Lifestyle

Westernisasi dan Obsesi Papa yang Kebarat-baratan

Dicekoki media Barat dari kecil, Papaku enggan menerima bahwa budaya tak cuma tunggal saja.

Avatar
  • April 11, 2022
  • 6 min read
  • 2173 Views
Westernisasi dan Obsesi Papa yang Kebarat-baratan

Lahir sebagai generasi Z di abad ke-21 adalah sebuah privilese. Bagaimana tidak, aku bisa sepuasnya menikmati banyak musik, film, dan serial dari berbagai belahan dunia. Terima kasih internet dan streaming platform yang mempermudah aksesku dan mengikis hambatan bahasa.

Hasil dari kemudahan aksebilitas ini, aku menjelma seorang omnivora alias pemakan segala. Aku melahap habis anime, drama Korea, dorama (drama jepang), serial Eropa, serial Thailand, film India, hingga telenovela.

 

 

Sayangnya, belakangan aku dicap anomali oleh papaku sendiri. Semua bermula ketika papa menolak ajakanku menonton film Korea bersama. Kala itu film Korea action thriller kesukaanku, Confession of Murder (2012) tengah tayang di Bioskop Trans TV. Aku tahu persis papa suka genre serupa. Benar juga, dia sangat antusias menerima ajakanku menonton. Apalagi setelah dapat info film yang akan kami tonton mengangkat cerita pembunuh berantai.

Namun, tidak lebih dari 5 menit berselang, papa bertanya.

“Lho, ini film Korea, Mbak?”

“Iya, Pa, bagus lho, Pa filmnya.”

Mendengar jawaban dariku, papa sontak kecewa. Ia mengira yang bakal kami saksikan adalah film Barat. Ia pun enggan menonton bersamaku dan nyelonong boy melakukan hal lain.

Baca Juga: Obsesi Terhadap Hijab adalah Produk Westernisasi

Papa dan Westernisasi Media

Jujur saja, respons Papa membuatku kaget bukan main. Mengapa ia begitu tidak menyukai film selain yang berasal dari Barat, khususnya Hollywood? Selama tumbuh dewasa, aku memang hampir tidak pernah melihatnya menonton selain film Hollywood. Serial pun hanya terbatas dari Amerika, begitu pula dengan musik yang ia dengar.

Bahkan sampai detik ini pun, konsumsi media papa hanya terbatas dari Amerika, bahkan dia jarang mengonsumsi konten dari Eropa. Buatku yang seorang omnivora, perilaku papa ini jelas bikin heran. Kok bisa ya seseorang sampai harus begini membatasi diri sendiri dalam mengonsumsi media?

Kepo dengan ini, aku bertanya langsung pada papa. Papa bercerita bagaimana paparan pertamanya pada media berasal dari Barat. Saat papa masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Eyang Papi, ayah dari papaku membelikannya video player. Dari sanalah eyang papi memutar film koboi (papa lupa judulnya apa) dan ia otomatis tersihir olehnya.

Itu pertama kalinya ia menonton film bagus dengan cerita menarik dan adegan tembak-tembakan seru–hal yang tidak ia temui di film Indonesia kala itu. Perlahan papaku pun dibentuk untuk memiliki obsesi terhadap konten media Barat. Obsesinya pun semakin menjadi-jadi karena satu-satunya saluran TV yang ada, TVRI lebih sering menayangkan film atau serial TV dari Amerika.

“Zaman SMP banyak serial Barat ditayangin di TVRI. Mulai dari The Six Million Dollar Man, The Bionic Woman, sampe Hawaii Five O. Sedangkan dulu film Indonesia atau serial masih sangat jarang ditayangkan, palingan Losmen Bu Broto,” curhatnya.

Dominasi konten media Barat di satu-satunya saluran televisi nasional memang mewarnai era kepemimpinan Soeharto. Dalam penelitian Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Indonesia (2014), Dedy Djamaluddin Malik, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Bandung menjelaskan, Soeharto melakukan politik kebudayaan dengan “internationalization of culture”. Artinya, semua bentuk kebudayaan Barat, mulai dari ilmu, teknologi dan budaya pop dijejalkan dengan massif.

Akibatnya banyak orang seperti papa yang tumbuh menyukai satu konten media saja. Hal ini pula juga yang membuat papa bisa dibilang terpenjara dalam batasan bahasa. Baik film atau musik yang ia dengar, ia pasti akan lebih memilih yang berbahasa Inggris.

“Memang lebih bagus kalau si aktor atau aktris ngomong, kita langsung paham tanpa melalui translation. Sama juga dengan musik. Dengerin musik selain nikmatin alat musiknya, pasti juga vokalnya. Jadi kalau bahasanya beda itu kayaknya agak aneh aja. Enggak paham,” jelasnya.

Baca Juga: BTS dan ARMY: Bongkar Hegemoni Industri Musik Hingga Stereotip ‘Fangirl’ Obsesif

Sudah Waktunya Kita Terbuka

Mungkin kalian menganggap apa yang papaku lakukan terlihat biasa saja dan tak ada salahnya. But darling, you’re totally wrong. Dengan membatasi diri mengonsumsi satu sumber konten media saja, papaku cenderung lebih susah menerima perubahan dan rentan mengidap inferiority complex. Barangkali ini pula yang membuatnya “meremehkan” konten media lain selain Barat.

Dalam perbincanganku dengan ia, misalnya aku mendapatkan kesan bagaimana pemikirannya sangat susah diubah. Ia begitu yakin kualitas dari konten media Barat adalah yang paling top, mulai pengambilan gambar, dialog para karakter, dan pesan yang berusaha disampaikan. Cara pandang ini menurutku sangat berbahaya di tengah pesatnya perkembangan budaya dunia.

Hal ini baru aku sadari ketika tengah berusaha keras membuatnya menonton Parasite (2019). Film besutan Bong Joon-ho yang memenangkan Best Picture dalam perhelatan bergensi Oscar tersebut bahkan tidak mampu membuatnya terpukau. Ia bosan setengah mati menontonnya. Padahal ia bisa sangat serius dan menikmati film dengan genre dan alur slow burn yang sama seperti Fight Club (1998) misalnya.

Sikapnya ini jelas membuat ia hidup dalam dunianya sendiri. Dibandingkan mama yang bisa menerima hal-hal baru dengan baik. Papa akan kesulitan menerima budaya baru, dan jadi mudah menghakimi. Ia tidak pernah menghakimi terang-terangan tapi ia lakukan dengan sikap defensif. Seakan ada balon kata di atas kepalanya yang berbunyi, “Anak-anak zaman sekarang kok bisa ya suka yang begini?

Baca Juga: Tak Ada yang Lebih Sia-sia daripada Pembatasan Lagu KPI

Jujur saja, aku terkadang jadi kesulitan membangun percakapan dengannya selain basi-basi antara ayah dan anak. Mau bagaimana lagi, aku telah melihat dunia yang lebih luas darinya, namun ia masih dalam kotak yang sama.

Melihat dampak kentara dari sikap Papa yang membatasi konsumsi medianya, maka jelas sekali memperluas apa yang kita tonton dan dengar itu sangat berguna. Dilansir dari The Conversation, penggambaran media seringkali tidak akurat.

Hal ini karena film dan serial TV tidak selalu dimaksudkan untuk menggambarkan kenyataan, melainkan hiburan. Akibatnya, mereka bisa menyesatkan, jika tidak bias, berdasarkan dan melanggengkan stereotip atau norma budaya tertentu. Apalagi jika hanya berdasarkan satu sumber produksi saja.

Oleh karena itu, paparan awal dan minat pada konten media yang beragam sangat penting. Alasannya sederhana, karena konten media yang beragam adalah wadah kita untuk belajar. Ia adalah jendela dunia. Keberagaman ini dimaksudkan untuk memberi kita lebih banyak pandangan dan ilmu pengetahuan yang akan menjadi kekuatan perubahan. Ini konon mampu membuat kita memikirkan kembali apa yang kita pikir kita ketahui.

Pada gilirannya, keragaman konten media yang kita konsumsi bisa mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Perlahan meruntuhkan bias dan membangun toleransi serta empati pada beragam hal.

Tampaknya perjuangan “jihadku” (meyakinkan papa) masih panjang. Doakan saja ya, semoga papaku, si gen X dengan obsesinya pada Barat bisa berubah.



#waveforequality


Avatar
About Author

Vasti Zahra Minerva

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *