Warisan, Kekuatan Sedekah, dan Kita
Warisan sering menjadi sumber ketegangan dan konflik dalam keluarga, sehingga lebih baik dijadikan sedekah yang berkelanjutan.
Tahun ini kita mengalami bulan puasa dan Lebaran yang amat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya akibat pandemi COVID-19 – lebih prihatin tapi juga lebih khidmat, terbebaskan dari ritualitas Ramadan dan ingar bingar Idul Fitri. Konsumerisme pun berkurang dan solidaritas sosial meningkat.
Di akhir Lebaran selalu ada kewajiban membayar zakat fitrah dan zakat harta, bagi yang memiliki harta, serta bersedekah, yang sifatnya sunah tapi sangat dianjurkan.
Meski tidak secara langsung terpapar virus COVID-19, banyak sekali orang yang menjadi korban akibat krisis ekonomi yang terjadi karena pembatasan fisik, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan lockdown. Dampak ini akan berkepanjangan akibat resesi ekonomi dan pengangguran yang kemungkinan besar akan terjadi. Angka kemiskinan yang sudah berhasil diturunkan hingga 9,7 persen dua tahun yang lalu di Indonesia, diproyeksikan akan naik kembali tahun ini menjadi 12,37 persen, mundur kembali ke angka kemiskinan pada tahun 2009.
Saya jadi teringat niat lama saya berkaitan dengan warisan yang kelak akan saya terima bila ibu saya meninggal. Saya ingin menjadikan warisan itu sebagai dana sedekah untuk membantu siapa pun yang membutuhkannya, khususnya dari kalangan miskin.
Saya mencintai ibu saya dan tidak terbayang hidup tanpanya. Ya bagaimana tidak, saya mengenalnya seumur hidup saya! Tentunya saya sama sekali tidak berharap Mamih meninggal, tapi ia hampir berusia 88 tahun, jadi suatu saat itu akan terjadi. Seperti juga pada kita semua.
Sekitar 30 tahun yang lalu, Mamih pernah bercerita tentang kekisruhan di dalam keluarganya, gara-gara Nenek pilih kasih soal warisan kepada anak laki-laki bungsunya. Hal ini tentunya membuat Mamih dan adik laki-laki pertamanya kesal. Cerita ini konsisten dengan banyak cerita yang suka saya dengar mengenai warisan yang sering menjadi sumber ketegangan dan bahkan konflik di dalam keluarga. Hal ini membuat saya berniat, kalau mendapat warisan kelak, saya ingin menggunakannya untuk beramal saja. Terkadang harta warisan itu seperti uang panas!
Karena semakin banyak orang yang membutuhkannya, Lebaran pertama di era pandemi COVID-19 ini mengingatkan saya kembali akan niat saya 30 tahun yang lalu itu. Namun karena saya sekarang sudah jauh lebih tua, bahkan sudah punya cucu, saya ingin mengajak anak-cucu terlibat. Maka saya ingin menamakannya Dana Sedekah Suryakusuma (DSS). Maksudnya agar menjadi budaya keluarga, untuk melembagakan sedekah secara rutin, dan bukan hanya setahun sekali.
Baca juga: Jangan Sulit Minta Maaf, Efeknya Dahsyat!
Dana sedekah ini ingin saya jadikan amal jariah, salah satu bentuk sedekah yang pahalanya akan mengalir terus bagi yang melakukannya. Selain dengan doa, amal perbuatan itu juga untuk “menghadiahi” orang tua saya kelak di akhirat. Selain ibu saya, juga tentunya Ayah yang meninggal tahun 2006. Katakanlah dana sedekah ini adalah tanda pengingat, terima kasih, dan hadiah cinta abadi seorang anak terhadap orang tuanya.
Dana dari warisan itu dimaksudkan sebagai dana abadi, yang bisa saja ditambah lagi ketika ada anggota keluarga yang ingin berkontribusi kepada modal awal tersebut. Dengan bersedekah dari bunga dana abadi tersebut, kita mendapat keuntungan berlipat ganda. Pertama, memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkannya, apakah untuk kesehatan, pendidikan, atau lainnya. Kedua, mendoakan orang tua kita baik yang masih hidup ataupun yang sudah di alam baka. Ketiga, mempererat tali kekeluargaan dengan kegiatan yang membangun kesadaran sosial dan empati kepada sesama manusia, dan keempat, mengundang rezeki bagi diri kita sendiri. Ya, bersedekah membuka pintu rezeki kita, loh! Selain materi, bisa juga rezeki non-materi, misalnya kesehatan, keselamatan, ilmu, kebahagiaan, kenikmatan, relasi sosial dan keluarga yang baik, serta ketenangan jiwa.
