December 10, 2025
Culture Opini

“BIRU” dari Biru Baru: Memotret Rumitnya Emosi dengan Lirik Simpel

Mendengarkan album ini seperti mendengarkan hidup saya dinyanyikan orang lain. Dengan isi, yang sayangnya, cukup menyedihkan.

  • November 20, 2025
  • 5 min read
  • 900 Views
“BIRU” dari Biru Baru: Memotret Rumitnya Emosi dengan Lirik Simpel

Album “BIRU” karya Biru Baru jadi teman saya untuk merefleksikan setiap beban emosional yang harus saya bayar dalam hidup ini. Isinya lengkap, bisa bikin menangis, bergoyang tipis, atau menangis sambil bergoyang tipis. 

Embusan napas panjang keluar begitu saja dari hidung, setelah membaca email di suatu sore. Begini kira-kira bunyinya: “Kami belum dapat melanjutkan proses rekrutmen Anda ke tahap selanjutnya”. Hanya butuh lima menit untuk bengong, lalu saya mengambil sepeda di teras rumah, memakai earphone, dan memutar lagu Kalah Lagi dari duo Biru Baru. 

Rute bersepeda dari rumah di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat ke taman Tebet, Jakarta Selatan jadi saksi teriakan saya menyanyikan, “hari ini aku kalah lagi, bukan masalah masih ada esok hari.” Potongan lirik yang sangat cocok untuk menunda angan-angan tentang gaji UMR yang sudah saya rincikan penggunaannya. 

Baca juga: Kisah Sisters in Danger x Simponi Ubah Luka Jadi Suara

Ritual ini enggak cuma sekali saya lakukan. Sering. Menemani saya setiap lagi-lagi kalah dalam hidup. Pokoknya, setiap saya dipecundangi, angka pemutaran Kalah Lagi akan bertambah. 

Lagu ini jadi pintu masuk saya ke album “BIRU” yang baru dirilis pertengahan 2025. Layaknya anak muda zaman sekarang, saya menemukannya dari for your page (FYP) TikTok. Akun @officialbirubaru mengunggah video Talitha Belinda, vokalis sekaligus gitaris, menyanyikannya secara live

Saya pun menutup TikTok setelah video pendek itu selesai. Membuka platform layanan streaming musik dan mengetik Kalah Lagi di kolom pencarian. Perpaduan pola drum upbeat yang bikin kepala ngangguk, riff catchy dari gitar dengan distorsi tipis, vokal Talitha dan Goldan Divembryan yang sopan di telinga, serta lirik tentang kekalahan yang penuh harap membuat saya jatuh cinta hanya dalam sekali putar. 

Terlebih lagi, bridge yang berbunyi: “senyum palsu di depan cermin, meyakinkan diri bahwa semua mungkin, walau hari ini ku kalah lagi, bukan berarti selamanya seperti ini,” yang diulang-ulang terus-menerus pun berhasil memantik sedikit semangat dalam keadaan payah. Sayangnya, saya tidak relate hanya dengan satu lagu di album yang penuh kesedihan ini. 

Baca juga: Dari ‘Backburner’ sampai ‘The Apartment We Won’t Share’: Kenapa Sosok Ibu dan Ayah Kerap Muncul di Lagu NIKI?

Dikorek Lirik yang Membicarakan Beban Emosional

Album ini dibuka dengan track berjudul Jika Kamu Benar-Benar Mengenalku. Tidak ada vokal yang menyanyi. Duo ini hanya berbicara di atas instrumen yang semakin ramai seiring bertambahnya durasi. 

Rangkaian kalimat itu berisi mimpi yang sudah lama ditinggalkan, pemikiran yang hanya dibagi kepada orang-orang terdekat, dan ketakutan akan masa depan. Ini membuat saya bertanya: kepada siapa semua kalimat ini bisa saya katakan? 

Lagu Kata Mereka Aku… seperti menjelaskan kenapa enggak semua orang bisa “benar-benar mengenalku.” Berbicara tentang sulitnya mencari manusia jujur yang tidak suka menghakimi, reff lagu ini memperdengarkan bisingnya penghakiman orang lain. 

Dibalut dengan distorsi gitar yang berisik, “Kata Mereka Aku… mengunggah untuk tidak mengiraukan penilaian yang tidak produktif, seperti: 

Kata mereka aku hanya beruntung /

Kata mereka aku belum seberapa /

Kata mereka aku harus banyak berdoa / 

Kata mereka aku terlalu apa adanya /

Kata mereka hanya kata-kata mereka /

Sementara, memiliki koneksi berharga di tengah dunia yang bising ini ternyata tidak cukup. Ada banyak hal yang bisa membuatnya pudar. Salah satunya waktu. Ini tergambar dalam Kita Cari Waktu Lain yang berhasil membuat saya dan seorang teman bernama Abel, merasa dikorek oleh setiap liriknya. 

Kami mendengarkannya di balkon kantor sebulan lalu. Suara hujan menemani lantunan alternatif pop ala band 1975, menceritakan dua orang yang selalu menunda berbagi beban emosional. Saya dan Abel pernah tak menceritakan keluh-kesah, karena orang di seberang sana mungkin punya masalah sendiri dan tidak mampu menerima emosi negatif lagi. 

Maka, penggalan lirik: “Pesan panjang sudah kusiapkan, tak kukirim juga akhirnya, apa kau juga begitu? Merasa seperti aku? bagai pisau bedah yang menemukan pengalaman kami. Abel bercerita, ketika tak bisa membagi bebannya kepada sahabat yang juga sedang kesulitan. Dia mencoba memahami situasi, tetapi penundaan demi penundaan terlanjur mengubah hubungan. 

Baca juga: Negatifa, Musik Keras, dan Laki-Laki yang Baru Mulai Mendengarkan Isu Perempuan

“Ujung-ujungnya malah enggak jadi atau kalau jadi banyak yang ketahan, which is menurut gue itu bikin degradasi kualitas hubungan. Mikirnya cari waktu lain, entar juga bisa, tapi kayak enggak pernah kesampaian,” kisahnya. 

Di sisi lain, verse kedua yang membicarakan keluarga tak lagi sebagai tempat mengadu, sungguh familiar dalam hidup saya. Ada hal seperti percintaan, pertemanan, dan karier yang tak bisa saya utarakan ke orang rumah. 

Bukan karena mereka tidak peduli. Hanya saja dinamika hubungan di masa lalu memaksa kami untuk memiliki rahasia satu sama lain dan tak terbiasa membicarakan perasaan. 

Mendengar album BIRU bikin saya merasa dibedah oleh lirik-lirik yang disusun dengan rima yang rapi, kata yang mudah dipahami, tetapi mampu menjelaskan kompleksitas emosi. Ini juga didukung oleh komposisi musik yang ditata dengan baik. 

Struktur lagu dibuat bervariasi, sehingga tak melulu menggunakan pola nada yang itu-itu saja: verse, chorus, outro. Duo ini membuat jembatan yang beragam untuk menyambungkan setiap bagian. Pengulangan chorus-nya dipakai seperlunya, tetap nyantol, tetapi enggak bikin bosan. Saya hanya berharap, suatu saat saya bisa mendengarkannya bukan untuk merefleksikan masa kini, melainkan mengenang masa lalu. Tapi siapa yang bisa jamin hidup tidak akan membuat saya Kalah Lagi?

About Author

Andrei Wilmar

Andrei Wilmar bermimpi buat jadi wartawan desk metropolitan.