Review ‘One Piece Film: Red’: Menonton Cerita Anarkis yang Misoginis
Ulasan ini mengurai ‘pesan-pesan rahasia’ dalam ‘One Piece Film-Red’. Mulai dari ‘crazy woman trope’ yang ditempelkan ke Uta, sampai alasan kenapa dia dan Loki mirip.
One Piece Film: Red jelas beda dari film-film One Piece sebelumnya. Mereka selalu pakai plot klasik: Luffy dkk melawan satu big baddie (biasanya tokoh legendaris di dunia One Piece). Sementara dalam film ke-15 ini, Luffy bukan cuma harus melawan satu antagonis, tapi juga menghadapi masa lalunya: Uta, kawan lama yang sudah dianggap saudara sendiri.
Boleh dibilang, Luffy bahkan bukan tokoh utama dalam film ini. Uta, sebagai antagonis utama, lebih cocok disebut bintangnya.
(Hati-hati spoiler!)
Baca juga: Diserang Wibu Misoginis, Ini Pelajaran yang Bisa Saya Tarik
Dalam One Piece Film: Red, Uta memanglah seorang bintang. Ia dikenal sebagai penyanyi dengan suara “otherworldly” yang akan menggelar konser global. Suara Uta sendiri diisi oleh Ado, penyanyi vtuber terkenal di Jepang dengan 4,15 juta pengikut di Youtube. Di konser itu, Luffy dkk jadi penonton.
Di tengah konser, Luffy sadar kalau Uta bukan orang asing. Di atas panggung, dia membeberkan kalau Uta ternyata “putri” si Bajak Laut Berambut Merah, Shanks.
Penggemar setia One Piece mungkin akan berseru kencang ketika bagian ini diputar di layar bioskop. Sebab Shanks adalah nama besar, sekaligus sosok misterius yang jarang tampil di manga-nya. Ia adalah buronan The World Government (gabungan pemerintahan yang dikenal sebagai otoritas paling tinggi di dunia One Piece), sekaligus sosok yang memberi topi jerami pada Luffy.
Kabar tentang kehadiran Shanks di film ini juga jadi salah satu alasan besar kenapa tiketnya diburu penonton. Bahkan One Piece Film: Red kini jadi salah satu film anime terlaris. Pendapatan kasarnya hingga tulisan ini dibikin, tercatat lebih dari 111 juta dolar AS di seluruh dunia.
One Piece memang judul raksasa di dunia anime dan manga. Series manga-nya bahkan yang terlaris di sepanjang sejarah, dengan lebih dari 100 volume yang telah terbit sejak 1997. Ia punya fandom yang luas dan raksasa pula, dengan podcast, video games, dan live action yang sedang digarap Netflix. Per November 2021 kemarin saja, One Piece sudah menayangkan episode ke-1000 dan tampaknya akan terus bertambah di masa depan, tanpa tanda-tanda akan surut.
Mangaka–nya, Oda Eiichiro bahkan adalah penulis dengan pendapatan terbesar sepanjang masa setelah pencipta Garfield, Jim Davis.
Namun, kritik saya untuk film terbaru One Piece ini tak jauh-jauh dari kritik-kritik sebelumnya yang pernah dilempar pada Oda, yang terlibat cukup besar dalam produksi film ini. Menonton One Piece Film: Red seperti sedang nongkrong dengan abang-abangan kiri yang paham perjuangan kelas, tapi masih misoginis dan sulit mengerti kenapa feminisme juga perlu diperjuangkan.
Deskripsi itu pernah disampaikan seorang kawan penggemar One Piece, yang juga punya kritik serupa. Ulasan berikut cuma akan merinci deskripsi tersebut lebih lanjut.
Baca juga: 11 Rekomendasi Pasangan ‘Bromance’ Terbaik dalam Anime
Uta, Si Anarkis yang Dibangun dari Trope ‘Crazy Woman’
Di balik rencana konser global Uta, ternyata ia merencanakan sesuatu yang mengancam tatanan dunia One Piece. Uta tak percaya pada dunia di bawah kontrol The World Government, begitu juga dunia yang dicita-citakan oleh bajak laut anti-establishment seperti Luffy dan Shanks.
Di awal-awal film diputar, Uta membawa para penonton ke dunia baru yang dianggapnya lebih aman. Awalnya, Luffy dan semua orang yang menonton konser Uta tak sadar hal itu. Padahal, niat dan rencana itu gamblang hadir di lirik-lirik lagu Uta. Ia membayangkan dunia baru tanpa hierarki, tempat semua orang hidup setara, dan tak perlu bekerja. Sayangnya, dunia itu ada di realitas yang ia bikin sendiri dengan kekuatannya.
