‘Sea Beast’: Ketika Sejarah Ditulis Ulang oleh Penguasa
'Sea Beast' mengeksplorasi relasi manusia dan binatang, sekaligus menggarisbawahi tentang sejarah yang ditulis ulang para penguasa demi kepentingan sendiri,
Tepat 8 Juli lalu, Netflix merilis sebuah film animasi berjudul The Sea Beast. Film animasi yang disutradarai oleh Chris Williams, sineas yang terkenal lewat Big Hero 6 (2014), Moana (2016), dan Emperor’s New Groove (2000) tanpa basa-basi langsung jadi perbincangan banyak orang. Di Indonesia sendiri, Sea Beast kini menduduki peringkat kedua 10 Film Teratas di Indonesia.
The Sea Beast memang bisa dibilang sangat memukau. Animasinya begitu detail dan realistis. Tone warna yang dipakai juga begitu vibrant, sangat menarik mata. Bukan cuma untuk anak kecil, tapi juga orang dewasa. Selain animasinya, cerita yang coba disampaikan film ini juga menarik. Sea Beast menghadirkan kisah Maisie Brumble (Zaris‑Angel Hator), anak perempuan yatim-piatu yang sangat terobsesi dengan para pemburu.
Para pemburu ini adalah orang-orang yang diutus kerajaan untuk melakukan perjalanan mematikan di lautan lepas dan membunuh monster laut atau sea beast. Diutusnya para pemburu untuk membunuh monster laut tak lain karena klaim sejarah yang disebut sebagai “Masa Kegelapan”. Masa di mana monster-monster ini dikisahkan menyerang kota-kota pesisir dan membunuh banyak orang.
Dari sejarah kelam ini, manusia pun berusaha untuk melawan balik para monster, salah satunya adalah dengan merekrut para pemburu untuk membunuh mereka. Pekerjaan bahaya itu bikin para pemburu jadi pahlawan bagi peradaban manusia. Mereka begitu dihormati. Anak-anak kecil begitu memuja mereka, ingin sekali menjadi salah satu bagian dari mereka saat dewasa kelak.
Segala penghormatan bagi pemburu hadir tak lain karena pengorbanan mereka yang begitu hebat pada peradaban manusia. Mereka rela mati dengan kehormatan di kala bertugas membunuh monster. Pekerjaan yang telah menyelamatkan banyak nyawa, sekaligus jadi alasan kenapa banyak sekali anak yatim-piatu seperti Maisie.
Maisie sendiri adalah korban dari peperangan monster laut dan manusia. Obsesinya untuk jadi pemburu membawa si gadis kecil ke dalam The Inevitable, kapal berisi para pemburu andal dari seluruh penjuru dunia. Dipimpin oleh Kapten Crow (Jared Harris) yang legendaris dan putra angkatnya Jacob Holland (Karl Urban), pasukan mereka melakukan perjalanan yang mengubah hidup Maisie dan arah peradaban manusia.
Baca juga: ‘Turning Red’, Ketika Narasi Perempuan Diproduksi Perempuan Sendiri
The Sea Beast Mengangkat Tema Klasik yang Tak Pernah Mati
Sebagai sebuah medium, film tak jarang jadi alat menyampaikan pesan oleh sineas. Film animasi, di antara belantara jenis film lainnya, sering jadi tempat mengeksplorasi imajinasi para penonton. Sekaligus jadi alat yang tepat bagi sineas untuk menyampaikan pesan mereka dengan cara-cara yang tak dibatasi seperti film-film realis.
Hal ini tak terkecuali dalam Sea Beast. Sebagai film animasi, Sea Beast mampu mendobrak batasan imajinasi sekaligus tampil dengan pesan yang begitu kuat. Dengan mengangkat peperangan antara manusia dan monster laut, Chris Williams berusaha mengeksplorasi pesan tentang relasi manusia dengan alam melalui perubahan karakter Maisie. Maisie yang awalnya sangat memuja para pemburu harus dihadapkan kenyataan yang memaksanya berpikir kritis.
