Mangaka Perempuan dan ‘Female Gaze’ dalam ‘Genre Mahō Shōjo’
Di tengah dominasi genre shōnen yang seksis dan misoginis, mangaka perempuan menawarkan alternatif memberdayakan bagi pembaca perempuan lewat genre mahō shōjo.
Bisa dibilang saya ini adalah wibu sejak dini. Waktu masih di TK A, saya sudah gemar menonton anime. Ketika resmi jadi anak SD, membaca manga dan menonton anime dari berbagai genre sudah jadi hobi, bahkan hingga gini. Salah satu genre yang saya ikuti itu shōnen (arti harfiahnya anak laki-laki), genre yang ditunjukkan untuk anak laki-laki dan laki-laki dewasa muda.
Sayangnya, genre shōnen ini terkadang menampilkan representasi perempuan secara eksploitatif dan menindas. Dalam sebuah studi berjudul Manga Girls: Sex, Love, Comedy and Crime in Recent Boys’ Anime and Manga (2013), peneliti Hattie Jones dari University of Cambridge mengungkap genre shōnen masih mencerminkan kurangnya pemahaman para penulis laki-laki ini tentang perempuan. Sebab utamanya jelas, penulis atau mangaka genre ini masih didominasi oleh laki-laki.
Dalam genre ini, karakter perempuan sering digambarkan sebagai bystander ataupun objek seksual semata sebagai bagian dari fan service. Bahkan tak jarang karakter mereka hanya jadi pemanis untuk keberlangsungan plot utama si karakter utama laki-laki.
Studi Daniel Flis dari Murdoch University tahun 2018 mengatakan penyebab utamanya, adalah male gaze, alias semua ditulis berdasarkan cara pandang laki-laki atas tubuh dan kebutuhan perempuan. Dalam shōnen khususnya, penggambaran perempuan sebagai arketipe “istri yang baik, ibu yang bijaksana” masih melekat. Arketipe ini menekankan adanya legitimasi posisi dominan laki-laki dalam masyarakat dan membenarkan subordinasi perempuan.
Maka tak mengherankan, perempuan dalam genre ini jarang sekali yang ditampilkan berdaya, bisa jadi sosok pahlawan tanpa diseksualiasi. Jika pun mereka digambarkan sebagai pahlawan yang kuat seperti pada manga dan anime shōnen belakangan ini, tubuh mereka akan tetap diseksualisasi lewat cara berpakaian atau lekukan tubuh yang khas.
Syukurnya, genre shōnen yang masih didominasi mangaka laki-laki punya antitesis untuk mendobrak sifat misogini dan seksis di dalamnya. Demi merebut kembali narasi perempuan, mangaka perempuan menulis karya mereka sendiri lewat genre mahō shōjo.
Baca Juga: ‘Banana Fish’ Berani Keluar dari Formula Klasik Genre ‘Shōjo’
Mangaka Perempuan, Genre Mahō Shōjo, dan Female Gaze
Mahō shōjo merupakan subgenre yang lahir dari genre shōjo yang ditujukan buat anak perempuan dan perempuan dewasa muda. Sejarahnya dicatat rapi dalam penelitian “Feminisme Dalam Subgenre Mahou Shoujo dan Feminitas Serta Kawaii Bunka Pada Tokoh Utama Anime Bishoujo Senshi Sailor Moon dan Puella Magi Madoka” (2020).
Subgenre ini pertama kali muncul pada tahun 1962 lewat manga Himitsu no Akko-chan yang ditulis oleh Fujio Akatsuka, yang kemudian menciptakan gelombang produksi manga dan anime baru dengan karakter anak perempuan penyihir pada tahun 1970-an.
Gelombang baru ini disusul oleh popularitas manga dan anime magical girl seperti Magical Princess Minky Momo (1982) dan Creamy Mami, the Magic Angel (1983). Walaupun subgenre ini sebenarnya diperuntukan bagi perempuan, pada awal gelombang popularitasnya genre ini masih diwarnai dengan dominasi mangaka laki-laki.
