Kembangkan Kecerdasan Spiritual Lewat Sadar Jiwa, Tak Hanya Sadar Tubuh
Kita telah berevolusi menjadi makhluk paling rakus dan paling merusak di muka bumi akibat rendahnya tingkat kecerdasan spiritual.
Dalam kolom sebelum ini, saya menulis tentang pentingnya memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) untuk membantu mengarungi kehidupan. Saya telah menguraikan dua kecerdasan yang pertama, maka kali ini saya akan membahas lebih lanjut makna SQ dan mengapa ini penting di dalam kehidupan kita.
Jika Anda bertanya kepada seseorang siapa mereka, mereka kemungkinan besar akan mengidentifikasi diri mereka berdasarkan jenis kelamin (seks) dan gender, kebangsaan/etnis, agama, profesi, partai/organisasi atau ideologi politik mereka, dan bahkan suatu perasaan atau emosi. Misalnya, “Saya marah” atau “Saya lapar”. Saya pikir bahasa Latin lebih masuk akal seperti di Italia, misalnya, mereka mengatakan “Ho fame” (saya memiliki rasa lapar), tetapi untuk “Saya marah” mereka masih mengatakan “Sono arrabbiato” bagi pria, atau “sono arrabbiata“, jika Anda perempuan. Alangkah sadar gender orang-orang Latin itu!
Anda juga bisa mengatakan, “Saya kaya/miskin” atau “Ini ibu/anak/suami/istri saya, dll”—seolah-olah orang bisa dimiliki.
Ini menunjukkan bahwa orang terutama mengidentifikasikan diri mereka dengan tubuh, sensasi fisik, dan kondisi duniawi, serta apa yang mereka miliki. Brahma Kumaris (BK), organisasi spiritual global yang berkantor pusat di India, dengan 8.500 cabang di 130 negara, menyebut ini “kesadaran tubuh/raga” (body consciousness).
Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan citra tubuh atau fat-shaming (mempermalukan seseorang karena gemuk), tetapi bagaimana pikiran, perasaan, sikap, tindakan dan perilaku Anda terhubung dengan kesadaran tubuh di dunia fisik dan kebendaan.
Yang benar, menurut para BK—dan saya setuju dengan mereka—adalah bahwa kita bukan raga dengan jiwa, tetapi jiwa yang tinggal di dalam raga. Jadi dunia fisik dan material adalah antarmuka (interface) yang memungkinkan kita berinteraksi sebagai jiwa satu sama lain, pada tingkat fisik, emosional, dan spiritual.
Baca juga: Pintar Tapi Bodoh? Kembangkan EQ, Terutama di Saat Pandemi
Mengapa jiwa tidak berinteraksi secara langsung? Nah, rupanya jiwa tidak mengalami rasa sakit–baik secara fisik ataupun emosional. Jadi tidak ada motivasi untuk belajar dan mengembangkan diri Anda, kan? Itulah makanya tubuh atau raga dibutuhkan.
Orang berbeda dalam apa yang mereka rasakan sebagai tujuan hidup mereka. Sebagian besar menginginkan kebahagiaan—apa pun definisi kebahagiaan bagi mereka. Tetapi apakah mereka menyadarinya atau tidak, tujuan utama kehidupan adalah untuk belajar. Begini, Anda tentunya tidak akan bermimpi tetap di sekolah dasar terus meskipun naik ke tingkat berikutnya (SMP, SMA, perguruan tinggi) menimbulkan lebih banyak tantangan dan kesulitan. Demikian juga rasa sakit, permasalahan, hambatan, krisis—itu semua adalah kesempatan untuk belajar.
Oke, jadi apa itu kecerdasan spiritual?
Fisikawan dan filsuf Danah Zohar, menulis bahwa “kecerdasan spiritual adalah kemampuan mengakses makna yang lebih tinggi, nilai-nilai, tujuan-tujuan abadi, dan aspek-aspek tak sadar dari diri, dan untuk lebih menanamkan makna, nilai, dan tujuan ini dalam menjalani kehidupan yang lebih kaya dan lebih kreatif. Tanda-tanda SQ tinggi termasuk kemampuan berpikir di luar kotak (out of the box), kerendahan hati, dan akses ke energi yang datang dari sesuatu di luar ego, melampaui sekadar diri saya serta keprihatinan saya sehari-hari.”
Baca juga: Jangan Sulit Minta Maaf, Efeknya Dahsyat!
