Feminism A to Z Issues

Apa Itu Piramida ‘Rape Culture’ Alias Budaya Perkosaan?

Apakah kamu memelihara sikap-sikap yang menormalisasi perkosaan? Sadar atau tidak, kamu harus mengecek tabiatmu.

Avatar
  • August 22, 2022
  • 5 min read
  • 2142 Views
Apa Itu Piramida ‘Rape Culture’ Alias Budaya Perkosaan?

Jagat Twitter sempat digegerkan dengan thread viral yang dikicaukan akun @jerangkah pada Sabtu (13/08). Ia tidak terima istrinya menjadi korban pelecehan seksual yang pelakunya sendiri teman kerja. Tiga pelaku saling melontarkan candaan seksual yang membuat korban tidak nyaman. Sampai artikel ini ditulis tweet tersebut sudah mendapatkan 37,5 retweets.

Terlepas dari kasusnya yang masih berlanjut hingga ke ranah hukum, warganet kebanyakan memberi dukungan dan menceritakan pengalaman pribadi serupa yang dialami korban. Namun, komentar-komentar kontra yang menganggap lumrah candaan seksual di lingkaran pertemanan masih muncul.

 

 

Beberapa komentar bahkan mempertanyakan perasaan dilecehkan yang dialami korban.

Komentar begini menunjukan masih banyaknya orang yang menormalisasi candaan seksual, meski dukungan pada korban juga tak sedikit. Padahal penting untuk mengenali candaan seksis atau yang bernuansa sensual, sebab siapa pun bisa jadi korban dan pelaku. Banyak juga yang tak tahu, bahwa candaan seksis dan sensual termasuk dalam budaya perkosaan atau rape culture.

Baca juga: Akhiri Budaya Perkosaan di Indonesia

Budaya perkosaan adalah fenomena atau situasi yang, baik disadari atau tidak, menganggap perkosaan atau kekerasan seksual sebagai sesuatu yang lumrah. Ia dibentuk dalam masyarakat patriarki yang memandang maskulinitas dan laki-laki berada di puncak hierarki, sementara feminitas dan perempuan berada di tempat lebih rendah.

Istilah ini lahir di era 70-an, saat feminisme gelombang kedua di Amerika Serikat terjadi. Penerbitan pertama yang menggunakan istilah ini terbit pada 1974, dalam buku Noreen Connel, berjudul Rape: The First Sourcebook for Women. Artinya, istilah ini telah berumur lebih dari setengah abad.

Sayang, ia masih langgeng hingga hari ini. Kita bisa menemukan normalisasi budaya perkosaan di media, budaya pop, aturan pemerintah, bahkan percakapan sehari-hari. Tentu saja hal ini tak lepas dari budaya patriarki yang juga masih langgeng dipelihara.

Dalam Catahu 2021 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap (Komnas) Perempuan, budaya partiaki disebut sebagai faktor utama kekerasan terjadi.

Untuk memahami apa itu budaya perkosaan, dan bagaimana dampaknya pada pelanggengan kekerasan seksual, organisasi 11th Principle Consent membuat ilustrasi piramida budaya perkosaan (Versi terakhir, 2018). Ilustrasi tersebut menjelaskan budaya perkosaan dengan tiga tingkatan (dari bawah ke atas): normalisasi, merendahkan, hingga kekerasan atau serangan.

1. Budaya Perkosaan Normalisasi atau Pewajaran

Tindakan yang masuk dalam kategori normalisasi adalah: komentar dengan konteks seksual, candaan tentang perkosaan, sentuhan yang tidak diinginkan, perilaku seksis, dan pikiran bahwa perempuan dan orang-orang LGBTQ tidak setara dengan laki-laki heteroseksual.

Pada level ini, kebanyakan orang-orang masih belum mengenal atau melihat ada yang salah dari budaya patriarki yang misoginis. Kebanyakan orang-orang bahkan masih susah membedakan mana kodrat dan peran gender, sehingga masih mewajarkan pendapat bahwa posisi laki-laki ada di atas gender lainnya.

Baca juga: Bagaimana Akhiri ‘Victim Blaming’? Jadikan Kekerasan Seksual Masalah Sosial

Mereka mengganggap pengetahuan tentang posisi laki-laki di puncak rantai ini sebagai realitas mayoritas karena diajarkan demikian dari lahir.