Tak ayal, genre ini masih mengedepankan male gaze. Bisa dilihat dari bagaimana dalam Magical Princess Minky Momo, transformasi Momo untuk membantu bumi mendapatkan kembali harapan dan impiannya, Momo berubah menjadi versi dewasa dari dirinya sendiri. Versi dewasa yang digambarkan dengan perempuan cantik berpayudara dan berpinggul besar, serta berpakaian seksi.
Barulah pada 1990-an, genre ini diambil alih oleh mangaka perempuan yang ditandai dengan kemunculan Sailor Moon (1992) yang ditulis oleh Naoko Takeuchi. Diambil alihnya genre ini oleh perempuan menandai pergantian narasi dan perspektif yang kental dengan female gaze.
Sutradara Jill Soloway dalam pidatonya tentang female gaze di Toronto International Film Festival 2016 mengatakan, ketika male gaze berpusat pada apa yang dilihat laki-laki, female gaze justru memfokuskan perhatiannya pada apa yang dirasakan penonton. Female gaze adalah tentang menggunakan perspektif perempuan di layar untuk menekankan emosi dan karakter di dalam cerita.
Baca Juga: 8 Karakter Perempuan dalam Anime Demon Slayer yang Kuat dan Tak Hitam-Putih
Kathryn Hemmann dalam bukunya Manga Cultures and the Female Gaze (2020) mencatat tentang upaya para mahō shōjo merangkul seksualitas karakter-karakter perempuan dalam karya mereka sebagai bentuk female gaze. Penggunaan riasan dan rok mini dijadikan simbol untuk memberantas kejahatan dan menyelamatkan bumi.
Dengan menciptakan dan mengapresiasi citra seksual gadis remaja ini, Hemmann berpendapat bahwa perempuan dimungkinkan untuk dapat merangkul dan merayakan seksualitas yang berada di luar stereotip misoginis tentang feminitas. Heroine dalam Sailor Moon, Cardcaptor Sakura, Magic Knight Rayearth dalam hal ini misalnya ini tidak menggunakan pakaian dan perhiasan cantik mereka sebagai alat untuk membuat laki-laki terkesan.
Mereka tahu mereka cantik, tidak butuh persetujuan siapa pun, dan statement inilah yang dijadikan senjara melawan kejahatan. Upaya mengklaim kembali konsep feminitas yang berdaya ini sangat penting untuk merebut narasi tentang agensi dan seksualitas perempuan. Pesan-pesan dalam cerita mereka jelas: feminitas bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan sumber kekuatan.
Mangaka perempuan dalam mahō shōjo juga menampilkan ragam bentuk feminitas dalam karakter-karakternya. Keberagaman bentuk ini membawa pesan solidaritas dan penerimaan atas segala bentuk sikap-sikap feminin yang ada. Hal ini terlihat dari ikatan atau persahabatan antar perempuan yang didasarkan oleh rasa cinta, percaya, saling memaafkan, dan sikap nurturing yang jadi fokus utama dalam tulisan perempuan. Para heroine ini tidak harus meniru pahlawan laki-laki sama sekali atau bertindak “maskulin” untuk dianggap serius atau sama kuatnya.
Baca juga: Rekomendasi Manga Josei
Mereka juga menyebar pesan: bahwa menjadi perempuan dan menjadi feminin tidak akan bikin perempuan kehilangan diri kita sendiri dan membuat kita lebih “lemah”.
Hal terakhir yang kemudian tak kalah penting dari karya-karya mangaka perempuan ini adalah upaya mengkritik pandangan-pandangan misoginis dalam manga dan anime.
Female gaze dalam genre mahō shōjo tak hanya memungkinkan perempuan untuk membangun imaji tentang dirinya yang berdaya sebagai perempuan. Namun, juga memungkinkan pembaca untuk merayakan feminitas yang memberdayakan sebagai sarana kritik feminis.