Zohar mengidentifikasi 12 prinsip yang mendasari kecerdasan spiritual:
- Kesadaran diri: Mengetahui apa yang saya yakini dan hargai, dan apa yang memotivasi saya secara mendalam;
- Spontanitas: Hidup dan responsif terhadap momen saat ini;
- Dipimpin oleh visi dan nilai: Bertindak dari prinsip dan keyakinan mendalam, dan hidup selaras dengannya;
- Holisme (keutuhan): Melihat pola, hubungan, dan koneksi yang lebih besar; punya rasa memiliki (sense of belonging);
- Welas asih (compassion): Memiliki kualitas “satu rasa dengan” dan empati yang dalam;
- Perayaan keberagaman: Menilai dan menghargai orang lain justru karena perbedaan mereka;
- Kemandirian lapangan: Berdiri sendiri melawan kerumunan dan memiliki keyakinan sendiri;
- Kerendahan hati: Memiliki perasaan sebagai pemain dalam drama kehidupan yang lebih besar, dan memahami tempat sejati kita di dunia;
- Kecenderungan mengajukan pertanyaan mendasar “Kenapa?”. Perlunya memahami sesuatu sampai ke dasarnya;
- Kemampuan untuk membingkai ulang: Berdiri mundur dari suatu situasi atau masalah dan melihat gambaran yang lebih besar atau konteks yang lebih luas;
- Penggunaan kesulitan atau tantangan hidup secara positif: Belajar dan tumbuh dari persoalan, kesalahan, kemunduran, dan penderitaan;
- Rasa terpanggil: Perasaan terpanggil untuk melayani, dan memberikan sesuatu kembali ke masyarakat dan dunia.
Jika semua ini terdengar menakutkan, mari kita membuatnya lebih sederhana. Langkah pertama untuk menjadi “sadar jiwa” (soul conscious)—yang merupakan istilah lain untuk kecerdasan spiritual (SQ), cukup dengan menyadari bahwa Anda adalah jiwa atau ruh. Sifat jiwa adalah damai dan kuat, dan jika Anda fokus setiap hari (bagi saya itu melalui meditasi), Anda dapat meningkatkan kekuatan jiwa Anda untuk melawan dan menangani energi negatif yang mengelilingi Anda. Tentu saja, Anda juga perlu mencari dan menyerap pengetahuan spiritual, yang tidak mudah, mengingat begitu banyak guru gadungan di luaran sana.
Masalahnya, dunia tempat kita hidup sekarang ini penuh dengan jiwa-jiwa, roh-roh kosong yang gentayangan—orang-orang yang panduan hidupnya kesadaran tubuh. Karena identifikasi mereka total dengan identitas eksternal mereka, hal ini menciptakan semua masalah dan bahkan kejahatan di dunia.
Baca juga: Warisan, Kekuatan Sedekah, dan Kita
Coba pikir, agama yang seharusnya membawa Anda lebih dekat kepada Tuhan dan mengajarkan mencintai sesama, memberikan pelayanan kepada orang lain, bahkan membalikkan pipi (ketika dipukul pipi kiri, berikan pipi kanan), dll., telah memunculkan fundamentalisme agama, ekstremisme, dan bahkan terorisme. Halo? Bagaimana itu bisa terjadi? Banyak agama telah kehilangan jejak kesadaran jiwa yang pernah dimilikinya, dan telah sepenuhnya menjadi sadar tubuh dan bukannya mempersatukan, malah memecah-belah.
Demikian halnya dengan pemerintah, dunia politik, para pemimpin politik, dan korporasi. Mereka semua bertindak karena kepentingan diri sendiri yang sempit, keserakahan, perebutan kekuasaan, menyebabkan penderitaan, kesengsaraan dan kehancuran, tidak hanya untuk manusia lain, tetapi juga untuk lingkungan hidup.
Maka muncullah coronavirus, atau COVID-19. Saya dan banyak orang lain melihat ini jauh lebih dari sekadar sentilan untuk umat manusia. Bagaimana sih kita telah “berevolusi” menjadi makhluk paling rakus dan paling merusak di muka bumi ini?
Zach Bush, MD, dokter dan pakar genom manusia dan lingkungan, memberikan monolog sangat baik tentang keadaan saat ini. Pada dasarnya, ia menekankan bahwa krisis pandemi virus corona yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, adalah peringatan dan kesempatan kembali ke alam dan menjadi manusia yang sadar jiwa, dan bukan hewan sadar tubuh yang destruktif seperti kenyataan kita sekarang ini.