Tips Jadi Pendamping Korban Kekerasan Seksual
Jika ingin menjadi pendamping korban kekerasan seksual, yang harus diutamakan adalah pemulihan korban.
Menjadi pendamping korban kekerasan seksual memang terdengar memberdayakan. Namun saya punya alasan lain saat memutuskan menjadi pendamping korban. Saya sendiri korban pemerkosaan dan tidak memiliki sistem pendukung, malah terkena victim blaming. Untuk itu saya tidak ingin orang lain mengalami hal yang sama. Saya kemudian membuka akun pendukung korban @akujuga.id.
Namun ternyata ketika terjun menjadi pendamping tiga tahun lalu, saya harus meraba-raba sendiri. Tidak seperti pedoman peliputan bagi jurnalis, misalnya, setahu saya tidak ada pedoman pendampingan korban seksual. Yang ada hanya petunjuk dari mulut ke mulut.
Banyak pertanyaan kemudian muncul di benak saya. Bagaimana menghadapi korban kekerasan seksual yang mengalami mental breakdown ketika bercerita? Bagaimana agar korban bisa pulih? Apa yang harus saya katakan agar tidak memicu trauma? Bagaimana jika korban akhirnya menempel sama kita?
Menjadi pendamping korban selama satu tahun sangat menguras tenaga. Dengan 4-5 kasus yang masuk setiap hari, saya merasakan compassion fatigue. Saya juga mengalami mental breakdown setelah menampung banyak cerita pilu.
Akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat selama dua tahun. Waktu tersebut saya gunakan memulihkan kondisi mental saya dan berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi seputar pedoman pendamping korban kekerasan seksual. Saya juga mengikuti sebuah pelatihan konselor sebaya untuk korban kekerasan seksual siber dengan Support Group and Research Centre in Sexuality (SGRC), sebuah kelompok riset yang berfokus pada isu seksualitas.
Setelah merasa pulih dan melatih daya lenting saya agar lebih kuat, awal 2020 saya memutuskan untuk kembali mendampingi korban kekerasan seksual, terutama untuk ranah daring. Namun, ternyata pertanyaan-pertanyaan di atas masih juga tetap muncul.
Ketika sebuah kampus meminta membuat penyuluhan pendamping korban, saya kemudian tergelitik untuk membuat survei kecil-kecilan dengan mencantumkan beberapa pertanyaan. Survei ini memunculkan dilema untuk kawan-kawan yang peduli isu kekerasan seksual.
Jika ada yang mengadu kepada kamu, apa akan kamu lakukan?
Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa dari 23 responden, 13 persen memilih untuk menunjukkan emosi ketika mendampingi korban kekerasan seksual; 21,7 persen memilih untuk memberi nasihat ketika mendampingi korban; dan 65,2 persen memilih untuk mendengarkan dan melakukan parafrase.
Baca juga: Berbekal Jas Hujan dan ‘Face Shields’, Layanan Kasus KDRT Terus Berjalan
Tidak ada jawaban yang benar dan salah, namun memang sebaiknya yang dilakukan ketika ada korban kekerasan seksual yang datang mengadu adalah mendengar dan parafrase pernyataan mereka. Penting untuk diingat bahwa orang yang mengadu pada kita ini adalah korban kekerasan. Artinya, mereka bukanlah seperti orang yang berbelanja ke minimarket lalu sudah tahu mau belanja apa. Sering kali korban bercerita melompat-lompat akibat trauma dan takut. Di sinilah sensitivitas pendamping diperlukan. Tugas pendamping hanya mendengar dan sesekali menanyakan detail soal 5W1H (what, when, where, who, why dan how) yang didapat dengan banyak pertanyaan berulang.
Tidak tepat rasanya ketika mendampingi korban, pendamping malah menasihati dan menyuruh bersabar. Mereka korban kekerasan seksual, bukan hanya seorang teman yang patah hati karena cintanya ditolak atau putus cinta. Menjadi korban kekerasan seksual artinya harkat, martabat, dan harga dirinya direnggut dan/atau dinodai. Sebelum sabar, yang namanya korban tentu harus pulih dulu, di sinilah peran pendamping itu penting.
Ketika mendapat aduan, mana yang paling penting didahulukan?
Pertanyaan selanjutnya dalam survei terkait dengan prioritas pendamping ketika mendampingi: Apakah untuk keadilan untuk korban atau pemulihan? Sebanyak 17,4 persen menjawab keadilan untuk korban dan 82,6 persen menjawab pemulihan untuk korban. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang benar atau salah. Namun saya sepakat dengan mayoritas pendamping, bahwa pemulihan untuk korban adalah yang paling penting. Peran pendamping lainnya adalah untuk membantu korban agar setidaknya korban dapat berdiri di kakinya sendiri terlebih dahulu.
Selemah-lemahnya iman pendamping adalah mengupayakan pemulihan untuk korban, agar korban mampu membuat keputusannya sendiri dengan didasari akal sehat dan informasi yang cukup (terutama berkaitan dengan risiko). Lagi pula, jika korban belum cukup pulih namun sudah menuju tahap lain, saya khawatir korban akan menjadi bergantung kepada pendamping. Itu akan sangat melelahkan batin baik pendamping maupun korban.
Baca juga: Nasib di Ujung Tanduk Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual
Siapa nama KTP LL?
Pertanyaan ketiga dalam survei mengenai sensitivitas pendamping korban berkaitan dengan identitas gender yang normatif. Saya memasukkan pertanyaan yang mengecoh tentang nama KTP Lucinta Luna, seorang transpuan dan selebritas. Dengan pencarian cepat saja sebenarnya dapat diketahui bahwa nama KTP Lucinta adalah Ayluna Putri. Saya mencantumkan tiga pilihan: a. Ayluna Putri; b. Maria Farida; dan c. tidak keduanya.
Sebanyak 47,8 persen menjawab Ayluna Putri, dan 52,2 persen responden menjawab tidak keduanya. Mari kita asumsikan bahwa semua orang mengetahui nama KTP Lucinta, maka artinya 52,2 persen responden dianggap tidak meyakini nama asli dia. Entah karena kurang riset, atau karena menganggap deadnaming itu dianggap hal lumrah.
Deadnaming, menurut SGRC, adalah perilaku melecehkan nama yang dipilih oleh minoritas gender dan mempublikasikan nama lahir mereka dengan tujuan untuk menghina, mencemarkan, hingga ajakan melakukan kekerasan kepada mereka. Sejujurnya saya tidak mempercayai media yang mencantumkan nama lahir seseorang bertujuan untuk mengutarakan kebenaran. Melihat berbagai berita bohong di berbagai kanal media, saya rasa semuanya setuju jika tidak seharusnya kita menetapkan identitas seseorang tanpa izin dari mereka. Jika tidak bisa menghormati identitas gender seseorang, bagaimana kita bisa menjadi pendamping korban kekerasan seksual?
Apa yang kamu lakukan ketika mengetahui foto atau video seksi temanmu tersebar di media sosial dengan caption bernuansa pornografi?
Pertanyaan lainnya berhubungan dengan kasus penyebaran gambar intim tanpa consent, yang dulu dikenal sebagai revenge porn. Dari hasil survei ini, 4,3 persen responden memilih untuk menyimpan konten yang tersebar dan tidak meneruskan penyebarannya; 13 persen responden memilih untuk mengonfirmasikan konten tersebut kepada teman korban; 30,4 persen memilih memperlihatkan konten kepada si korban; dan 52,2 persen memilih untuk bertanya kepada korban tanpa menunjukkan langsung konten terkait.
Jawaban terakhir menurut saya adalah jawaban yang paling tepat. Jika kamu di posisi korban, bagaimana perasaanmu ketika temanmu menunjukkan foto telanjangmu tersebar di dunia maya? Dalam hal ini, pendamping harus bisa memitigasi keadaan yang akan terjadi.
Baca juga: Sedihnya Melihat Aktivis Tapi Hipokrit
Konteks dari judul pertanyaan tersebut adalah mengenai penyebaran gambar intim. Ini adalah sebuah konsep kekerasan seksual baru di ranah online dengan kasus terbanyak yang saya dampingi, bersama dengan lembaga Space UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dalam payung Sisterhood, wadah organisasi orang muda yang berfokus pada kajian seksualitas di ranah kampus.
SGRC, yang juga menjadi anggota Sisterhood, pada 2018 lalu mengeluarkan penelitian yang pada akhirnya menjadi landasan kami menangani kasus kekerasan seksual siber (KSS) termasuk penyebaran gambar intim tadi. Penelitian itu menarik perhatian 54 responden yang juga merupakan korban, hanya dalam jarak waktu 10 hari. SGRC saat itu memutuskan tidak menerima pengaduan lagi jika korban yang terjaring hanya akan menjadi data advokasi tanpa dipulihkan ataupun mendapatkan keadilan.
Sekarang ini telah menjamur akun-akun Instagram pendampingan yang menawarkan kelompok dukungan untuk korban kekerasan seksual. Demikian juga setelah kasus Agni di Universitas Gadjah Mada dan kampus-kampus lain, sudah banyak yang ingin menjadi pendamping korban. Sayangnya, bagi sebagian pihak, hal ini malah menjadi ajang pamer kebanggaan, atau ingin dipandang sebagai pahlawan. Padahal menjadi pendamping itu bukan untuk mendapatkan penghargaan dan pujian, tapi tentang bagaimana korban menjadi pulih dan berdaya untuk mengejar keadilannya. Ibaratnya, kita ini cuma sidekick di proses pemulihan korban. Korban yang berhasil sintas adalah pahlawan yang sesungguhnya.
Tujuan pendampingan adalah untuk pemulihan korban. Sementara untuk keadilannya, biar korban sendiri yang menentukan karena prosesnya akan panjang. Yang sering saya temukan, pendamping malah membujuk korban untuk memproses kasusnya secara hukum ketika korban belum siap, dan lupa pada potensi risiko yang akan terjadi pada korban.
Pemulihan untuk korban itu sulit, tentu saja, namun bukan berarti kewenangan pendamping adalah untuk mengejar drama dan lampu sorot atas nama korban.