Ketika saya menyampaikan ide in kepada keluarga—kakak, adik, anak, serta para keponakan, mereka menyambutnya dengan antusias. Bagaimana tidak? Yang didapat cuma manfaat, tidak ada ruginya sama sekali. Saya juga menanyakan pendapat beberapa sahabat yang ilmu keislamannya tidak perlu diragukan, antara lain Kyai Hussein Muhammad, Prof. Musdah Mulia, dan Dr. Neng Dara Affiah. Mereka semua mengatakan hal itu bagus sekali, bahkan Neng Dara terinspirasi meniru ide saya ini. Orang tuanya sudah lama meninggal dan mewariskan harta yang cukup banyak. Neng Dara dan keempat adiknya hidup berkecukupan, tidak perlu mengandalkan warisan.
Tapi jangan dikira bahwa ini berkaitan hanya dengan Islam. Di dunia Barat sana, banyak selebritas dan pengusaha super-kaya yang tidak berniat mewariskan hartanya kepada anak-anak mereka.
Warren Buffet misalnya, yang memiliki harta US$85,5 miliar, berjanji menyumbangkan 100 persen hartanya ke berbagai lembaga amal. Ia akan memberikan rumah dan mobil kepada anak-anaknya, dan memastikan bahwa kebutuhan dasar mereka tidak kurang, itu saja.
Baca juga: Untuk Perempuan Generasi ‘Sandwich’: Kamu Berhak Bahagia
Perancang mode, aktris, penulis buku, dan sosialita Gloria Vanderbilt adalah mendiang ibu dari news anchor CNN kesohor, Anderson Cooper. Gloria menghasilkan harta dari kerajaan desainnya, namun ia tidak mewariskan satu sen pun kekayaannya kepada Anderson. Anaknya tidak ada masalah dengan itu, malah ia mengatakan “Saya tidak percaya pada warisan yang cenderung mematikan inisiatif, bahkan merupakan kutukan”. Wah!
Kalau Andrew Lloyd Weber, komponis terkenal drama musikal seperti Phantom of the Opera, Cats, dan Jesus Chris Superstar, mengatakan tidak percaya dengan tradisi mewariskan uang. “Saya tidak setuju anak-anak tiba-tiba kejatuhan uang seabrek karena nantinya tidak ada insentif untuk bekerja.” Weber berniat menggunakan hartanya untuk mendanai proyek-proyek musik di masa depan.
Nigella Lawson adalah penulis buku masakan, bintang televisi acara memasak, dan wartawan Inggris terkenal. Sikapnya terhadap warisan? “Saya berpendirian bahwa anak-anak saya tidak perlu diberikan kemapanan finansial. Tidak mencari nafkah sendiri dapat merusak seseorang.”
George Lucas, produser, sutradara kondang, dan ayah empat orang anak, membuat janji dalam sebuah surat “Giving Pledge” (Janji Memberi). Ia berencana memberikan $4,5 miliar dari penjualan waralaba Star Wars ke Disney untuk pendidikan, karena ia percaya bahwa “pendidikan adalah kunci keberlangsungan ras manusia.”
Gina Rienhart adalah miliarder pertambangan Australia yang juga tidak berniat mewariskan kekayaannya kepada anak-anaknya, karena mereka “tidak memiliki kapasitas atau keterampilan yang diperlukan, pengetahuan, pengalaman, penilaian, atau etika kerja yang bertanggung jawab untuk mengelola bisnis dan warisan. “ Wah, penilaian yang cukup keras dan dingin, tapi objektif. Mendadak menerima uang dalam jumlah sangat besar membutuhkan kesiapan manajerial dan emosional yang belum tentu dimiliki anak-anak tersebut.
Saya kira kita tidak usah sekaya para miliarder di atas,untuk menyikapi warisan dengan semangat berbagi dan beramal. Tentu setiap keluarga bisa menentukan bagaimana caranya masing-masing, dan porsi yang disedekahkan bisa ditentukan sendiri-sendiri, tergantung kemampuan dan kerelaan.
Saya setuju dengan orang-orang di atas, warisan itu seperti uang yang begitu saja jatuh dari langit. Kita tidak bekerja untuk mendapatkannya, bahkan mungkin sebagian dari kita tidak layak memperolehnya. Jadi bukankah lebih baik diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya?