Korean Wave

Review Drakor ‘Our Blues’: Warna Biru dengan Perspektif Baru

Tak cuma menarik, format omnibus dalam ‘Our Blues’ ternyata jadi pengalaman menonton yang sungguh asyik.

Avatar
  • June 14, 2022
  • 6 min read
  • 3218 Views
Review Drakor ‘Our Blues’: Warna Biru dengan Perspektif Baru

Blue atau Blues sering dimaknai sebagai perasaan melankoli, kesedihan, atau bahkan depresi. Mungkin bahasa zaman sekarangnya, galau.

Awalnya saya agak skeptis dengan judul Our Blues yang diberikan penulis naskah No Hee-Kyung dan sutradara Kim Kyu-Tae pada karya terbaru mereka. Rasanya kurang menjual dan terlalu biasa. Namun, setelah menonton 20 episode drama Korea Selatan (drakor) ini di Netflix, saya mengerti mengapa Our Blues jadi judul paling tepat.

 

 

Perasaan skeptis itu muncul karena episode pertamanya yang cukup berbeda dari serial atau drakor pada umumnya. Kebanyakan drakor, biasanya punya premis jelas tentang cerita yang akan mereka sampaikan, bahkan sebelum episode pertamanya selesai.

Start-Up misalnya, menceritakan tentang mimpi-mimpi anak muda yang ingin membangun perusahaan rintisan. Vincenzo menceritakan anomali anak mafia yang baik hati. Itaewon Class menceritakan tentang balas dendam. Sementara, Our Blues menghabiskan episode pertamanya dengan rutinitas Jung Eun Hi (Lee Jung-Eun), seorang pemilik toko ikan, dan Choi Han-Su (Cha Seung-Won), laki-laki kota yang baru balik kampung. Di episode kedua, meski masih berlatas Pulau Jeju, tokoh utamanya berubah.

Belakangan baru saya paham, kalau ternyata drakor Our Blues dibikin dengan format omnibus. Naskahnya dijahit dari mosaik hidup beberapa penduduk Pulau Jeju, yang membentuk delapan storyline utama.

Baca juga: ‘Hacks’: Komedi Kualitas Premium

Tak cuma menarik, format omnibus ini ternyata  menjadi pengalaman menonton yang sungguh asyik. Tiap minggu, saya jadi menebak-nebak kisah mana yang akan dikulik berikutnya. Untuk menjaga rasa penarasan penonton, No Hee-Kyung si penulis naskah juga sengaja tak selalu menuntaskan tiap storyline. Beberapa plot dibiarkan bolong, agar ditambal di episode lainnya.

Plot-plot ini beragam. Ada cinta pertama yang sepertinya akan bersemi kembali, ada percintaan dua sepasang remaja yang menghasilkan kehamilan yang tidak diinginkan, ada seorang perempuan yang sedang berada di titik rendah hidupnya dan bertemu lagi dengan cinta lamanya, ada sepasang teman lama yang sekarang jadi musuh, ada sepasang kekasih yang hubungannya diuji sebuah rahasia, ada dua teman lama yang dinamika hubungannya sangat dipertanyakan, ada nenek dan cucu yang terpaksa tinggal bersama, dan yang terakhir adalah kisah ibu dan anak yang lebih kompleks dari dugaan mereka.

Ketika Our Blues dibuka, karakter-karakter ini tidak sadar kalau mereka punya masalah yang belum terselesaikan.

Latar biru dari langit dan laut Jeju menipu mereka. Hidup yang sepertinya tenang dan lambat ternyata mulai bergejolak, saat masalah datang satu per satu. Mereka akhirnya terpaksa harus menghadapi perasaan biru (blues)-nya masing-masing.

Baca juga: Vecna: Simbol Depresi, Kebencian, dan Musuh Besar ‘Stranger Things 4 Vol.1’

Konsep Omnibus yang Efektif dalam Drakor  Our Blues

Sebenarnya konsep omnibus atau multi-plot bukan hal asing dalam film. Namun, ini pertama kalinya saya menyaksikan drama Korea menggunakan format begini sebagai gaya bertutur, dan ternyata hasilnya sungguh efektif.

Sampai episode tiga, jujur, saya masih agak bingung menikmati Our Blues. Baru setelah episode keempat, saya baru bisa benar-benar tenggelam ke dalam dunianya.

Judul tiap episode dibuat dengan nama karakter yang akan jadi karakter utama. Teknik ini mempermudah kita memahami format omnibus yang dipilih. Tiap episode lalu fokus pada karakter-karakter spesifik, yang bisa jadi sebelumnya cuma muncul sekelabat alias bystander atau cameo.  Bukan cuma memberi efek pada semesta Our Blues yang terasa luas dan megah, tapi juga efektif mengecoh penonton.