Suara Uta bisa bikin mereka yang mendengar terlelap di dunia nyata, dan bangun di sebuah realitas baru yang sepenuhnya dikontrol oleh Uta. Di sana, ia cuma mau orang-orang senang.
Sayangnya rencana itu terancam oleh kehadiran para Angkatan Laut (The Navy) yang menganggap Uta sebagai ancaman dunia. Di dunia nyata, para prajurit militer itu melancarkan rencana peringkusan Uta yang di dalamnya tak sungkan membunuh sipil. Uta, yang bisa hadir di dunia nyata sekaligus di realitas yang ia bangun, sempat menangis dan panik di satu adegan—saat ia menyaksikan orang-orang sipil ditembaki para Angkatan Laut.
Kebebasan, dunia tanpa hierarki dan anti-kekerasan hadir dalam karakter Uta sebagai simbol anarkisme. Menurut Zoe Baker, sejarawan dan akademisi anarkisme, seorang anarki harus punya tiga nilai yang saling terikat: kebebasan, persamaan, dan solidaritas. Tiga nilai yang dijejalkan secara paksa dan terkesan serampangan pada karakter Uta.
Kenapa serampangan? Sebab, motivasi Uta menciptakan realitas baru ternyata dibangun dari trope Crazy Woman—sebuah rakitan karakter perempuan yang dibangun dari gagasan misoginis (penjelasan lebih jauh tentang trope crazy woman ada di subjudul dua).
Belakangan, karakter-karakter anarko yang serampangan begini memang sering tampil di budaya populer kita. Beberapa yang paling terbaru dan ramai dibincangkan adalah karakter Cruella (Emma Stone) dan Loki (Tom Hiddleston) dari Disney. Keduanya, digambarkan sebagai karakter anti-establishment yang sepanjang plot berusaha melawan otoritas di dunia masing-masing. Tapi, motivasi keduanya malah sesuatu yang bertentangan dengan gagasan anarkisme sendiri.
Cruella, ingin validasi The Baroness (Emma Thompson), oligarki (establishment) yang sedang dilawannya. Sementara Loki malah ingin jadi penguasa Sacred Timeline (seorang anarki tidak percaya pada hierarki, sehingga mustahil harusnya menginginkan posisi dengan kuasa dan kontrol terbesar).
Baca juga: Ketahui 10 Istilah Ini Biar Paham Budaya ‘Fandom’
Trope Crazy Woman yang Misoginis
Di serial, film, atau konten keluaran Hollywood, ada sebuah trope yang dikenal sebagai crazy woman. Mereka ini adalah karakter-karakter perempuan gila yang motivasinya meresahkan. Kebanyakan karakter ini hadir sebagai antagonis, tapi belakangan ia juga muncul sebagai karakter utama (misalnya karakter Amy Dunne dalam Gone Girl).
Trope ini punya ciri-ciri: biasanya dihantui luka masa lalu, delusional dan menderita karenanya, diantagonisasi, dan “menarik” buat (biasanya) kebanyakan laki-laki. Satu lagi yang bikin trope ini jadi misoginis adalah karena luka atau motivasi mereka berlaku “jahat” adalah karena terluka oleh karakter laki-laki.
Semua ciri-ciri ini ada pada Uta. Sepanjang plot, ciri-ciri ini muncul satu per satu.
Di ujung-ujung film, kita tahu bahwa kebencian Uta pada bajak laut muncul dari luka masa kecilnya yang ditinggal Shanks di sebuah pulau tanpa penghuni.
Oda Eiichiro sendiri sudah lama dikritik misoginis. Karakter-karakter perempuan utama di One Piece sendiri sudah lama dan sering dikritik. Dari sektor representasi yang minim, visual yang oversexualised dan dirakit dari cis-het male gaze, sampai peran mereka yang memang sering dianggap tidak lebih penting dari karakter laki-laki.
Lillian King di Anime Feminist menyoroti kontradiksi kemampuan Oda menulis karakter perempuan yang menyenangkan, tapi tidak misoginis. “Di dunia Oda, perempuan tidak punya kecakapan yang sama dengan laki-laki dalam pertempuran,” tulis King.
Keputusan membuat Uta dengan semua traits yang ada dalam trope crazy woman makin menyedihkan, karena karakter ini juga harus berujung tragis.
Sudah saatnya Oda mendengar kritik-kritik tentang dirinya yang misoginis.