Screen Raves

Losmen Bu Broto: Ketika Rumah Tidak Lagi Hangat

Film Losmen Bu Broto secara apik menampilkan ketidaksempurnaan sebuah keluarga yang telah kehilangan kehangatannya.

Avatar
  • November 23, 2021
  • 4 min read
  • 1816 Views
Losmen Bu Broto: Ketika Rumah Tidak Lagi Hangat

Peringatan Spoiler!

Pada tahun 1980-an TVRI menayangkan sebuah sinetron legendaris berjudul Losmen. Mengisahkan kehidupan sehari-hari keluarga Broto yang mengelola sebuah losmen, serial ini mampu merebut hati jutaan masyarakat Indonesia dengan kehangatan kisahnya yang sederhana.

 

 

Karena begitu legendaris, sinetron Losmen beberapa diadaptasi menjadi film dan sinetron, seperti Penginapan Bu Broto (1987) dan Guest House: Losmen Reborn (2020). Usaha untuk mengadaptasi sinetron ini pun juga dilakukan oleh Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono.

Selaku sutradara, baik Isfansyah dan Cahyono mencoba membawa nostalgia dengan ramuan baru yang kekinian dengan mengadaptasi sinetron legendaris ini menjadi sebuah film berjudul Losmen Bu Broto (2021). Dengan sinematografinya yang begitu cantik, film ini secara sukses telah memanjakan mata para penontonnya dalam mengarungi nostalgia dengan sentuhan baru yang melankolik.

Berbeda dari sinetron aslinya yang menampilkan kisah sederhana dari keseharian losmen yang dikelola oleh keluarga Broto, Losmen Bu Broto mengambil rute yang berbeda jauh dari kesan hangat yang menjadi ciri khas dari sinetronnya dahulu.

Hal ini karena ketidaksempurnaan dan konflik keluarga menjadi nafas utama dalam film ini dibalut secara apik dalam nuansa nostalgia. Selama kurang lebih 1 jam 49 menit penonton dibiarkan terlibat secara emosional dengan para karakternya. Tidak jarang, penonton akan dibuat meneteskan air mata ketika diajak menyelami pergulatan batin karakternya.

Baca juga:  ‘June dan Kopi’, Cerita Hangat tentang Sahabat Setia Manusia

Salah satu tema kuat yang berusaha digali dalam Losmen Bu Broto adalah prasangka antar manusia. Dengan hampir setiap karakternya memiliki prasangka terhadap satu sama lain, film ini menyajikan bagaimana manusia yang terjebak dalam prasangka sebenarnya telah melukai dirinya sendiri dan orang lain. Mereka membangun tembok pembatas, membiarkan diri mereka hanyut dalam sebuah penghakiman sepihak yang menorehkan luka.

Prasangka ini hadir dari hal terkecil yang terjadi dalam masa kanak-kanak Sri dan Pur. Misalnya ketika Pur berprasangka bahwa Srilah yang menjadi dalang dari rusaknya hadiah ulang tahunnya. Padahal pada kenyataannya hadiah tersebut jatuh begitu saja dari lemari hingga pecah. Bertahun-tahun prasangka ini melekat dalam hati Pur dan membuatnya menjadi lebih mudah menghakimi serta menyalahkan Sri.

Pur pun menjadi sosok yang dingin terhadap adiknya sendiri. Rasa hangat dan peduli yang biasa ia berikan kepada adiknya pun sirna dan membuat keduanya berjarak.

Prasangka pun hadir dalam karakter Jarot. Sebagai seseorang yang tumbuh dewasa dengan sosok ibu tunggal, Jarot menanamkan sebuah prasangka pada ayahnya. Ia berprasangka bahwa Ayahnya tidak pernah peduli padanya dan dengan kejam meninggalkan ibunya seorang diri.

Sepanjang hidupnya ia hidup dalam prasangka ini dan membuatnya benci terhadap sosok sang Ayah. Namun, ketika sebuah kejadian terjadi antara dirinya dan Sri, Jarot mencoba berdamai dengan masa lalunya. Jarot mencari tahu keberadaan Ayahnya dan akhirnya disambut dengan sebuah fakta mengejutkan tentang mengapa ia tumbuh tanpa sosok ayah.

Baca juga: Keluarga Cemara Film Tentang Kesetaraan Suami Istri

Pada esensinya keluarga adalah tempat bagi manusia yang mendamba kehangatan untuk pulang. Kehangatan ini hadir dari bagaimana keluarga semestinya bisa menerima manusia apa adanya dengan segala kekurangan tanpa prasangka dan penghakiman.

Dengan simbol meja keluarga sebagai tempat keluarga berbagi kehangatan lewat kisah dan canda tawa, Losmen Bu Broto secara apik memperlihatkan bagaimana simbol ini telah kehilangan maknanya.

Konflik Pur dan Sri dengan ibunya semua berawal dari meja makan ini. Meja makan ini menjadi saksi bagaimana keduanya tumbuh dengan sosok seorang ibu yang perfeksionis dan tegas. Sifat Bu Broto ini merupakan bagian dari personanya yang tidak pernah ia lepas sebagai seorang nyonya rumah yang mengelola Losmen.

Baca juga:  Ali & Ratu Ratu Queens dan Kisah Perempuan Mengejar Mimpi

Hal inilah yang berpengaruh kuat pada bagaimana caranya mendidik dan membesarkan anak-anaknya dan membuat sosoknya sebagai seorang Ibu kerap absen dalam kehidupan Pur, Sri, dan Tarjo.

Cara ia mendidik dan membesarkan anaknya dipenuhi dengan komunikasi satu arah, tanpa mau repot-repot mengerti anaknya sendiri. Inilah mengapa komunikasi yang terjalin antara Bu Broto dengan anak-anaknya selalu didominasi pada perintah yang didasari ekspektasi tinggi utamanya kepada kedua anak perempuannya.

Dengan konflik dan resolusi yang dibuat begitu membumi, film Losmen Bu Broto sejatinya bukan hanya film keluarga dengan plot klise ala sinetron. Namun, film ini hadir sebagai pengingat kita tentang arti sebuah keluarga dan kehangatan di dalamnya. Bahwasanya keluarga harus tetap hadir bagi setiap manusia di tengah setiap suka dan duka tanpa kembali menorehkan luka yang telah ada.

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *