Lifestyle

Di Dunia yang Penuh Kesenjangan, Saya Tak Masalah Disebut Matre

Di tengah dominasi laki-laki serta kurangnya akses dan privilese ekonomi, menjadi perempuan matre bukanlah sesuatu masalah.

Avatar
  • December 18, 2020
  • 5 min read
  • 1503 Views
Di Dunia yang Penuh Kesenjangan, Saya Tak Masalah Disebut Matre

Alkisah, seorang gadis cantik belia bertemu jodohnya di suatu pesta dan menikah setahun setelahnya. Sang lelaki yang berumur jauh lebih tua namun kaya raya memberikan rumah mewah, jaminan hidup sejahtera sampai tujuh turunan, dan sebongkah berlian sebagai mahar. Para tamu undangan mulai berbisik, menjuluki gadis itu perempuan matre karena mendapatkan mahar yang fantastis. Mereka memilih tutup mata kalau cinta juga ambil peran dalam hubungan tersebut.

Dari banyak hubungan antara si lelaki kaya dan si perempuan miskin, ada satu stigma yang selalu ditujukan hanya dan untuk perempuan semata: materialistis alias matre. “Ada uang, abang sayang. Enggak ada uang, abang ditendang”. Begitulah masyarakat menggambarkan perempuan yang berorientasi pada uang.

 

 

Ada pula yang mengatakan kalau menikahi perempuan matre alias gold digger ibarat memelihara lintah di badan. Dia akan mengisap habis harta pasangannya hingga tak bersisa dan minggat untuk mencari mangsa baru. Saya mulai bertanya-tanya. Benarkah perempuan bisa jadi seburuk itu jika berurusan dengan uang dan pasangan? Atau menjadi “matre” hanyalah buntut panjang dari kesenjangan hidup antara lelaki dan perempuan?

Sebenarnya menjuluki perempuan yang money-oriented sebagai perempuan matre atau gila harta tidaklah tepat. Apalagi saat menentukan pasangan hidup. Mari kita berpikir realistis sebentar. Kita tidak bisa mengesampingkan fakta kalau hidup tak melulu soal cinta tapi juga soal materi.

Lupakan kisah picisan tentang cinta yang bisa menaklukkan segalanya. Nyatanya, cinta tidak bisa mengobati perut yang lapar dan kebutuhan harian yang terus meroket. Jika cinta bisa menyelesaikan masalah finansial, lalu kenapa bercerai dengan alasan ekonomi?  Tidak ada yang salah saat seseorang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Terlebih orang itu adalah perempuan. Itu karena menjadi perempuan bukan perkara mudah dan murah.

Baca juga: Kehilangan Pensil Alis dan Pekerjaan: Sama-sama Butuh Kerelaan

Menjadi Perempuan Tidak Murah dan Mudah

Sebagai bagian dari ras manusia, kita tidak bisa jauh dari hal-hal berbau materi. Materi itu bernama uang. Saat membicarakan perempuan dan orientasinya pada uang, sulit rasanya untuk tidak membahas keadaan sosial yang membelakanginya. Menjadi perempuan tidak pernah murah. Sejak lahir, perempuan dibebani biaya berlebih daripada lelaki. Lipstik, pakaian, perawatan kecantikan, heels hingga kebutuhan sanitasi perempuan tidak pernah gratis apalagi jatuh dari langit. Semua itu dibeli dengan uang. Lalu dari mana uang dihasilkan? Dari bekerja.

Bekerja sebagai perempuan juga tidak pernah mudah. Milenium sudah berganti, tapi representasi perempuan di dunia kerja masih rendah. Survei menyatakan kalau tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki adalah 84 persen, sedangkan perempuan hanya 54 persen. Lalu apa yang terjadi pada 42 persen sisanya? Beberapa dari mereka tidak punya akses pendidikan yang mumpuni, hidup di bawah garis kemiskinan atau terkungkung dogma tentang perempuan sebagai makhluk domestik. Hal-hal di atas turut andil dari matinya kesempatan perempuan untuk menyejahterakan diri.

Baca juga: Menikah Itu Tidak Indah

Tantangan perempuan untuk menambah angka nol di belakang digit rekeningnya tidak sampai di situ. Perempuan harus bekerja ekstra untuk mendapatkan privilese yang sedang lelaki nikmati. Meskipun perempuan punya kemampuan setara dengan lawan jenisnya, kesenjangan upah hingga fenomena glass ceiling masih mempersulit perempuan untuk menaikkan taraf hidup. Survei menyatakan bahwa upah laki-laki 20 persen-23 persen lebih tinggi daripada perempuan. Selain itu, perempuan yang menduduki jabatan vital seperti manajer hanya 30,63 persen saja.

Menjadi bagian dari 54 persen angkatan kerja perempuan juga tidak serta membuat perempuan bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Beberapa dari mereka terjebak dalam kemiskinan struktural, beberapa lagi jadi generasi sandwich, atau menjadi ibu tunggal. Berkaca dari kenyataan yang ada, let’s be honest. Tidak semua perempuan berkesempatan untuk memperkaya diri sendiri. Itu karena perempuan hampir tidak punya waktu untuk diri sendiri.

Saat lajang, tak sedikit dari mereka harus menghidupi keluarganya. Begitu juga saat menikah. Jaminan kesejahteraan anak menjadi prioritas utama seorang perempuan tiap kali ingin memulai suatu hubungan. Tapi, perempuan tidak pernah kehilangan kesempatan untuk menjadi berdaya. Menjadi perempuan yang tau apa yang dia inginkan, apa yang dimau, dan apa yang dia cintai. Amy March dalam film Little Women pernah berkata kalau semua orang punya kuasa untuk mencintai, termasuk mencintai uang.

Perempuan Matre Bentuk Keberdayaan

Saya teringat kisah seorang tokoh bernama Simone Grove di serial Why Women Kill. Dia datang dari keluarga yang serba kekurangan dan ingin hidup berkecukupan tapi kemiskinan struktural menjeratnya. Grove bukanlah perempuan yang malas. Dia banting tulang di binatu sebelum bertemu suami pertamanya. Grove juga bukan mata duitan. Dia sama seperti perempuan lain yang mendambakan pernikahan happily ever after. Sayangnya, suami pertama lebih mencintai minuman keras daripada dirinya, sementara suami kedua yang kecanduan narkoba, dan suami ketiganya ternyata berselingkuh dengan banyak pria.

Baca juga: Untuk Perempuan Generasi ‘Sandwich’: Kamu Berhak Bahagia

Grove pernah jatuh cinta. Dia menikahi suami ketiganya, Karl, karena lelaki itu tahu cara memuliakan dia sebagai pasangan. Grove bukanlah perempuan kejam. Dia tidak meninggalkan Karl yang sakit parah. Dia tidak pernah keberatan untuk merawat suaminya hingga menanggung beban pengobatan yang ikutan menguras hartanya.

Grove bukanlah perempuan lemah. Dia tidak ingin ditinggalkan dalam nestapa kemiskinan setelah berpisah. Dia sudah kenyang jadi miskin, lebih lagi dia punya anak sekarang. Anak yang diserah-tugaskan padanya setelah penceraian pertamanya. Meski hidup di bawah pundi-pundi uang suaminya, dia tidak mau kehilangan hak dan suaranya. Dia menuntut harta gono-gini dari dua suami sebelumnya dan tidak juga segan mengklaim uang asuransi tak lama sepeninggal  suami ketiganya.

Belajar dari Simone Grove, perempuan sudah tertatih-tatih sejak dilahirkan. Untuk menatap dunia saja, perempuan sudah dibebani biaya persalinan. Kalau kondom dibagikan secara gratis, kenapa pembalut tidak? Sekali lagi, menjadi perempuan tidak pernah mudah dan murah. Seperti bekerja untuk mencari uang, menjadi matre juga salah satu bentuk keberdayaan perempuan.

Komedian Whittney Cumming pernah berkata, “Kalau menjadi matre adalah satu-satunya cara merebut kembali hak saya yang dinikmati oleh lelaki, saya tidak keberatan disebut matre.” Ya, saya matre dan saya bangga dengan hal itu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Sybill November

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *