Hasrat Blak-blakan Lesbian: Kejayaan Penyanyi dan Lagu Sapphic yang Lama Ditunggu

“And other boys may need a map / But I can close my eyes / And have you wrapped around my fingers like that.”
Lirik ‘The Giver’ di atas bukan sekadar rayuan biasa. Chappell Roan sedang menampar halus ketidakpekaan laki-laki dalam relasi hetero yang kikuk dan tidak kompeten memahami hasrat perempuan. Lewat lagu ini, ia merayakan hubungan queer, terutama antar sesama perempuan, yang tidak dimiliki hubungan heteroseksual.
Yang coba Chappell tegaskan lewat lirik itu: Sebagai perempuan, ia tahu jalan—secara harfiah dan metafor—ke pusat kenikmatan dan koneksi.
Chappell tidak sendiri. Ia adalah bagian dari gelombang baru musisi perempuan yang menyuarakan pengalaman sapphic secara eksplisit dan penuh warna di industri musik arus utama hari ini. Dari estetik flamboyan hingga lirik yang tanpa malu, mereka mendobrak stereotip representasi perempuan queer yang dulu serba tersirat dan sering kali bersembunyi di balik metafora.
Baca juga: Film di Asia Tenggara Belum Inklusif, Minim Representasi Lesbian dan Transpuan
Hari ini, mereka menyanyi dengan lantang, penuh gairah, tanpa perlu meminta izin siapa pun.
Maya Salam dalam In 2024, Sapphic Stars Ruled Pop Culture, mencatat kepopuleran Chappell, Clairo, lengkap bersama Billie Eilish, Kristen Stewart, Reneé Rapp, Janelle Monáe, Kehlani, Jojo Siwa, King Princess, Hayley Kiyoko, serta para anggota Boygenius dan MUNA. Bukan cuma menaikkan visibilitas lesbianisme di pop culture, kehadiran mereka juga menghadirkan sesuatu yang tidak terang-terang dimunculkan di media kita: Perayaan hasrat lesbian, terutama dalam urusan jatuh cinta, patah hati, dan seks.
“Mereka berbicara secara jujur, lugas, bahkan eksplisit tentang ketertarikan mereka pada perempuan—baik lewat lirik lagu maupun dalam wawancara—dan menyajikan visual yang sejalan dengan itu, entah dalam film, video musik, maupun di media sosial,” tulis Salam.
Sebagai penampil, Chappell secara spesifik membangun persona panggung yang meminjam seni drag: Riasan tebal berlebihan, kostum nyentrik, dan performitas yang megah. Sebagai perempuan queer, ia menolak tampil dengan menyerahkan diri pada heterosexual male gaze, hanya demi menjangkau massa yang lebih luas.
Estetikanya adalah bentuk perlawanan: Camp, over-the-top, dan sadar bahwa keberadaan dirinya sendiri saja merupakan sebuah pertunjukan. Dan dalam konteks budaya pop yang selama ini dipenuhi ekspektasi maskulin-hetero, yang dilakukan Chappell adalah tindakan politis.
Keragaman Sapphic yang Langsung di Depan Hidung
Kalau Chappell Roan berdansa bebas sembari meneriakkan kisah percintaan lesbiannya, Clairo menyelinap pelan-pelan lewat suara lembut dan lagu-lagu lo-fi—yang membicarakan cinta sesama perempuan dengan lebih low key.
Dalam lagu seperti Sofia dan Bags, Clairo hadir dengan sensibilitas sapphic yang berbeda: Feminin, melankolis, dan intim. Ia mengajak kita masuk ke kamar tidurnya—secara literal dan emosional—dan menunjukkan bahwa kerentanan pun adalah bentuk kekuatan. Estetika khas Tumblr yang ia bawa dengan warna pastel, pakaian bertekstur lembut, dan nada lo-fi, menggambarkan queer femininity yang tidak meledak-ledak, tapi efektif menyentuh demografi queer tertentu.
Sensibilitas soft femme ini menciptakan ruang representasi lain, yang tidak selalu harus flamboyan atau konfrontatif.
Baca juga: Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’
Ia adalah alternatif, tapi tetap radikal dengan kefemininannya. Dalam lanskap budaya yang punya kecenderungan menampilkan perempuan queer sebagai objek pandang, perwujudan fantasi untuk laki-laki (termasuk laki-laki gay), kehadiran artis seperti Clairo menciptakan narasi dari dalam (inner narrative): Narasi tentang kelembutan, kegugupan, dan cinta yang tak harus spektakuler.
Sederhana, tapi Jarang Dirayakan Terbuka di Media: Hasrat Blak-blakan Lesbian
Selain menampilkan keragaman cerita-cerita sapphic yang belum pernah hadir seblak-blakan ini di media, para musisi queer seperti Chappell dan Clairo juga membawa hasrat sensual yang sudah lama ditunggu—karena berabad-abad disensor dari panggung arus utama.
Dalam esainya di Them, penulis dan musisi James Factora, bercerita tentang progres lagu-lagu sapphic yang dibawa Chappel dan gelombang penyanyi perempuan queer dan nonbiner di era ini. “Kini menjelang pertengahan 2020-an, percaya enggak percaya, peta musik pop makin jelas bergeser ke arah yang jauh lebih sensual. Bukan cuma jumlah seleb perempuan queer yang makin banyak, tapi mereka juga semakin terbuka bicara tentang seks sebagai bagian utama dari karya seni mereka,” tulis Factora.
Ia mencatat, lagu “Touch Me”, hasil kolaborasi Kehlani dan Victoria Monét sebagai momen penting untuk melacak sejak kapan “gelombang horny” ini muncul. Tiga tahun setelah lagu itu rilis, Monét mengonfirmasi bahwa ia dan Kehlani memang pernah pacaran, dan lagu itu ditulis untuk Kehlani.
Billie Eilish, salah satu bintang pop terbesar saat ini, lewat album terakhirnya, Hit Me Hard and Soft, juga mengungkapkan ketertarikannya pada perempuan secara lebih terbuka. Seperti yang tersuratkan dalam lagu Lunch, ia membicarakan hasrat terhadap tubuh perempuan secara jujur dan sensual.
“I could eat that girl for lunch / Yeah she dances on my tongue / Tastes like she might be the one / And I can never get enough.”
Hal ini juga masuk catatan Factora. Musisi sebesar Billie tentu punya efek berbeda. Dalam wawancara bersama Rolling Stone, ia bilang inspirasi lagu ini datang setelah Billie sadar bahwa ia pengin wajahnhya “ada di dalam vagina seseorang”.
Kolaborasi dengan Charli XCX dalam versi remix lagu Guess memperkuat narasi ini. Terutama saat Billie menyisipkan lirik, “Charli like boys, but she knows I’d hit it”—sebuah baris yang terdengar seperti selorohan asal, tapi mengandung pengakuan yang jelas akan fluiditas hasrat.
Baca juga: ‘Man of the Year’ dari Lorde dan Sejarah Panjang Nyanyian Sumbang Melawan Patriarki
Menariknya, Billie tidak pernah melabeli dirinya dengan orientasi seksual yang spesifik. Tapi justru itu intinya: Bagi generasi musisi queer hari ini, keterbukaan bukanlah soal deklarasi formal, tapi kehadiran yang konsisten dalam karya.
Mereka tidak perlu menjawab pertanyaan media dengan label, karena jawabannya sudah ada dalam lirik, produksi visual, dan performa mereka. Ini adalah pendekatan yang tidak hanya reflektif terhadap zaman, tapi juga terhadap cara identitas queer bekerja: Cair, berlapis, dan tidak selalu ingin dikotakkan.
Jangan Lupa Perjuangan Pendahulu
Factora juga mengingatkan, kebebasan yang diraup dan dikapitalisasi musisi-musisi perempuan queer dan nobiner hari ini tidak terlepas dari perjuangan pendahulu. “Ma Rainey, musisi blues, sudah nyanyi soal relasi dengan perempuan sejak tahun 1920-an. Tapi tetap saja rasanya menyebalkan bahwa perempuan kulit hitam queer sering diabaikan dalam narasi pembebasan seksual—padahal mereka justru sering jadi pionir, bukan cuma di musik, tapi juga di budaya yang lebih luas,” tulis Factora.
Namun, pertanyaan yang juga tidak bisa dihindari adalah tentang koneksi tren ini dengan strategi industri.
Ketika musisi queer kini menjadi headliner di festival-festival musik besar, menjadi wajah untuk iklan jenama high-end, dan menjadi ikon global, kita juga perlu menyadari bagaimana kapitalisme bekerja dengan cepat memoles identitas untuk dijual. Representasi queer, termasuk yang sapphic, bisa menjadi alat pemasaran, terutama ketika dikemas dalam estetika yang dianggap “aman” dan bisa dikonsumsi massal.
Tapi, bahkan dalam ambiguitas itu, penting untuk tidak mengabaikan nilai representasi yang dibawa para musisi queer. Sebab, belum semua tanah di dunia ini merayakan dan tidak mendiskriminasi orang-orang queer. Bagi banyak pendengar muda queer, melihat perempuan seperti mereka bernyanyi, menari, dan mencintai tanpa malu adalah hal revolusioner.
Factora sendiri, dalam esai yang sama, membandingkan perasaan bungahnya ketika lagu “Same Love” karya Macklamore featuring Mary Lambert (seorang lesbian) rilis pada 2012, dengan hari ini: Ketika hasrat seksual lesbian dinyanyikan blak-blakan.
“Sesinis apa pun aku terhadap wacana representasi, kenyataannya tetap terasa beda saat kamu bisa melihat bayangan masa depanmu di media,” tulisnya. “Dan kadang, saat aku menari mengikuti irama lagu Chappell Roan “Red Wine Supernova”, rasanya seperti tubuh remajaku yang berusia 16 tahun ikut menari bersamaku—dengan segala ekspresi punk femme dan hasratnya yang akhirnya mendapat pengakuan sepenuhnya, secara setara dan utuh.”
Mereka tumbuh dalam budaya yang dulu membuat cinta antarperempuan sebagai lelucon atau fetish. Sekarang, cinta itu punya suara, punya beat, dan punya panggung utama.
Salah satu yang membanggakan dan membedakan gelombang sapphic pop hari ini adalah keberagamannya. Tidak ada satu cara menjadi queer. Kita punya Chappel yang flamboyan, Clairo yang introver, Billie yang misterius. Dan semua itu valid. Mereka tidak berbicara untuk semua perempuan queer—karena memang tidak harus—tetapi mereka membuka ruang bagi lebih banyak suara, lebih banyak tubuh, dan lebih banyak bentuk cinta untuk didengar dan dirayakan keberadaannya.
