Jika Maskulin adalah Soal Otot dan Dominasi, Saya Tak Perlu Jadi Lelaki
Ada beberapa karakter lelaki maskulin yang menjadi ekspektasi publik: Gagah, berotot, suka duel, mendominasi, dan homofobik. Saya menolak semua itu.
Dalam pandangan gender tradisional-konservatif, laki-laki adalah manusia yang mempunyai penis dan zakar, dada yang bidang, kumis, janggut, serta jakun. Identitas kelaki-lakian selalu merujuk pada tubuh biologis, pada struktur raga-fisik. Dengan demikian, definisi laki-laki sangatlah sempit asosiasinya mesti bersesuaian dengan jenis kelamin saat seseorang dilahirkan. Dalam kajian gender, konsep tersebut dikenal dengan nama cisgender.
Di tengah kehadirannya dalam konteks sosial dan budaya, laki-laki tentu berelasi dengan identitas atau ekspresi gender lainnya. Laki-laki mesti bersikap dominan, apalagi kalau mau menunjukkan sifat dirinya yang jagoan. Seakan-akan menjadi wajar jika laki-laki berpandangan dan berperilaku yang misoginis dan homofobik. Laki-laki sejati harus bisa menyudutkan perempuan sekaligus merasa jijik dengan kehadiran temannya yang gay.
Indikator kesempurnaan laki-laki juga dilihat dari faktor fertilitas atau kesuburan, katanya “laki-laki mandul itu kurang jantan”. Begitulah kiranya imaji masyarakat tentang laki-laki dengan segala sikapnya yang arogan dan superior.
Istilah yang mencoba untuk mengonsep sifat-sifat yang selalu diidentikkan dengan laki-laki bernama maskulinitas. Akar kata dari istilah tersebut, yakni muscus yang artinya tikus kecil, menunjuk pada otot biseps yang dibayangkan selalu tumbuh pada lengan laki-laki. Derivasi katanya ialah muscle atau otot, yang masih dibayangkan identik dengan kelaki-lakian. Padahal maskulinitas merupakan seperangkat atribut, peran, ekspresi, dan perilaku yang hadir dalam konteks sosial tentang ukuran normatif menjadi laki-laki.
Ada beberapa sifat maskulin yang menjadi ekspektasi bagi masyarakat luas tentang laki-laki. Selain sifat dominan yang telah disebut di atas, laki-laki mesti berjiwa kompetitif alias terus bersaing di banyak bidang. Kemenangan personal adalah pencapaian tertinggi bagi kehidupan laki-laki. Fase-fase kehidupan merupakan level-level yang mesti dilewatinya. Bahkan dalam sikap yang ekstrem, kompetisi boleh mengizinkan laki-laki untuk mengalahkan orang lain dengan berbagai cara termasuk kekerasan. Maka bukanlah topik yang asing kalau tema obrolan geng lelaki biasanya tentang taruhan klub bola, adu tinggi gaji, hingga menang-kalah berduel: Semua soal jumlah.
Baca juga: Melawan ‘Toxic Masculinity’ di Kantor, Laki-laki Harus Dilibatkan
Katanya cara pikir laki-laki selalu rasional. Malah, kualitas bernalarnya lebih baik ketimbang perempuan. Laki-laki itu logis, sistematis, terstruktur, tidak mengedepankan emosi apalagi kalau mau mengambil keputusan. Makanya sangat wajar bahkan keren, kalau ada laki-laki yang dingin dan kalem. Memang dari sananya laki-laki itu harus teguh pendirian dan tidak dialogis.
Idealisme laki-laki diperkuat juga dengan sikap yang agresif ofensif. Jalan terbaik bagi penyelesaian konflik adalah menyerang, memecahkan vas bunga, menampar pacarnya, segalanya harus hancur lebur. Kalau bisa, menambah kekuatan dengan eksploitasi, apalagi menyangkut sumber daya.
Represi juga jadi jurus andalan yang mencirikan maskulinitas, mengekang dan menindas setiap orang yang ada di sekitarnya. Dengan segala ke-macho-annya tersebut, laki-laki berkuasa atas banyak hal, khususnya dalam menempati ruang-ruang publik.
Setelah melihat penjabaran di atas, secara sederhana maskulinitas merupakan pembingkaian terhadap sifat pembeda di antara perempuan dan laki-laki. Dengan bahasa lain, maskulinitas adalah kumpulan konsep simbolis yang kontras dengan ekstrem feminin yang pasif.
Maskulinitas juga berkaitan dengan representasi karakteristik tertentu tentang menjadi manusia, khususnya tentang narasi, nilai, dan keyakinan yang secara intens menyoal cara mengadanya laki-laki. Dalam diskursus yang lebih luas, maskulinitas menyoroti dominasi dan kekuasaan.
Pada cara pandang yang lebih kritis, selain kelaki-lakian dan maskulinitas adalah dua hal yang berbeda juga melihat bahwa menjadi laki-laki adalah proses normalisasi.
Baca juga: Belajar dari Nakamoto Yuta: Maskulin dan Feminin, Lelaki Bisa Jadi Keduanya
Singkatnya, maskulinitas adalah konstruksi sosial bukan bersifat kodrati-alamiah. Karena itu, maskulinitas tidak ada dalam ruang yang hampa, namun ada dalam konteks ruang, waktu, dan kondisi tertentu.
Akhirnya maskulinitas akan selalu dinamis dan berimplikasi pada keberagaman model-model maskulinitas. Misalnya di Skotlandia, laki-laki yang mengenakan kilt yang serupa rok adalah sesuatu yang lumrah. Seperti itu juga jika memperhatikan fenomena penggunaan make-up bagi kalangan laki-laki di Korea Selatan, biasa-biasa saja. Setiap laki-laki punya pilihan bebas untuk menganut nilai dan berekspresi dengan maskulinitas tertentu.
Opsi menjadi laki-laki termasuk dengan pengenaan atribut maskulin tertentu terbentang luas dan sangat variatif. Tidak ada satu versi maskulinitas yang lebih macho atau paling laki. Justru yang menjadi tantangan adalah maskulinitas beracun yang berkelindan dengan kekerasan dan mengakar kuat di keseharian.
Di sekian banyaknya versi, maskulinitas yang pro pada kesetaraan dan perdamaian adalah pilihan tepat bagi laki-laki. Tertutupnya wacana maskulinitas sendiri menjadi sebuah PR besar bagi kerja-kerja kemanusiaan. Maskulinitas sudah sekian lama direbut dan dimiliki secara eksklusif dalam budaya kekerasan semata.
Jika kita masih berasumsi maskulinitas adalah norma tentang jiwa yang kompetitif, maka kini maknanya mesti digeser jadi berkompetisi dalam kebaikan. Kemudian bertransformasi jadi maskulinitas yang dialogis. Maskulinitas yang demikian berorientasi pada keadilan dan kesetaraan. Maskulinitas harus mampu pula mendengar pengalaman semua pihak sebagai sumber yang sah untuk memahami realitas. Misalnya, mau memberi ruang bagi pengalaman tubuh perempuan untuk tetap nyaman dan aman berinteraksi di tengah komunitas laki-laki.
Baca juga: Korea Selatan Tolak Maskulinitas Kaku, Lalu Kenapa Masih Seksis?
Perlawanan hanya berlaku untuk kekerasan dan ketidakadilan, bukan lagi untuk manusia. Maskulinitas terbaik akan selalu mencari solusi damai bagi setiap konflik. Mendahulukan musyawarah dan kepedulian, bukan dengan arogansi dan egoisme. Laki-laki yang menghidupi maskulinitas ini saling menopang dan saling menguatkan untuk keberlangsungan kehidupan.
Rekonstruksi maskulinitas merupakan upaya untuk memulangkan hakikat kelaki-lakian pada nilai hidup yang bisa tumbuh bersama di tengah perbedaan, di area keberagaman. Maskulinitas yang tetap khas memberi identitas pada laki-laki, sekaligus mampu berdialog dengan gagasan dan aksi-aksi feminisme. Proses ini bukanlah penaklukan dan perendahan terhadap identitas laki-laki. Laki-laki tetap bisa menjadi dirinya sendiri tanpa merugikan dan memandang rendah orang lain.