Ia terdampar di sebuah pulau tak terjamah manusia bersama Jacob karena pertarungan hebat dengan monster laut Bluster. Dari sana, Maisie mulai menyadari eksistensi monster laut tak semenakutkan seperti yang diajarkan padanya selama ini.
Berhadapan langsung dengan Bluster, Maisie belajar bahwa si monster tak monster-monster amat. Ia tersadar kalau Bluster tidak jahat, Bluster tidak punya insting membunuh manusia seperti yang dikatakan orang-orang dewasa kepadanya.
Monster itu bahkan sempat menolong Maisie ketika hampir jatuh dari ketinggian. Sebelumnya, bahkan menyelamatkan dirinya dan Jacob dari serangan monster laut berbentuk kepiting raksasa.
Melihat bagaimana Bluster yang justru berusaha melindungi keduanya, Maisie pun berteman dengan monster laut itu dan menamainya Red. Ia bahkan juga berteman monster laut yang lebih kecil yang diberi nama Blue. Dari pertemanannya itu, Maisie melihat sendiri kontras antara sejarah yang dicekoki padanya dan kenyataan bahwa para monster ternyata bukan makhluk jahat.
Monster sebenarnya hanya makhluk yang telah lama disalahpahami manusia. Mereka tak menakutkan, mereka tak ingin membunuh manusia. Mereka hanya ingin melindungi dirinya sendiri dan keturunan mereka dari kekejaman manusia yang menyerang mereka dengan membabi buta dan mengancam peradaban mereka.
Pesan yang berusaha disampaikan Sea Beast sebenarnya adalah sebuah formula klasik dalam film animasi yang tak pernah mati. Tema mengenai relasi manusia dengan alam. Mulai dari film animasi Nausicaa of the Valley of the Wind (1984), film seri How to Train Your Dragon, The Lorax (2012), Wall-E (2008), Spirit: Stallion of the Cimarron (2002), kita melihat bagaimana tema relasi manusia dengan alam atau lingkungan sudah jadi tema klasik film animasi yang diproduksi secara berulang dan selalu saja bisa menggaet banyak penonton.
Dalam sebuah penelitian Promoting the Environment to Children Through Animated Movie: An Alternative to Growing Love to the Environment (2018), tema klasik yang terus diproduksi sineas film animasi ini sebenarnya bisa sangat membantu para penontonnya, utamanya anak-anak sebagai generasi penerus penjaga bumi.
Di tengah bencana ekologi yang tengah melanda dunia, penting memang untuk terus mereproduksi tema klasik ini melalui film animasi yang menarik bagi anak-anak.
Menonton film animasi bertema lingkungan merupakan salah satu kegiatan rekreasi sekaligus edukasi. Anak-anak bisa menikmati film dan membayangkan perjalanan mereka melalui kisah perjalanan ke luar angkasa, perjalanan hutan, petualangan di laut, atau kisah persahabatan dengan hewan.
Tak hanya itu, anak-anak juga dapat memahami hal baru yang mungkin tidak mereka alami dalam kehidupan nyata. Sekaligus membentuk mereka jadi pemikir kritis. Hal yang sangat dibutuhkan anak-anak untuk tidak serta-merta menelan mentah-mentah informasi apa pun, bahkan dari orang dewasa.
Baca juga: Liar dan Imajinatif: 6 Anime Ghibli yang Wajib Ditonton
Sejarah yang Ditulis oleh Penguasa
Sejarah itu tak pernah tunggal. Ia memiliki banyak dimensi dan punya banyak sudut pandang, tergantung dari siapa yang menuliskannya. Ini alasan mempelajari sejarah tak bisa dari satu sumber saja. Kita harus mau belajar dari berbagai sumber lain, melihat metodologi penulisannya, dan mengkritisi informasi yang kita dapatkan darinya.
Maka dari itu, kita tak boleh hanya membaca dan memahami sejarah dari satu sumber saja. Sebab, penulisan sejarah biasanya bergantung pada siapa yang berkuasa (alias penguasa) saat itu. Sehingga sifatnya bisa jadi subjektif dan bias.