Akses pendidikan jadi poin penting yang harus diperhatikan. Normalisasi budaya perkosaan akhirnya masih terjadi bahkan di percakapan sehari-hari karena pewajaran itu dilakukan secara sistematis. Termasuk dalam kurikulum pendidikan kita yang masih belum inklusif dan sangat heteronormatif.

2. Merendahkan (Degradation)

Dalam level kedua piramida budaya perkosaan ini, yang termasuk tindakan merendahkan atau melecehkan adalah catcalling atau menggoda perempuan dan kelompok LGBTQ, merekam atau mengambil foto tanpa consent, mengirim foto kelamin tanpa persetujuan, victim-blaming and shaming, menyebarkan foto atau video intim tanpa persetujuan, dan menguntit.

Pada level ini, kebanyakan orang tidak paham konsep consent dan melakukan perbuatan-perbuatan di atas untuk kepuasan pribadi. Perkembangan teknologi dan komunikasi bahkan bikin kemungkinan perilaku-perilaku tersebut makin sering ditemui, terlebih karena tidak adanya regulasi atau undang-undang perlindungan data pribadi di Indonesia.

Normalisasi perilaku misogini juga terjadi di ranah online. Kebebasan berpendapat pada platform daring disalahgunakan untuk menyerang perempuan. Sehingga kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat juga dianggap normal di dunia online.

3. Kekerasan atau Serangan Gamblang (Assault)

Di level ini, kekerasan nyata dan gamblang. Perampasan hak otoritas tubuh dan serangan fisik maupun mental berada di puncak piramida.

Contoh perbuatan yang termasuk dalam tingkatan ini adalah: memaksa atau memanipulasi pasangan supaya mau berhubungan seks, meraba-raba, mengancam, melanggar kesepakatan “safe-word” atau perjanjian batasan, melepas kondom diam-diam (stealthing), membuat orang mabuk untuk diperkosa, menganiaya secara seksual, manipulasi seksual/emosional/finansial, perkosaan, gang rape, bahkan pembunuhan, dan pemerkosaan setelah dibunuh.

Sikap-sikap di bagian dasar piramida bisa berujung perbuatan mengerikan di puncak.

Pada dasarnya, piramida ini ingin menunjukkan masalah struktural yang ada di masyarakat kita. Dengan memahaminya, kita bisa melihar perkosaan sebagai sebuah masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan secara individual, melainkan bersama-sama sebagai satu unit masyarakat.

Lantas, bisakah kita meruntuhkan budaya mengerikan ini?

Cara Meruntuhkan Piramid Budaya Perkosaan

Ingat, apa pun yang bisa dibangun, bisa pula dirobohkan. Termasuk budaya toksik, apalagi jika ia dibangun dari hal membahayakan dan eksistensinya cuma mengancam hidup.

Untuk waktu yang lama, manusia tak punya solusi mapan untuk melawan kekerasan seksual, selain mengurus kasusnya satu per satu lewat perangkat hukum yang juga dibangun dari kultur kekerasan (polisi dan pengadilan).

Belakangan, para filsuf feminis forward-thinking seperti bell hooks, Angela Davis, dan lainnya menawarkan solusi yang berbasis merawat (nurturing), pemulihan (healing), dan kasih (love). Mereka menawarkan cara-cara untuk membongkar gagasan-gagasan usang patriarki yang berkelindan dengan hasrat ingin menguasai atau berkuasa dan digantikan dengan upaya-upaya yang lebih berfokus pada kasih.

Baca juga: Bagaimana Feminisme Diterapkan di Negara-negara Asia

Misalnya, menawarkan dunia yang mengutamakan kebutuhan kesehatan fisik dan mental, ketimbang dunia yang menganggarkan banyak biaya untuk kebutuhan alat perang.

Memahami dan menghindari kekerasan yang muncul dari budaya perkosaan bisa dilakukan dengan mempelajari piramida ini. Melihat dampak buruk yang ada di puncak piramida, dan mengenali sikap-sikap normalisasi yang ternyata bisa berdampak buruk di dasar piramida adalah yang bisa kita lakukan.

Menyebarkan semangat merobohkan budaya perkosaan, adalah langkah selanjutnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Theresia Amadea

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *