namun anehnya, segala kekurangan teknis ini, justru menjadi padu bila dikombinasikan dan ditakar dalam konteks cerita yang ditampilkan. Sensasi serupa juga saya dapatkan dari film-film seperti Betina (2006) dan Novel Tanpa Huruf R (2004) yang waktu rilisnya pun tidak terlalu berjauhan. Mereka adalah film yang sama-sama mengangkat tema gelap dan ditampilkan dengan brutal dan dramatisasi tinggi, di mana kesan ‘amatir’ dalam presentasinya, seperti sound mixing yang kasar dan guerilla-style camera movement, justru menjadi poin plus.
Dua dekade telah berlalu sejak Tentang Dia dan Detik Terakhir dirilis. Selama itu pula, sinema Indonesia nyaris tak pernah lagi memproduksi film mainstream yang menjadikan lesbian sebagai protagonis utama.
Yang tersisa hanya potongan nostalgia dan percakapan di media sosial seputar, salah satunya, memperdebatkan apakah Tentang Dia adalah kisah lesbian atau bukan. Tapi justru dari percakapan-percakapan itulah kita menyadari bahwa karya-karya ini tidak pernah benar-benar mati. Mereka hanya menunggu dibaca ulang, dengan lensa yang lebih peka, lebih adil, dan tentu saja, lebih queer.