Sifat bias ini seringkali mengaburkan fakta lapangan yang benar-benar terjadi di masa lalu dengan figur-figur yang sengaja digambarkan sebagai pahlawan untuk menimbulkan keterikatan emosional pada pembacanya.
Penulisan sejarah yang bias seperti ini sayangnya adalah fenomena jamak. Sering terjadi di bawah kepemimpinan ultranasionalis atau otoriter.
Kita bisa melihatnya dalam penulisan buku sejarah di sekolah-sekolah Jepang. Shinzo Abe sebagai mantan perdana Menteri yang paling lama menjabat di Jepang, sekaligus figur penting sayap kanan, memiliki peran penting dalam menuliskan ulang sejarah yang bias tentang perang dunia kedua dan kejahatan perang Jepang.
Dilansir dari DW, edisi terbaru dari buku teks sejarah yang digunakan di lebih dari 50 sekolah menengah pertama di seluruh Jepang tidak menyebutkan lebih dari 300.000 kematian dalam Pembantaian Nanjing tahun 1937. Ini jelas mengabaikan tuduhan mengenai Jugun Ianfu atau comfort women, di mana 400.000 anak perempuan dan perempuan diperkosa untuk melayani personel militer Jepang selama Perang Dunia II.
Tak hanya itu, dalam buku teks sejarah ini, serangan tahun 1941 terhadap pasukan Amerika di Pearl Harbor dibenarkan karena embargo Amerika terhadap Jepang adalah bentuk undeclared war.
Apa yang terjadi dalam kehidupan nyata mengenai penulisan ulang sejarah oleh penguasa inilah yang berusaha disampaikan dalam The Sea Beast dengan penyampaian sederhana dan menarik.
Maisie sebagai anak dari orang tua pemburu yang gugur dalam peperangan dengan monster laut sejak kecil didoktrin dengan narasi kebengisan monster laut. Ia gemar membaca buku sejarah berisi figur-figur pemburu yang digambarkan sebagai pahlawan penyelamat peradaban manusia.
Namun, dalam sebuah perjalanan bersama Jacob, seorang pemburu yang membawanya pada pertemanan dengan Red dan Blue, pertanyaan besar yang timbul di benak Maisie: Apakah benar “Masa Kegelapan” benar-benar terjadi? Benarkah para monster laut yang menyerang manusia dan merusak tempat tinggal mereka terlebih dahulu? Benarkah monster laut semenakutkan apa yang digambarkan manusia?
Baca juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit
Pertanyaan-pertanyaan dalam benak Maisie kemudian tak sengaja terjawab. Dalam sebuah kejadian yang tak disengaja, Maisie melihat kumpulan buku sejarah yang terjatuh dari sebuah rak di ruang ia disekap di kapal milik kapten Crow.
Ketika ia membuka buku-buku tersebut, Maisie menyadari bahwa semua buku yang selama ini ia baca tentang monster laut dan pemburu semua ditulis dan diterbitkan oleh kerajaan. Semua cerita tentang monster laut, insting membunuh mereka, dan keberanian para pemburu yang mati terhormat sebagai pahlawan semua dinarasikan hanya lewat satu sumber saja.
Dari sinilah Maisie kemudian sadar bahwa kerajaan sebagai penguasa tertinggi di negerinya berusaha memainkan sejarah dengan menuliskan sejarah menurut versi mereka sendiri. Alasannya? Karena dengan menuliskan sejarah menurut versi mereka sendiri, maka pihak kerjaan sendiri yang akan mendapatkan keuntungan.
Pasalnya, setiap cula dan kerangka dari monster laut yang dibawa para pemburu kepada ratu dan raja dijual dengan harga fantastis. Uang yang nantinya akan masuk ke dalam kas negara, tapi berujung pada usaha pengendutan kekayaan raja dan ratu.
Pada akhirnya, Sea Beast bukanlah sebuah film animasi biasa. Dengan tema klasik tentang relasi manusia dan alam ia mampu membuat penontonnya berpikir kritis tentang sejarahnya sendiri. Sehingga film ini tak semata-mata bisa jadi hiburan bagi penonton anak-anak, tapi juga buat para orang dewasa yang butuh tontonan bergizi nan ringan.