Ketika kita pikir kita kenal pada satu karakter di salah satu episode, ternyata di episode lain ia akan ditampilkan dengan cerita lebih kompleks. Misalnya, hubungan antara Lee Dong-Seok (Lee Byung-Hun) dengan ibunya sendiri, Kang Ok-Dong (Kim Hye-Ja). Sebelum episode 18, saya pikir cara Dong-Seok memperlakukan ibunya sendiri sangatlah jahat. Namun, begitu saya mendapatkan gambaran seutuhnya di episode lain, perilaku Dong-Seok yang “sebegitunya” pada ibu sendiri jadi masuk akal.

Format omnibus ini juga yang bikin tiap episode Our Blues terasa berbeda. Tiap cerita diperlakukan berbeda, sehingga rasanya seperti menonton film-film kecil yang sensasinya juga beda. Belum lagi, para pemain papan atas yang bertabur di delapan cerita utamanya bikin Our Blues jadi drakor terbaik tahun ini buat saya.

Kedalaman Cerita dan Konflik yang Berkelindan

Plot Our Blues betul-betul beragam. Mulai dari kisah anak-ibu yang mengharu-biru, cerita tentang persahabatan dramatis, sampai roman picisan menggemaskan, semuanya ada di sini.

Plot-plot itu dijahit topik-topik serius: Mulai dari kesulitan finansial, kehamilan remaja, depresi, kekerasan dalam hubungan, disabilitas, sampai pertemanan toksik. Our Blues mungkin tidak akan tampil sebaik itu tanpa tangan dingin sutradara Kim Kyu-Tae. Beberapa kali berkolaborasi dengan penulis No Hee-Kyung (Worlds Within, That Winter The Wind Blows, It’s Ok This Is Love dan Live), Kim Kyu-Tae rasanya sudah teruji membuat drakor yang sangat membanggakan.

Dari segi presentasi, Our Blues juga sangat enak dinikmati. Sinematografinya amat enak dilihat, tanpa kesan berlebihan seperti kebanyakan drakor. Editing-nya juga sangat efektif. Ceritanya mengalir dengan mulus dan tidak ada satu pun episode yang membosankan. Tak ada satu pun momen tak penting. Ditambah dengan soundtrack dan musik jazz-blues yang melenakan, Our Blues tidak ada bedanya dengan film-film yang masuk festival film bergengsi.

Sementara itu, dari segi akting saya kira tidak ada yang bisa menandingi kumpulan pemainnya. Tak ada aktor yang salah diletakkan. Semuanya memainkan peran mereka dengan sangat baik, membuktikan pepatah lama di dunia perfilman yang bilang: Tak ada peran kecil, yang ada aktor kecil.

Baca juga: ‘Stranger Things 4 Vol. 1’: Eksplorasi ‘Satanic Panic’ dan Trauma Amerika 80-an

Lee Byung-Hun, misalnya, bikin saya kaget. Citranya sebagai aktor papan atas tak bisa bohong karena sangat meyakinkan memerankan bapak-bapak penjual baju di pasar. Shin Min-A sebagai Min Seon-A menampilkan depresi yang sangat realistis. Belum lagi, Han Ji-Min sebagai Lee Yeong-Ok dan Kim Woo-Bin sebagai Park Jeong-Jun yang tak hanya punya chemistry sangat baik dan tampil menggemaskan, tapi juga berhasil mengupas lapisan karakter mereka dengan sempurna.

Nama-nama aktor veteran seperti Ko Du-Shim, Lee Jung-Eun, dan Kim Hye-Ja tentu saja juga musatahil gagal mempersembahkan penampilan terbaik.

Salah satu yang mengejutkan, beberapa nama baru juga tampil memukau. Park Ji-Hwan dan Choi Young-Joon membuat saya percaya bahwa mereka adalah teman lama. Sementara, perwakilan aktor mudanya, Roh Yoon-Seo dan Bae Hyun-Sung, masing-masing berhasil memberikan penampilan yang tiga-dimensional. Sehingga kisah cinta mereka tidak terlihat “cetek”, meski mereka adalah karakter paling muda dalam Our Blues.

Di akhir Our Blues, pembuat drakor ini memberikan pesannya. Dengan latar pantai dan langit biru, seutas tulisan muncul: “There is one mission we should never forget. We are not born to suffer or be unfortunate on this Earth, but only to be happy.”

Semua masalah yang ditampilkan dalam Our Blues memang lumayan berat. Cerita-cerita yang mungkin, bikin hampir semua orang bisa relate. Salah satu dari kita pasti punya masalah dengan teman, pasangan, saudara, atau orang tua kita. Meski memiliki konflik bertumpuk, Our Blues sebetulnya fokus pada satu hal yang jadi benang merah di potongan mosaiknya: yaitu, proses sembuh alias healing. Semua karakternya membutuhkan proses itu.

Menyembuhkan diri sendiri sangat penting, agar kita akhirnya bisa melihat warna biru dengan perspektif yang baru.

 

Our Blues dapat disaksikan di Netflix



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *